Jumat, 15 Juni 2012

SAVE THE ENERGY

Tagihan listrik dan air membengkak…? Biaya BBM kendaraan menguras kantong…? Atau kenaikan harga minyak tanah untuk memasak membuat pusing…? Di atas itu semua, kenaikan kebutuhan akan energi membuat persediaan cadangan energi bangsa kita semakin menipis. Apalagi bangsa ini terbiasa menggunakan energi fosil untuk keseharian. Sambil menunggu teknologi biofuel yang kelak akan menggantikan energi fosil siap digunakan secara massal, ada baiknya kita ikut menghemat penggunaan energi dengan melakukannya di lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Konon penggunaan energi rumah tangga menyumbangkan pemborosan terbesar dalam penggunaan energi negara. Berikut beberapa tindakan penghematan yang dapat dilakukan:

Matikan televisi, pendingin udara, radio, komputer, water heater, dispenser dan alat elektronik lainnya apabila tidak digunakan dan jangan biasakan membiarkan alat-alat itu ada di posisi stand by
Gunakan pendingin udara dan dispenser sejarang mungkin dan gantikan dengan alat yang lebih hemat listrik seperti kipas angin dan memasak sendiri air panas atau bukalah jendela rumah selebar dan sesering mungkin untuk mendapatkan udara sejuk dan segar yang lebih menyehatkan
Matikan air sesegera mungkin bila bak sudah terisi penuh dan gunakan air sehemat mungkin
Matikan lampu di ruangan-ruangan yang tidak digunakan. Gunakan lampu dengan watt kecil dan ganti lampu bohlam dengan lampu neon yang lebih hemat energi
Berjalan kaki atau gunakan sepeda yang ramah lingkungan dan tidak memerlukan bahan bakar kecuali kalori tubuh untuk bepergian ke tempat-tempat yang dekat. Tindakan ini selain menyehatkan tubuh juga turut menghemat penggunaan BBM kendaraan
Bila mempunyai cukup dana, gunakan bahan bakar gas untuk menggantikan minyak tanah ketika memasak. Atau jika ingin sedikit lebih tradisional, memasak sesekali dengan kayu bakar tampaknya cukup menyenangkan
Gunakan bahan bakar yang lebih hemat energi untuk kendaraan, seperti BBG (Bahan Bakar Gas) dan biofuel. Atau bila memungkinkan dan memiliki dana yang besar, belilah kendaraan hybrid
Hidupkan pendingin udara di mobil sejarang mungkin dan bukalah jendela mobil untuk mendapatkan udara segar, selain menghemat bahan bakar, tindakan ini juga menyehatkan.
Selamat berhemat energi!
Ira Tenripada

Kamis, 14 Juni 2012

Pegunungan Tempat Para Dewa dan Dewi Bersemayam | DIENG

Dieng berasal dari bahasa sansekerta yaitu "Di" yang berarti tempat yang tinggi atau gunung dan "Hyang" yang berarti kahyangan. Dengan menggabungkan kedua kata tersebut, maka bisa diartikan bahwa "Dieng" merupakan daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.

foto 1 : candi Arjuna

Di masa lalu, antara abad ke-8 dan ke-13, Dieng adalah 'surga'. dan 28 tahun yang lalu, sebelum Tragedi Sinila terjadi, keindahan surga itu masih dapat dinikmati semua orang. Tetapi, sejak kawah Sinila meletus dan menewaskan banyak orang, surga itu pelan-pelan menghilang, terkubur oleh waktu. Jika tidak ada upaya penyelamatan, nasib Dieng mungkin bisa sama dengan kota Atlantis surga di dataran Spanyol yang lenyap ditelan banjir dan kini tinggal mitos. 'Surga Dieng' yang pada masa kerajaan Chandra Gupta Sidhapala, oleh umat Hindu, diyakini sebagai poros dunia. Ketika itu, Sang Hyang Jagadnata memindahkan 'gunung kosmik' Meru dari India ke Gunung Dieng. Sebagai ibukota kerajaan, ketika itu, Dieng (surga para hyang) tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi juga pusat spiritualitas dan peradaban. Di dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut itu kini masih terdapat 10 candi Hindu, beberapa danau dan kawah yang masih aktif termasuk Sinila serta dikelilingi beberapa gunung dan pebukitan, dengan panorama yang sangat indah.
Kompleks percandian itu terdiri dari empat kelompok yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi. Kompleks percandian Hindu di Dieng saat ini terletak di pegunungan yang gundul dan nyaris tanpa pepohonan. Dieng menyimpan sejarah masa lalu. Komplek candi ini dibangun di bekas cekungan sisa kawah. Dahulu ini merupakan bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah yang dibangun sekitar abad ke tujuh, lebih tua dari prambanan yang dibangun pada abad ke delapan. Pemberian nama sesuai pewayangan, dengan candi Arjuna yang berada di tengah. Candi ini dibangun untuk sebuah kegiatan ritual, karena ada kepercayaan bawa roh-roh leluhur tinggal bersemayam di pegunungan.
Foto 2 : Gua Semar

Dieng juga memiliki telaga warna, satu dari tiga telaga. Air di telaga ini kerap memantulkan warna warni, karena kandungan belerang. Namun sebagian masyarakat disini percaya, bahwa telaga ini adalah tempat permandian para dewa dan dewi, sehingga banyak peziarah yang datang untuk mengharapkan pesugihan. dan disini ada tiga gua di pinggiran telaga. Salah satu adalah gua Semar. Gua ini kerap digunakan untuk bersemedi.
Ada tiga kawah yang terkenal di sini, yakni Kawah Sikidang, Sileri dan Candradimuka. Kawah Sikidang ini merupakan kawah aktif yang menebar bau belerang yag begitu menyengat. Namun kawah ini sudah dibuka untuk wisatawan. Air Kawah Sikidang berwarna kehitaman, panasnya diperkirakan mencapai seratus derajat celcius dan kawah Sileri yang letaknya berada di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kawah ini paling berbahaya, dan merupakan yang terluas di Dieng, yakni sekitar dua hektar. Pada tahun 1964 dan tahun 1984 kawah pernah dua kali meletus, sehingga pengunjung hanya diberi kesempatan melihat kawah ini dari jarak beberapa ratus meter saja.
foto 3 : Kawah Sikidang
Kawah merupakan fenomena alam yang langka dan menakjubkan, namun sekaligus berbahaya. Tahun 1979, salah satu kawah di Dieng ini, yakni Sinila mengeluarkan gas beracun dan menewaskan 149 penduduk di sini. Namun kawah-kawah ini merupakan energi yang besar. Puluhan kawah ini mengeluarkan tenaga panas bumi atau geotermal yang dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, dan empat diantaranya sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga bumi.

Ritual Potong Remo Gembel di Pegunungan Dieng .
Biasanya, upacara potong rambut gembel dilakukan masyarakat Dieng di dua wilayah kabupaten, Banjarnegara dan Wonosobo, pada malam 1 Asyura atau 1 Suro, sesuai tahun baru kalender Jawa atau 1 Muharam menurut kalender Islam. Masyarakat setempat meyakini malam menjelang 1 Asyura merupakan malam suci yang cocok untuk laku prihatin.
Mereka begitu percaya malam pergantian tahun Jawa bersamaan dengan berlangsungnya hajatan besar, perkawinan sepasang mempelai keturunan tokoh supranatural, Kiai Kaladete dan Nyi Roro Kidul—sang penguasa Telaga Balekambang di Dieng. Telaga Balekambang dipercayai sebagai istana tempat kediaman Kiai Kaladete.
Pada saat malam tiba, di atas telaga tampak seperti ada tarian obor. Para penari yang memegang obor meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat indah. Keramaian di telaga itu merupakan pertanda di sana sedang ada perhelatan besar.
Tarian obor itu berlangsung sampai menjelang pagi itu sebagai wujud kegembiraan komunitas penguasa gaib itu. Konon menurut kepercayaan sebagian warga Dieng, pada upacara ritual yang sakral itu, kedua tokoh supranatural itu membagi-bagikan berkahnya lewat anak berambut gembel.
Berangkat dari kepercayaan ini, komunitas masyarakat magis religius di Dieng, yang ketitipan anak berambut gembel, berupaya menyelenggarakan upacara ritual ruwatan.Upacara ritual potong rambut gembel menjadi salah satu event tahunan atau tengah tahunan untuk menarik wisatawan mengunjungi Dieng,

Leluhur
Kaladete adalah tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan sebagian warga di Dieng. Mereka menganggap Kiai Kaladete adalah nenek moyangnya, leluhur penduduk Dieng. Akan tetapi, penduduk tidak tahu pasti tentang asal-muasal anak berambut gembel, bagaimana anak mempunyai rambut gembel. Mitos yang hidup di sana, konon sebelum meninggal Kiai Kaladete berpesan agar keturunannya ikut membantu menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikan. Ia kemudian mewariskan rambut gembel kepada keturunannya.
Mitos lain menyebutkan, anak berambut gembel merupakan kesayangan dan titipan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, yang diyakini menjadi penari saat berlangsung perhelatan akbar pada malam 1 Suro di Telaga Balekambang. Namun, komunitas masyarakat di Dieng mempunyai mitos lain yang berbeda dengan kedua mitos di atas. Mereka meyakini bahwa di Dieng ada sebuah desa bernama Siterus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Di desa ini hidup keturunan bangsawan Kerajaan Kalingga—sebuah Kerajaan Hindu pada abad VII-VIII yang pernah berdiri di Dieng. Keturunan Raja Kalingga inilah yang diyakini membangun candi-candi di Dieng.
Mereka punya keyakinan apabila ada anak yang mempunyai rambut gembel, itu adalah titisan Keling. Penduduk setempat menyebutnya sebagai anak bajang karena biasanya tubuhnya pendek. Anak titisan Keling menjadi anak kesayangan ”dayang” yang ”menghuni” kawasan Dieng. Itulah sebabnya, bocah seperti ini biasanya mendapat perhatian lebih. Anak bajang punya sifat dan karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Ia biasanya nakal, penyakitan, dan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya.
Kehidupan anak berambut gembel dikisahkan dalam sebuah drama sendratari. Apa saja permintaannya harus selalu dipenuhi, terlebih saat menjelang upacara ritual rambut gembelnya akan dipotong. Rambut gembel, menurut beberapa orang tua tidak akan dipotong atau dicukur apabila si anak belum minta dipotong. Keinginan memotong rambut gembel biasanya baru muncul saat mereka menginjak usia lima tahun sampai 12 tahun. Permintaan memotong rambut biasanya disertai dengan keinginan yang aneh-aneh.
Ritual potong rambut gembel sarat nuansa religius magis. Potongan rambut tidak dibuang. Potongan rambut dijadikan satu dengan jajanan pasar, kembang telon (bunga tiga warna) dibungkus kain putih, lalu dilarung di Sungai Serayu Upacara ritual potong remo gembel diawali acara ruwatan yang berlangsung di sebuah lokasi yang bernama Batu Tulis tidak jauh Teater Dieng Plateu dengan ruwatan itu diharapkan anak berambut gembel terlepas dari berbagai penyakit dan bala. Umumnya kondisi anak berambut gembel memprihatinkan. Mereka kerap terjangkit penyakit. Namun setelah diruwat dan dimandikan di Goa Sumur dan rambut gembelnya dipotong, serta-merta mereka berubah menjadi anak-anak yang sehat, jauh dari bala dan penyakit, serta dapat berbaur dalam kehidupan normal seperti anak sebayanya.
by. eko’kodok’

Rabu, 13 Juni 2012

Orang-utan di Ambang Kepunahan

Orang utan adalah salah satu satwa liar endemik Indonesia. Primata ini adalah salah satu jenis kera besar (big apes) yang secara genetik sangat dekat kekerabatannya dengan manusia (berbagi sekitar 97% DNA manusia). Seekor jantan dewasa berukuran dua kali yang betina dan dapat mencapai tinggi 1,4 m dengan berat sekitar 70-90 kg, bahkan ada yang mencapai 120 kg. Warna rambut mereka yang coklat kemerahan juga merupakan hal yang unik dalam dunia kera. Pada orang utan jantan yang telah lanjut, terdapat bantalan pipi yang melebar yang memudahkan kita untuk membedakannya dengan orang utan betina. Jantan dewasa memiliki kantung udara yang menggantung ke bawah dari bagian depan lehernya sehingga mereka dapat membuat "panggilan jarak jauh", suatu suara yang digunakan untuk menarik perhatian betina-betina dan untuk menandai wilayahnya.
Orangutan jantan dewasa Foto : Yayorin (Yayasan Orangutan Indonesia)

Subspesies Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) memiliki wajah bulat dan rambut merah gelap, sedangkan subspesies Sumatra (Pongo pygmaeus abelii) mempunyai wajah yang lebih sempit dan warna rambut yang lebih terang. Kedua kelompok orangutan ini secara geografis telah terpisah sejak lama, itulah sebabnya mereka sekarang secara fisik berbeda. Saat ini orangutan hanya dijumpai di Pulau Sumatera dan Kalimantan, meliputi daerah Indonesia dan Malaysia, tapi menurut para ahli primata sebelumnya mereka mungkin pernah menghuni seluruh kawasan Asia Tenggara hingga Cina Selatan.
Setelah periode kehamilan sekitar delapan hingga sembilan bulan, orangutan betina melahirkan seekor bayi yang ia rawat hingga sekitar umur enam tahun sebelum akhirnya ia kawin lagi. Seekor betina biasanya hanya melahirkan 4-5 bayi selama kehidupannya. Sekitar umur 8 tahun, orangutan mencapai masa pubertas, namun seekor betina baru akan siap untuk mempunyai bayi ketika ia berumur sekitar 10 tahun.
 
Orang utan betina dewasa yang menggendong bayinya
Foto : NN

Orangutan adalah satwa semi soliter. Pada usia muda mereka biasa membentuk kelompok-kelompok sangat kecil, namun menjadi soliter saat dewasa, terutama jantannya. Betina dewasa sering terlihat bersama anaknya. Seekor induk dan anak-anaknya akan berbagi sebuah sarang yang mereka buat sendiri setiap sore. Seekor jantan dan seekor betina dapat hidup bersama untuk beberapa hari sebelum perkawinan dilakukan, kemudian jantan lebih suka kembali ke kehidupan soliternya.
Orangutan adalah hewan diurnal (hidup siang hari) dan arboreal (aktif di atas pohon). Habitatnya meliputi hutan hujan tropis di pulau Kalimantan dan Sumatera bagian utara. Seperti primata lainnya, hutan rawa adalah habitat alami mereka juga. Pada daerah jelajahnya terdapat suatu daerah inti (core area), yang paling sering digunakan untuk melakukan aktivitas harian. Pada daerah inti, yang paling utama adalah tersedianya pohon tidur (sleeping tree) yang aman dari predator, biasanya pada pohon di dekat sungai, dan dekat dengan sumber pakan.
Orangutan adalah primata dengan pergerakan brankhiasi, yaitu berayun dari satu pohon ke pohon lain dengan tangannya. Lengan-lengan mereka yang panjang dan kuat dapat meraih jangkauan sekitar 2 m, sedangkan kaki-kakinya pendek sehingga kurang menguntungkan bagi mereka ketika berada di tanah. Seperti halnya manusia, mereka memiliki tangan dengan empat jari-jari yang panjang serta ibu jari yang dapat direntangkan sehingga dapat digunakan untuk menggenggam benda-benda.
Orangutan adalah primata pemakan buah-buahan, dan mereka juga memakan lebih dari 400 jenis makanan berbeda, termasuk kulit pohon, bunga-bunga, juga rayap dan serangga-serangga lain. Hujan yang kerap turun mengisi daun-daun dan menyediakan air bagi mereka. Seekor urangutan liar dapat berumur 35-40 tahun, bahkan bisa mencapai 50 tahun bila hidup di penangkaran. Bayi orangutan harus mempelajari semua hal dari ibunya,-dimana untuk makan, apa yang dimakan dan kapan untuk makan. Bayi orangutan juga harus mengetahui buah-buahan mana yang dapat dimakan dan bagaimana memakannya, karena beberapa buah-buahan dilindungi oleh duri-duri dan tempurung yang tajam. Orangutan mengetahui penggunaan benda-benda sebagai peralatan, seperti menggunakan daun-daun sebagai payung saat hujan deras, atau sebagai cangkir minum. Mereka bahkan dapat membuat sebuah spon dari daun-daun untuk menyerap air.
Orangutan, kecuali yang jantan, tidak mempunyai musuh alami. Saat ini keberadaan mereka di alam kian langka. Diperkirakan tersisa sekitar 15.000 ekor orangutan sekarang. Perdagangan dan berbagai penyebab kerusakan habitat merupakan faktor yang membuat primata ini kemungkinan dapat punah. Masalah lain adalah bayi-bayi orangutan yang ditangkapi dan dijual ke seluruh dunia sebagai hewan-hewan piaraan.
Seekor bayi orangutan diselamatkan oleh relawan. Bayi itu ditempatkan di sebuah kantung penuh sampah dan diduga hendak dijual ke pedagang satwa.
Saat ini banyak usaha dilakukan untuk menahan laju kepunahan orangutan. Terdapat beberapa pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan yang meliarkan kembali orangutan hasil sitaan ke hutan. Di sini mereka belajar bagaimana cara memanjat pohon, menemukan makanan dan membuat sarang. Ketika saatnya sudah tepat, mereka akan dilepaskan ke hutan yang dekat dengan pusat rehabilitasi dimana mereka akan diberi makan dua kali sehari sampai mereka mampu mencari makanannya sendiri. Beberapa dari pusat-pusat rehabilitasi ini dibuka untuk umum dan memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk melihat orangutan selama saat-saat pemberian makanan.
"Ira Tenripada" ,dari berbagai sumber.

Selasa, 12 Juni 2012

CARA DAUR ULANG KERTAS

Daur ulang kertas merupakan proses memisahkan serat-serat kertas menjadi serat benang menjadi kertas lagi. Tujuan daur ulang adalah mengurangi limbah sampah kertas dan memproses limbah kertas menjadi kreasi daur ulang.
Berikut adalah proses pembuatan kertas daur ulang.
I. Alat yang diperlukan :
  • Papan kayu atau triplek, kain tipis, screen kerapatan 36 atau 38, rakel, blender, bak besar dan ember.
II. Bahan yang diperlukan.
  • Kertas bekas disobek-sobek (direndam semalaman), karakteristik, pewarna alami atau buatan, pemutih dan lem (jika diperlukan).
III. Langkah-langkah pembuatan.
  1. Siapkan rendaman sobekan kertas.
  2. Siapkan papan yang tlah dilapisi kain.
  3. Blender kertas dengan air, perbandingannya 1:3 hingga menjadi bubur kertas (pulp).
  4. Masukkan pulp ke dalam bak yang telah diisi air satu per empat bagiannya.
  5. Ulangi langkah tiga dan empat kira-kira tujuh atau delapan kali.
  6. Blender karakteristik dan pewarna alami secara terpisah dengan sedikit air.
  7. Masukan ke dalam bak. Aduk rata.
  8. Blender satu setengah sendok teh lem dan air.
  9. Berdirikan papan dengan kemiringan kira-kira 45 derajat. Basahi papan dengan air.
  10. Masukkan screen ke dalam air. Saring pulp dengan screen secara merata.
  11. Tempelkan screen pada papan. Gunakan rakel untuk meniriskan air pada screen hingga air tidak menetes lagi. Lepaskan screen.
  12. Ulangi langkah 10 dan 11 hingga pulp di bak habis.
  13. Jemur papan di tempat panas. Kertas akan kering sekitar tiga jam. Jika diletakkan di ruang tertutup, kertas akan kering keesokan harinya.
  14. Setelah kering, cabut kertas secara perlahan agar tidak robek.
  15. Kertas daur ulang siap digunakan.
Tebal tipisnya kertas yang terjadi tergantung pada komposisi bubur kertas dan air. Semakin banyak bubur kertas semakin tebal.
Pemanfaatan kertas daur ulang yaitu untuk membuat kartu lebaran, ulang tahun, frame pas photo dan aneka kerajinan lain. Pemasaran masih di lingkungan sekolah. Sebenarnya engan menekuni pembuatan kertas daur ulang dapat digunakan untuk menambah penghasilan.
by: "dewi"dari berbagai sumber

Senin, 11 Juni 2012

Ternak Buaya Asam Kumbang Butuh perhatian???

Anda ingin melihat buaya hidup sebanyak 2.700 ekor, datanglah ke lokasi penangkaran buaya milik Lo Than Muk, 80, di Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang, Sumatera Utara. Tidak hanya dilihat dari jumlahnya yang cukup banyak, di penangkaran itu terdapat buaya yang usianya 32 sampai 48 tahun. WASPADA Online

Sangking banyaknya jumlah buaya itu, lokasi penangkaran tidak cukup menghidupinya. Pemiliknya juga tidak tahan membiayai makanannya jika buaya itu terus berkembang biak. Dengan terpaksa pemiliknya menggagalkan setiap telur buaya yang akan jadi anak.
Konon lokasi itu menjadi salah satu tempat wisata andalan di Medan selain Masjid Raya, Istana Maimun, Kolam Sri Deli dll, tapi sepertinya bukan. Pasalnya, jika tempat wisata andalan Medan tidak seperti itu pengelolaannya. Tentu Pemko Medan memolesnya melalui anggaran yang tersedia untuk memacu wisatawan lokal dan mancanegara.

Tapi anehnya, di sana terdapat gapura berlogo Pemko Medan di pintu masuk dari jalan besar (ring road). Kemudian, masuk ke rumah atau penangkaran juga berdiri gapura bahkan ada bertuliskan Dinas Pariwisata Medan pada plang bergambar buaya. Tidak ada lagi cat melekat pada dinding gapura itu. "Pokoknya prihatin," kata pengunjung.

Sekali lagi, Anda pasti tidak percaya bahwa itu objek wisata. Penangkarannya hanya di rumah penduduk biasa saja, dan cukup sederhana sebagaimana sederhananya rumah tangga keturunan Tionghoa ini bersama istrinya Lim Hiu Cu dan dua anaknya Robert Lo, 28, dan Robin, 26.

Keunggulannya, tempat tinggalnya luas. Di bagian belakang rumah Lo Than Muk ada dua hektare tanah. Olehnya dibagi dua dibangun tempat penangkaran sebanyak 78 bak dan satu tempat semacam danau; tempat buaya secara leluasa hidup di air dan naik ke darat. Agar aman, Lo Than Muk membangun tembok panjang di bagian belakang dan pagar serta jaring-jaring.

"Ibaratnya kita melihat tempat ternaknya bukan menjadi wisata," kata Rosmaini, 45, warga Binjai ketika berkunjung ke sana, Sabtu (20/10), membawa anak dan saudaranya.
Setiap Lebaran, penangkaran buaya ini dikunjunginya walau lokasinya sangat sederhana karena jumlah buayanya cukup banyak, dan dapat disaksikan dengan mata telanjang dari jarak dekat.

Selain itu harga masuk murah. Di Indonesia bahkan luar negeri, mungkin hanya di Medan ini terdapat penangkaran buaya yang jumlahnya mencapai 2.700 ekor. "Kita sedih kenapa tempat ini tidak dikelola Pemko Medan dengan baik bekerjasama dengan pemiliknya."

Sesederhananya lokasi penangkaran ini, lanjutnya, masih ada juga orang mengunjunginya. Bagaimana kalau ditata dengan baik, tentu semakin ramai dan menarik. Begitu pun, pengunjung merasa puas sekembali dari lokasi itu meski seperti masuk ke lokasi ternak bukan wisata.

Banyak kelebihan di balik kesederhanaan pengelolaan penangkaran buaya ini yakni pemiliknya cukup serasi memelihara buaya mencapai ribuan, padahal dilihat dari kondisinya cukup tradisional dan biaya pas-pasan.

Dipada-padakan
Lo Than Muk mengatakan, meski kondisi penangkaran sangat prihatin dia tetap memberi makan 2.700 ekor buayanya mulai dari yang tua sampai anak-anaknya. Dia harus menyediakan 1 ton per hari bahan makanan seperti bebek, ayam dan telur. Biaya makanan, perawatan dan gaji penjaga buaya dipada-padakan dari uang masuk pengunjung Rp5000 untuk dewasa dan anak-anak Rp2500 per kepala.

"Uang dari pengunjung masih kurang, sehingga mau tak mau mengurangi makanan buaya yang seharusnya satu ton. Kalau dapat banyak dari tiket pengunjung baru bisa diberi makanan 1 ton," katanya.

Menurut Lo Than Muk, sekiranya dari uang pengunjung banyak didapat, dia bisa membuat lebih menarik penangkaran itu tanpa bantuan pemerintah. Tapi, uang dari situ tidak cukup sehingga penangkaran itu berkembang apa adanya. Terpenting buayanya dan keluarganya bisa hidup dan tetap dapat makan.

Lo Than Muk lahir di Aceh Timur pada 11 Maret 1928 ini dibantu istrinya dan dua anaknya laki-laki mengelola penangkaran itu, syukurlah bisa hidup juga dan tetap ada pengunjung walau jumlahnya sudah jauh berkurang sejak pasca 1998. Dahulu turis mancanegara berdatangan dan memberi dukungan karena penangkaran itu mampu menghidupkan ribuan ekor buaya. Karena ketertarikan mencapai ribuan ekor, para turis tetap mengunjungi lokasi itu hingga kemarin.

Belum ada bantuan
Menurut Lo Than Muk, penangkaran buaya ini pertama dipoles pada masa kepemimpinan Walikota Medan Bachtiar Djafar dengan menggunakan APBD, setelah itu tidak pernah lagi. Dari situ, nama penangkaran ini terbenam seiring dengan kondisinya sekarang. Dari situ Lo Than Muk malu mengatakan penangkaran ini objek wisata andalan.

Sesekali Lo Than Muk ketika disinggung perhatian Pemko Medan terhadap penangkaran buaya itu, dia mengaku sedih. Janji Pemko mengucurkan dana memoles penangkaran ini menjadi objek wisata yang sebenarnya, tidak juga ada.

Sebelumnya, Kadis Pariwisata Medan Syarifuddin, SH menyatakan, Penangkaran Buaya Asam Kumbang tetap jadi objek wisata Medan, dan pihaknya telah menganggarkan dana untuk penataan beberapa objek wisata termasuk Istana Maimon dan Penangkaran Buaya Asam Kumbang.

"Sampai sekarang belum ada Pemko menata penangkaran ini, padahal berulang kali dia mengikuti rapat bulan lalu membicarakan pengelolaannya. Tapi tidak ada realisasinya. Sampai akhirnya, saya yang letih," katanya seraya menambahkan padahal sudah memberi rincian kepada dinas pariwisata hal-hal mana saja yang perlu diperbaiki.

Tidak patah semangat
Namun Lo Than Muk tidak patah semangat dia tetap mengelola penangkarannya walau dengan biaya terbatas. Salah satu caranya, Lo Than Muk tidak lagi menambah jumlah buaya dengan cara menggagalkan telur-telur untuk jadi anak.

Dia tetap termotivasi mempertahankan penangkaran itu karena banyak turis mengatakan setiap kali berkunjung, di dunia pun tidak banyak yang menyediakan penangkaran buaya mencapai 2.700 ekor seperti di Asam Kumbang ini.

Ada beberapa tempat penangkaran buaya di Singapura dan negara lain tidak sebanyak di Asam Kumbang, tetapi dengan jumlah buaya yang sedikit pengelolanya menarik tarif mahal bagi pengunjung. "Dengan 2.700 ekor buaya kita tetap menarik uang masuk murah."

Lo Than Muk ternyata masih bisa tersenyum ketika disinggung satwa banyak mati di Kebun Binatang Medan (KBM) dikelola terakhir dialami gajah besar. Padahal, lanjutnya, KBM dikelola dengan anggaran Pemko.

Jadi andalan
Dia juga masih bisa tertawa ketika mengenang cerita hidupnya yang pahit berhadapan dengan zaman penjajahan Belanda dan Jepang dan awal membuka penangkarannya. Lo Than Muk tidak menyangka sama sekali, penangkaran buayanya berkembang menjadi 2.700 ekor. Awalnya dia hanya iseng memelihara buaya kecil 12 ekor yang didapat dari sungai-sungai. "Dahulukan, buaya mudah ditemukan di sungai-sungai di Medan, sekarang saja tidak."

Dari situ kemudian buayanya terus berkembang biak dan akhirnya dia buka penangkaran 1959 dan sempat tenar sebelum tahun 1998 sebagai objek wisata andalan Medan.

Minggu, 10 Juni 2012

Hukum Acara TUN

I. PENDAHULUAN

Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.

Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.

Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN.

Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.

Sesuai dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara (Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).

Penyajian makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).

II. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat . Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.

Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari :

1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
  • Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
  • Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
  • Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
  • Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. 

Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.

Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3. Berisi Tindakan Hukum TUN.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN. 

4. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

5. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. 

Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. 

6. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
  1. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
  2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
  3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.

Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.

Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.

Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).

Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :

“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

III. HUKUM ACARA PERATUN

3.1. Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.

Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.

Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut : 
  • Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
  • Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
  • Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
  • Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
  • Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85, 95 dan 103).
  • Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
  • Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
  • Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
  • Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
  • Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
  • Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 

3.2. Gugatan.

3.2. 1. Pengertian Gugatan.

Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :

“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”

Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut :

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.

Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b. nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.

3.2.2. Pengajuan gugatan.

Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.

Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.

Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48”.

Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan.

Pasal 55 menyebutkan bahwa :

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan”. 

Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.

Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).

3.3. Pemeriksaan di persidangan 

3.3. 1. Pemeriksaan Pendahuluan.

Berbeda dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan

Pendahuluan .

Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari :

a. Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63). 

Ad. a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) :

Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.

Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :

a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak.

Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan.

Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.

Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Ad. b. Pemeriksaan Persiapan.

Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk : 
  • Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
  • Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
  • Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2. Pemeriksaan Tingkat Pertama.

Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :

a. Pemeriksaan dengan acara biasa.
b. Pemeriksaan dengan acara cepat.

Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).

3.4. Putusan Pengadilan

Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.

Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :

a. Gugatan ditolak.
b. Gugatan dikabulkan.
c. Gugatan tidak diterima.
d. Gugatan gugur.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :

a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.

IV. UPAYA HUKUM

4.1. Upaya Hukum Banding.

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).

4.2. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :

Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.” 

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

V. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.

Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.

Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.

Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :

  1. Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
  2. Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
  3. Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
  4. Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
  5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Sumber: www.albatrozz.wordpress.com