Tampilkan postingan dengan label Perjanjian dan Notariil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perjanjian dan Notariil. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Mei 2012

Akta Otentik Dalam Hukum Positif Indonesia

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yag dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan (lihat pasal 165 HIR, 1868 BW, dan 285 Rbg). Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja biuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam versi lainnya dapat dikatakan bahwa Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.

Pejabat resmi lainnya atau Pegawai umum yang dimaksud dapat berlaku pada seorang hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akte notaris, suatu surat putusan hakim, suatu surat proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan dan suatu surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah termasuk ke dalam akte-akte otentik.

Tiga Macam Kekuatan Akta Otentik:
  1. Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (kekuatan pembuktian formil);
  2. Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat);
  3. Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte ke dua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut. Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas , dinamakan kekuatan mengikat yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan dalam akte. Kekuatan poin ini dinamakan kekuatan pembuktian keluar (artinya ialah terhadap pihak ke-tiga)

AKTA OTENTIK

Yang Dibuat Oleh pegawai umum sesuai dengan perundang-undangan
Yang dibuat Di hadapan pegawai umum yang sesuai dengan perundang-undangan
Ex:
Seorang notaries yang membuat suatu laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas, maka proses verbal itu merupakan suatu akte yang telah dibuat oleh notaries tersebut.
Ex:
Apabila dua orang datang kepada seorang notaries, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misalnya jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain sebagainya) dan meminta kepada notaries tadi supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Notaries hanya mendengarkan apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap itu dan meletakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tersebut dalam suatu akte.

Akta Otentik Menurut 1868 KUHPerdata

Pergeseran Persepsi Mengenenai Nilai KebenaranYang Terkandung Dalam Suatu Akta Otentik

Suatu surat yang dibuat secara demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, menjadikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut di dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan kemudian itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu. 

Akta Otentik menurut Pasal 285 Rbg:

Yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka; hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu.

Akta mempunyai dua fungsi : fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Formalitas Causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Kekuatan pembuktian akta ini dibedakan menjadi tiga macam :

  1. Kekuatan pembuktian lahir (kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya; acta publica probant sese ipsa);
  2. Kekuatan pembuktian formil (memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yag dimuat dalam akta);
  3. Kekuatan pembuktian materiiil (memberikan kepastian tentang materi suatu akta).

Secara mendasar, Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat, yaitu: surat biasa, akta di bawah tangan dan akta otentik. Dibandingkan dengan surat biasa dan akta di bawah tangan, akta otentik merupakan bukti yang cukup atau bukti yang sempurna, artinya bahwa isi fakta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat. Hal mana berarti bahwa hakim harus mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersebut, dengan perkataan lain apa yang termuat dalam akta tersebut harus dianggap benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan terhadap pihak ketiga.

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dinyatakan dalam Ordonansi tahun 1867 no 29 yang intinya menyatakan bahwa barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan d bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tandatangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan. Surat-surat lain selain akta mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas.

Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.

Notaris adalah Pejabat Umum yang dimaksud dalam pasal 1868 BW. juncto pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tabun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang memiliki wewenang membuat akta otentik. 

Menurut hukum acara perdata, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat. Artinya apabila akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik, pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian. 

Menurut hukum acara pidana, seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pemalsuan akta otentik oleh Notaris – PPAT Ujung Pandang. Sebagaimana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Notaris — PPAT Ujung Pandang sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik serta menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun. Keyakinan hakim tersebut, didasarkan pada alat-alat bukti yang sah berupa Akta Jual Beli Nomor 71/ WJ 1980 beserta sertifikat-sertifikatnya, surat pernyataan dari pemilik tanah yang dilegalisasi dikantor Notaris dan keterangan terdakwa. Akibat hukum akta otentik yang memuat keterangan palsu dalam kasus ini. hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Sebagaimana perjanjian yang tertulis dalam akta jual beli tanah tersebut adalah batal demi hukum, artinya sejak lahirnya perjanjian jual beli tanah itu sudah batal atau tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain sejak awal dibuatnya akta itu sudah tidak mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak.

Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.
Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb. 

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. 

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. 

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan. 

1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.

1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.

1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.

1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta.
Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.

1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.

Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.
Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu.

1875. Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.

1876. Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.

1877. Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.

1878. Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang.

Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.

Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam Pasal 1874 alinea kedua dan Pasal 1874 a.

1879. Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengingatkan diri, kecuali bila dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.

1880. Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal 1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu.

1881. Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap pembuatnya:
dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah diterima;
bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan.

Dalam segala hal lainnya, Hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.

1882. Dihapus dengan S. 1827-146.

1883. Selama di tangan seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.

Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.

1884. Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas hak dapat mengajukan permintaan agar tanda alas hak itu diperbarui bila karena lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.

1885. Jika suatu tanda alas hak menjadi kepunyaan bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas hak itu disimpan di tempat netral, dan berhak menyuluh membuat suatu salinan atau ikhtisar atas biayanya.

1886. Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.

1887. Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual beli secara kecil-kecilan.

1888. Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.

1889. Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

1890. Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya dapat memberikan bukti permulaan tertulis.

1891. Akta pengakuan membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menunjukkan tanda alas hak yang asli, asal dari akta itu cukup jelas isi alas hak tersebut.

1892. Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan itu.

Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah.

Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk daripada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga.

1893. Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan suatu cacat-cacat bentuk penghibah itu dengan membuat suatu akta pembenaran; penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentuakan oleh undang-undang.

1894. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara sukarela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapatkan hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.

Minggu, 27 Mei 2012

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Sesuatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas.

a. Sepakat.
Sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.
Dalam kata sepakat ini, para pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang menyebabkan cacat kehendak
dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut terlihat dalam rumusan pasalnya sebagai berikut “tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Selain karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Penyalahgunaan keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan keunggulan ini jika disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan keadaan (Widyadharma, 1995 : 17).

Menurut Nieuwenhuis dalam Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika memenuhi empat syarat, sebagai berikut :
1) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.
2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian.
3) Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.
4) Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup.
Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan keadaan orang lain sedemikian rupa untuk membuat perjanjian itu disepakati.

b. Cakap
Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1). Orang-orang yang belum dewasa;
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

KUH Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah. Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang :
1) telah berumur 21 tahun; dan
2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.

Orang didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal 434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan, disebabkan karena :
1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij);
2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan
3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5).

Sedangkan ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi. Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan, isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian sebaliknya.

c. Suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Sebab yang halal
Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu.

Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak, sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20).

Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun.

Diposkan oleh Raimond Flora Lamandasa

Kamis, 24 Mei 2012

Asas Kebebasan Berkontrak dan Batas-batasnya dalam Hukum Perjanjian

Oleh : Rosa Agustina T. Pangaribuan , SH. , MH .

Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. 

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. 

Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).

Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. 

Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.
Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? apabila kita mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. 

Pasal 1320 ayat (1) m enentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. 

Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku. 

Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. 

Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum. 

Pasal 1320 ayat jo. 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang. 

Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. 

Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian. 

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 

Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya[i] menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. 

Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan. 

Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi. 

Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang . 

Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis. 

Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak. 

catatan kaki:
[i] Prof. R.Z. Asikin Kesuma Atmadja, SH., Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan Tahun II, No. 27, Februari 1987.

Selasa, 08 Mei 2012

Surat Keterangan Waris dan Beberapa Permasalahannya

1. S.K.W. SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM WARIS

Semua yang pernah mengenyam pendidikan hukum pasti pernah mengalami, betapa mata kuliah Hukum Waris merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit untuk dikuasai. Mengingat, pembuatan Surat Keterangan Waris -- selanjutnya disingkat S.K.W. -- merupakan pelaksanaan dari ketentuan waris, kiranya sudah bisa diduga, bahwa pembuatan S.K.W. bukan merupakan pekerjaan mudah. Istilah S.K.W. disini merupakan terjemahan dari “Verklaring van Erfrecht” sebagai yang dimaksud dalam Ps 38 U.U.J.N. Belanda (Oe Siang Djie, 1991).

Hukum Waris berkaitan dengan masalah harta, dan kita semua tahu, bahwa masalah harta warisan merupakan issue yang sangat peka, yang dalam kehidupan sehari-hari sering menimbulkan masalah dalam keluarga. Bisa dibayangkan, bahwa pembuatan S.K.W. adalah pekerjaan yang mengandung banyak resiko dan karenanya perlu dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.

Atas dasar itu, kita semua perlu untuk mencermati teknik pembuatan S.K.W. Pada kesempatan ini kami mengajak anda sekalian untuk bersama-sama membahas beberapa segi dari S.K.W., dengan pengharapan kita bersama-sama akan memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai liku-liku S.K.W.


2. S.K.W. BAGI MEREKA YANG TUNDUK PADA B.W.
Mengenai siapa ahli-waris dari pewaris tertentu, ditetapkan oleh hukum yang berlaku bagi pewaris. Dalam praktek, untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli-waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang hal itu, yang dapat dipakai sebagai pegangan oleh para ahli-waris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris. Surat seperti itu disebut S.K.W. Bisa diduga, bahwa S.K.W. merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli-waris pada umumnya. Namun demikian pada kesempatan ini kita akan membatasi diri dengan hanya membahas S.K.W. yang berlaku bagi mereka yang tunduk pada B.W. saja, karena pembuatan S.K.W. untuk warga yang lain bukan menjadi kewenangan Notaris (vide Tuntunan bagi P.P.A.T. dikeluarkan oleh Dirjen Agraria Depdagri, 1982).

S.K.W. merupakan akta yang menetapkan siapa ahli-waris pada saat pewaris meninggal dunia dan berapa hak bagiannya atas warisan. S.K.W. pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para ahli-waris. Sekalipun S.K.W. mendapat pengakuan dalam undang-undang maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu ketentuan umum yang mengatur bentuk dan isi S.K.W. S.K.W. yang dibuat oleh notaris di Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri Belanda (Oe Siang Djie, 1991).

Di Negeri Belanda, dalam Ps. 38 Undang Undang Jabatan Notaris ada disebutkan, bahwa Verklaring van Erfrecht termasuk dalam kelompok akta yang dikecualikan dari kewajiban pembuatan secara Notariil dalam bentuk minut. Walaupun seperti sudah disebutkan diatas, bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang S.K.W., tetapi ternyata ada suatu undang-undang, yang kebetulan mengandung suatu ketentuan yang mengatur peralihan hak atas obligasi negara yang terdaftar dalam buku besar dari pemiliknya kepada para ahli-warisnya (Wet op de Grootboek der Nasionale Schul S. 1913 - 105), yang dalam pasal 14 ayat (2) mengatakan, bahwa untuk itu harus dibuat suatu S.K.W. (Verklaring van Erfrecht), dalam mana disebutkan a.l. pada pokoknya Verklaring van Erfrecht berisi tentang :
- siapa pewarisnya, kapan meninggal dan dimana domisili terakhirnya.
- Siapa ahli-waris Pewaris dan berapa hak bagian masing-masing.
- Ada tidaknya wasiat dan kalau ada, perlu ada penyebutannya secara rinci isi wasiat tersebut.
- Hubungan kekeluargaan antara Pewaris dan para ahli-waris.
- Pembatasan-pembatasan kewenangan terhadap para ahli waris kalau ada.
- Dibuat in originali.

Pembuatan S.K.W. oleh Notaris dengan mendasarkan pada ketentuan Wet op de Grootboek der Nasionale Schul seperti itu, walaupun tidak didasarkan atas suatu ketentuan umum yang secara khusus mengaturnya, tetapi karena telah dilaksanakan untuk waktu yang lama dan diterima, maka sekarang dapat dikatakan, bahwa praktek pembuatan S.K.W. seperti itu sudah menjadi hukum kebiasaan (Ting Swan Tiong, 1988). Jadi dari suatu ketentuan khusus telah ditarik menjadi suatu ketentuan umum.

Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka S.K.W. yang dibuat oleh Notaris pada umumnya berbentuk pernyataan sepihak dari Notaris, dengan mendasarkan kepada keterangan-keterangan dan bukti-bukti (dokumen-dokumen) yang disampaikan atau diperlihatkan kepadanya, berisi data-data sebagai yang disyaratkan oleh Wet op de Grootboek der Nasionale Schul tersebut di atas.

Yang perlu sekali diperhatikan adalah, bahwa S.K.W. menetapkan siapa ahli- waris “pada saat pewaris mati” (dan berapa hak bagian para ahli-waris), bukan siapa ahli- waris pada saat S.K.W. dibuat. Kedua moment tersebut bisa memberikan hasil perhitungan yang sangat berbeda, sebab seringkali S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris meninggal. Sangat berbeda, sebab seringkali S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris meninggal. Kalau sementara antara waktu matinya pewaris -- sebut saja X -- dengan saat pembuatan S.K.W., ada diantara para ahli-waris -- sebut saja C -- yang meninggal dunia, maka pada waktu pembuatan S.K.W. dari X, hak bagian C tetap dihitung, bahkan sekalipun C meninggal dunia tanpa menikah. Penulis pernah menemukan S.K.W. yang dalam kasus seperti tersebut di atas, langsung saja membagikan hak bagian C kepada sesama ahli-waris X.

Seharusnya hak-bagian C tetap dihitung dan hak-bagian tersebut bercampur dengan harta pribadinya dan menjadi harta warisan C. Ini menjadi hak bagian ahli-waris C. Untuk C nantinya ada kemungkinan juga dibuatkan S.K.W. tersendiri. Hasil perhitungan cara yang pertama dengan cara yang kedua bisa sangat berbeda, apalagi kalau C ternyata meninggalkan wasiat.


3. PRINSIP PEWARISAN MENURUT B.W.
Di dalam B.W. berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada ahli-warisnya (Ps 833 jo Ps. 955 B.W.). Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun -- di dalam doktrin -- dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si mati (A.Pitlo, 1955, hal 12). Dengan itu berarti bahwa ahli-waris mengoper warisan dengan alas hak umum (M.J.A. v. Mourik, 1985, hal 12). Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris -- semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan -- untuk mana seringkali digunakan istilah “boedel warisan”. Boedel warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan. Perkecualiannya ada, dimana hak-hak yang berasal dari Hukum Keluarga juga diwaris oleh ahli-waris (Ps. 256 jo Ps. 258 K.U.H.Perdata).

Dikatakan, bahwa peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu. Sudah cukup kalau pewarisnya mati dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan perkecualian sebagai yang disebutkan dalam Ps. 2 B.W. (P. Scholten-J. Wiarda, 1947, hal. 12).

Prinsip seperti tersebut diatas, kalau dilaksanakan secara (absolut) konsekwen, bisa menimbulkan ketidak-adilan yang besar. ketidak-adilan bagi ahli-waris bisa muncul, kalau warisannya ternyata negatif, yaitu hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Demikian juga ketidak-adilan muncul, kalau terjadi, bahwa orang, yang seandainya ia masih hidup ketika pewaris mati, adalah ahli waris, dan ada meninggalkan keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si mati maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris. Bukankah mestinya patut sekali kalau keturunan dari orang seperti itu diberikan juga hak untuk mewaris ?

Terhadap kemungkinan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa sebagai yang disebut pertama, B.W. ternyata ada memberikan kesempatan kepada ahli-waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat.

Kalau ahli-waris ybs. menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris, untuk suatu bagian sebanding tertentu -- sesuai dengan hak-bagian dalam pewarisan -- beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya -- untuk suatu bagian yang sebading dengan haknya dalam pewarisan - ditanggung/dibayar dengan harta pribadi ahli-waris ybs.

Yang perlu dicermati adalah, bahwa dalam hukum waris B.W. berlaku asas :
- Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan
- Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi.

Untuk menghindari diri dari kemungkinan kerugian seperti itu, ada tersedia lembaga :
- menerima secara beneficiair
- menolak warisan

Perkecualian -- dalam hal-hal yang sangat terbatas -- diatur dalam Ps. 1056 dan Ps. 1065 B.W.

Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, kalau aktivanya lebih besar dari pasivanya. Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair diseut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel.

Terhadap ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli-waris ybs., untuk sementara tidak bercampur dengan harta pribadinya.

Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli-waris. Ia tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung beban-beban warisan. Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan tidak bisa menerimanya lagi (vide perkecualian dalam Ps. 1056 B.W.)

4. LEGITIEME PORTIE
Hukum waris B.W. berangkat dari prinsip, bahwa adalah tidak adil, kalau ahli waris tertentu, yang mempunyai kedekatan hubungan-darah dengan pewaris sampai derajat tertentu, bisa disingkirkan sama sekali dari kedudukannya sebagai ahli-waris atau penerimaannya dikecilkan sekali. Cara-ara yang bisa ditempuh oleh pewaris, untuk menyingkirkan ahli-waris tertentu dari pewarisan, adalah dengan mengambil tindakan-tindakan, baik semasa hidupnya maupun melalui wasiat, sedemikian rupa sehingga sisa warisan menjadi kosong atau menjadi sangat minim.

Guna mengatasi tindakan pewaris seperti itu, maka undang-undang memberikan kepada ahli-waris tertentu hak waris mutlak / legitieme portie, yang berupa suatu hak-bagian sebanding tertentu dari haknya menurut undang-undang (hak waris ab intestaat-nya), yang atas tuntutannya harus diberikan kepada ahli-waris ybs. (Ps. 913 B.W.).

Yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa L.P. itu baru diberikan kalau dituntut oleh ahli-waris legitiemaris. L.P. merupakan hak, dan karenanya si pemilik hak bebas untk menggunakannya atau tidak. Karena L.P. merupakan suatu bagian sebanding tertentu dari hak waris ab intestaat, maka legitiemaris baru mempunyai kepentingan untuk menggunakan haknya atas legitieme portie, kalau ia memperhitungkan akan menerima kurang dari L.P.nya.

5. STATUS SEBAGAI AHLI WARIS

Dengan demikian, maka seorang yang menurut hukum waris berhak atas warisan, belum tentu berkedudukan sebagai ahli-waris, karena kedudukannya sebagai ahli-waris digantungkan kepada sikapnya terhadap warisan yang terbuka. Kalau ybs. menerima warisan, maka ybs. berkedudukan sebagai ahli-waris, dan ybs. mengoper semua hak dan kewajiban pewaris, sudah tentu untuk bagian yang sebanding dengan haknya berdasarkan hukum waris.

Kesimpulan kita, kalau semula dikatakan, bahwa dengan matinya Pewaris, warisan menjadi hak para ahli-waris menurut undang-undang dan/atau berdasarkan wasiat, maka kemudian ternyata, bahwa terhadap warisan yang terbuka, mereka (para ahli-waris) masih diberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya, dengan konsekwensi bisa menjadi ahli waris, kalau ia menerima atau bukan ahli-waris, kalau ia menolak.

Dengan demikian, maka mereka yang dalam undang-undang (atau berdasarkan wasiat) disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya baru benar-benar menjadi ahli-waris, kalau ia /mereka telah menerima warisan yang jatuh kepadanya. Dengan demikian mereka-mereka yang dalam undang-undang atau wasiat disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya adalah mereka-meraka yang baru terpanggil untuk mewaris. Apakah mereka nantinya benar-benar berkedudukan sebagai ahli-waris, bergantung dari sikap mereka terhadap warisan yang terbuka baginya.

Kita melihat, bahwa istilah “ahli-waris” dipakai, baik untuk mereka yang berdasarkan undang-undang terpanggil untuk mewaris suatu warisan yang terbuka, maupun untuk menunjuk mereka yang mengoper seluruh atau suatu bagian sebanding tertentu dari warisan, atau d.p.l. mereka yang sudah mengambil sikap untuk menerima warisan.

Penerimaan suatu warisan bisa terjadi baik dengna suatu pernyataan tegas-tegas atau secara diam-diam, yaitu disimpulkan dari tindakan dan sikapnya. Kita sekarang tahu, bahwa suatu tindakan atau sikap, yang dianggap sebagai tindakan atau sikap menerima, ada kemungkinan sama sekali tidak dimaksudkan oleh si pelaku (atau si pengambil sikap) sebagai suatu pernyataan menerima warisan. Yang namanya anggapan tidak selalu harus sesuai dengan kenyataan yang ada.

Kesimpulan kita, mereka yang menurut hukum mempunyai hak untuk mewaris harus berhati-hati dalam tindakan atau sikapnya terhadap warisan, sebab konsekwensinya bisa sangat merugikan.

6. PERMASALAHAN (1)
Kalau dalam S.K.W., Notaris menetapkan, bahwa orang (-orang) tertentu adalah ahli-waris dari pewaris tertentu, untuk seluruh atau suatu bagian sebanding tertentu dari warisan, apakah hal itu berarti, bahwa ahli-waris (ahli-waris) tersebut sudah mengambil sikap menerima warisan ? Dengan konsekwensinya harus mengoper hak maupun kewajiban pewaris ? Bukankah ybs. dalam S.K.W. sudah dinyatakan sebagai “ahli-waris”.

Karena dalam pembuatan S.K.W., pada umumnya Notaris tidak menyelidiki sikap ahli-waris terhadap warisan pewaris, maka S.K.W. sama sekali tidak menggambarkan sikap dari orang (orang) yang didalamnya dinyatakan sebagai “ahli-waris”. Yang didalam S.K.W. disebut sebagai “ahli-waris” adalah orang (orang) yang berdasarkan undang-undang terpanggil untuk mewaris, mereka (mereka) yang baru berstatus sebagai orang (orang) yang terpanggil untuk mewaris.

Ps. 1023 B.W. mengatakan, bahwa “Alle personen, aan welke een erfenis is opgekomen, …”, yang menurut penulis bisa diterjemahkan menjadi “ mereka terpanggil untk mewaris suatu warisan …” boleh mengambil sikap untuk menerima warisan secara murni, menerima secara beneficiair atau menolak warisan.

Dengan akta S.K.W. kita tahu, siapa-siapa yang terpanggil untuk mewaris dan hanya kepada mereka-mereka yang terpanggil itulah, yang -- berdasarkan Ps. 1023 B.W. -- diberikan kesempatan untuk mengambil sikap terhadap warisan.


7. PERMASALAHAN (2)

Berdasarkan Ps. 14 sub 2 d Wet op de Grootboek der Nationale Schuld, kalau ada ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka S.K.W. harus menyebutkannya secara teliti. Dalam prakteknya, sebelum menyusun S.K.W., Notaris mengadakan checking ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, apakah pewaris ada meninggalkan surat wasiat.

Kalau ada ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka seluruh isi wasiat ditulis kembali di dalam S.K.W. yang pernah penulis temui, dengan ada ditinggalkannya wasiat oleh pewaris, Notaris ybs., karena mau bersikap sangat hati-hati, didalam S.K.W. langsung saja menyebutkan, bahwa para legitimaris menuntut L.P.nya.

Bisa kita duga bahwa cara berfikir Notaris ybs. adalah : bukankah kalau ada wasiat ada kemungkinan L.P. legitimaris akan terlanggar ?

Kalau ahli-waris protes atas penyebutan hak-bagiannya dalam S.K.W. kecil (yang mewujudkan haknya atas L.P.), Notaris mempunyai dalih, bahwa bukankah L.P. merupakan bagian yang minimum yang harus diberikan kepada ahli-waris legitimaris ? Dan karenanya kalau diberikan lebih tidak apa-apa ? Pikirnya, daripada terlambat, lebih baik cepat-cepat menyatakan “menuntut L.P”. Yang dilupakan oleh Notaris ybs. adalah, bahwa dengan begitu S.K.W. tidak memenuhi fungsinya, yaitu menyatakan siapa ahli-waris dari pewaris dan berapa hak bagiannya atas warisan, dan yang dimaksud dengan “hak bagiannya” adalah hak bagian ab intestaatnya, itupun kalau ia menyatakan menerima warisan.

Konsekwensi yang lebih berat dari statement sebagai tersebut di atas adalah, bahwa pernyataan menuntut L.P. bisa ditafsirkan sebagai pernyataan untuk menerima warisan. Kalau ia tidak berniat untuk menerima warisan, untuk apa ia menuntut L.P. ?

Konsekwensi lebih lanjut bisa sangat parah, kalau ternyata warisan pewaris negatif. Misalkan setelahsekian tahun sejak S.K.W. dibuat, para ahli-waris memutuskan untuk membagi warisan dan datang ke seorang Notaris Y. ketika Notaris Y yang hendak menuangkan tindakan pemisahan dan pembagian warisan dalam akta, membuat perhitungan atas aktiva dan pasiva, dan melaporkan kepada para ahli-waris, bahwa warisan pewaris ternyata adalah negatif, hutang-hutangnya jauh di atas aktivanya. Dalam hal demikian, kemungkinan besar para ahli waris -- untuk menghindarkan kerugian -- akan menolak saja warisan tersebut. Tetapi Notaris Y mengatakan, bahwa mereka tidak bisa menolak lagi, karena mereka sudah menyatakan menerima warisan, Notaris Y akan menunjukkan S.K.W. yang dulu dibuat oleh Notaris X, dalam mana disebutkan, bahwa para leitimaris telah menuntut L.P. nya dan dengan itu berarti, bahwa para ahli-waris secara diam-diam telah menerima warisan ybs. Sudah tentu para legitimaris akan mengatakan, bagaimana mau dikatakan mereka menuntut L.P., apa itu L.P. saja mereka tidak tahu. Dan ini memang benar, bukankah Notaris dalam prakteknya tidak menanyakan lebih dahulu apakah para ahli-waris menuntut L.P. dan kalaupun ada ditanyakan, kepada mereka Notaris pada umumnya tidak memberitahukan apa konsekwensi-konsekwensinya. Apalagi pada umumnya pembuatan S.K.W., sudah cukup atas permintaan salah seorang dari para ahli-waris saja. Berarti, bahwa bisa terjadi ada sesama ahli-waris lan, yang tidak pernah tahu adanya pembuatan S.K.W. Bagaimana mau dikatakan, bahwa ia menuntut L.P. ?

Permasalahannya, kalau ada kerugian pada ahli-waris karena adanya statement “menuntut L.P.” dalam S.K.W., tanpa Notaris memberitahukan apa konsekwensi dari pernyataan seperti itu, siapakah yang harus bertanggungjawab ?

Perlu diperhatikan, bahwa Notaris, selain adalah pejabat yang melayani pembuatan akta, ia adalah sekaligus juga penasehat hukum bagi clientnya. Notaris wajib memperhatikan kepentingan clientnya dengan baik dan sebagai seorang profesional, dalam pelaksanaan profesinya, ia menjamin kebenaran obyektif dari advis-advisnya; ia tidak bisa mengelak tanggung-jawab dengan mengatakan, bahwa semula menurut kenyakinannya apa yang ia lakukan dan nyatakan adalah benar. Disini tidak berlaku kebenaran subyektif, tetapi Notaris harus menjamin kebenaran obyektif.

8. TERLANGGARNYA L.P.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, terlanggarnya L.P. dari legitimaris terjadi karena tindakan pewaris atas hartanya, baik yang dilakukan semasa hidupnya maupun melalui wasiat. Dalam hal ini kita harus mengakui, bahwa pewaris -- sebagai juga setiap pemilik atas suatu benda -- pada asasnya adalah bebas untuk mengambil tindakan -- termasuk tindakan pemilikan -- atas harta miliknya. Yang dikhawatirkan oleh pembuat undang-undang adalah tindakan pewaris yang sengaja dimaksudkan untuk menyingkirakan ahli-waris tertentu dari pewarisan, dengan jalan melepaskan harta miliknya secara Cuma-Cuma. Tindakan Cuma-cuma yang dapat dilakukan dan dilaksanakan semasa hidup pewaris adalah tindakan hibah, sedang yang baru dilaksanakan sesedah pewaris mati adalah pemberian melalui wasiat.

Dengan demikian kita melihat, bahwa tidakan pewaris secara Cuma-Cuma, yang bisa melanggar L.P. dari legitimaris adalah hibah dan / atau pemberian melalui wasiat. Karenanya adalah aneh sekali, kalau dalam pembuatan S.K.W., yang katanya atas kehati-hatian, Notaris hanya merasa perlu untuk menyatakan ahli-waris menuntut L.P. nya, kalau pewaris ada meninggalkan surat wasiat saja. Bukankah tidak ada wasiatpun L.P. legitimaris bisa terlanggar, yaitu kalau ada hibah-hibah yang meliputi seluruh warisan atau paling tidak suatu bagian yang cukup besar ?

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, sekarang kita tahu, bahwa tidak setiap hibah atau pemberian melalui wasiat pasti mengakibatkan pelanggaran L.P. Hanya hibah atau wasiat yang -- dibandingkan dengan keseluruhan warisan -- meliputi jumlah yang cukup besarnya saja, yang potensial untuk melanggar L.P. Disamping itu, terhadap wasiat masih harus diperhitungkan, apakah ahli-waris / legitaris yang ditunjuk dalam wasiat menerima pemberian itu atau tidak.

Mengingat, bahwa S.K.W. belum menggambarkan sikap dari mereka -- yang terpanggil untuk mewaris -- terhadap warisan yang terbuka, maka semua ahli-waris yang disebutkan dalam S.K.W. belum kehilangan haknya untuk, sesudah ada S.K.W., menyatakan menerima atau menolak warisan, termasuk untuk menuntut L.P.nya, kalau diperlukan. Kalau begitu, apakah ada cukup alasan untuk cepat-cepat menyatakan sikap ahli-waris dalam S.K.W. ? Apalagi kalau akta itu dibuat hanya atas permintaan salah satu atau beberapa diantara para ahli-waris saja ?

Kalaupun, karena ada wasiat ditinggalkan pewaris, dan Notaris, demi untuk melindungi para legitimaris merasa lebih aman, kalau para legitiemaris menyatakan tuntutannya atas L.P.nya, maka redaksinya bisa dibuat menjadi lebih netral, umpama saja sbb. :
“ Dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris untuk menuntut L.P.nya, maka setelah wasiat dilaksanakan, sisa warisan menjadi hak bagian dari para ahli-waris menurut undang-undang, kesemuanya untuk hak bagian yang sama besarnya, yaitu masing-masing mendapat 1/3/(satu per tiga) bagian dari warisan “. (Catatan : kalau ahli-warisnya ada 3 orang dengan hak bagian yang sama besarnya).

9. WARISAN SEBAGAI PEMILIKAN - BERSAMA YANG TERIKAT.

Dengan matinya Pewaris, maka seluruh warisannya, sebagai satu kesatuan (en bloc) demi hukum beralih kepada seluruh ahli warisnya. Kalau ahli-warisnya ada lebih dari satu orang, maka -- sebelum dilaksanakan pemisahan dan pembagian atas warisan ybs. Dengan demikian atas warisan itu -- antara para ahli-waris -- ada pemilikan-bersama (mede-eigendom; vide Ps. 1066 K.U.H.Perdata).

Doktrin membedakan dua macam pemilikan-bersama, yaitu pemilikan-bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan-bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom). Salah satu ciri yang membedakan keduanya adalah, apakah diantara para pemilik serta, ada hubungan hukum yang lain selain daripada hanya sekedar mereka adalah bersama-sama menjadi pemilik-serta atas satu atau sekelompok benda yang sama (L.C.Hofmann, 1933, hal. 117 - 118). Yang biasanya dipakai sebagai patokan untuk membedakannya adalah ketentuan-ketentuan yang ada dalam B.W., yaitu dengan memperbandingkan Ps. 119 (tentang harta-persatuan), Ps. 1066 (tentang boedel warisan) dan Ps. 1618 K.U.H.Perdata (tentang boedel perseroan) disatu pihak, dan ketentuan Ps. 573 B.W. dilain pihak. Pasal-pasal yang disebut pertama mewakili ” pemilikan-bersama yang terikat”, sedang yang disebut terakhir mewakili “pemilikan-bersama yang bebas”. Adakalanya doktrin membedakan kedua macam pemilikan-bersama menjadi : pemilikan-bersama atas sekelompok hak dan kewajiban sebagai satu kesatuan (pemilikan-bersama atas boedel-bersama, boedelgemeenschap) dan pemilikan-bersama atas benda tertentu, zaakgemeenschap) (J.H.Beekhuis, 1975, hal 307)

Salah satu ciri khas dari pemilikan-bersama yang terikat adalah, bahwa atas harta milik-bersama, pemilik-serta hanya bisa melakukan tindakan hukum dengan persetujuan semua pemilik-serta yang lain.

Pemilikan-bersama yang terikat muncul diluar kehendak para pemilik-serta. Keadaan itu muncul sebagai akibat dari suatu peristiwa diluar kehendak mereka -- seperti pada pewarisan -- atau merupakan akibat dari tindakan hukum lain (menikah atau mendirikan perseroan). pemilikan-bersama yang bebas muncul dari kehendak para pemilik-serta, misalnya para pemilik-serta bersama-sama membeli suatu benda tertentu. Dengan tindakan seperti itu muncullah pemilikan-bersama yang bebas antara mereka. Para pemilik-serta pada pemilikan-bersama yang bebas mempunyai kebebasan yan glebih besar untuk mengambil tindakan atas hak-bagiannya dalam pemilikan-bersama.

10. HAK BAGIAN AHLI - WARIS

Besarnya hak bagian ahli-waris dalam pemilikan-bersama atas boedel warisan ditentukan oleh undang-undang (K.U.H.Perdata) dan / atau wasiat.

Kalau Pewaris tidak meninggalkan wasiat- pengangkatan-waris, maka berlakulah ketentuan pewarisan ab intestaat, dan besarnya hak bagian ahli-waris atas warisan pewaris didasarkan atas ketentuan undang-undang, ic. Bab XII Buku II K.U.H.Perdata.

Dalam hal Pewaris meninggalkan wasiat-pengangkatan-waris, maka wasiat dijalankan lebih dahulu (Ps 874 K.U.H.Perdata), sisanya baru dibagi menurut undang-undang, dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris untuk menuntut L.P.nya, kalau L.P.-nya (-mereka) dilanggar. Besarnya hak bagian para ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan sebanding tertent dari warisan.

Para legataris (penerima hibah-wasiat) bukan merupakan “ahli-waris”, karena mereka mengoper benda tertentu dari warisan berdasarkan atas hak khusus. Mereka hanya mengoper hak-hak saja, mereka tidak mengoper kewajiban pewaris. Lain halnya dengan ahli-waris, yang mengoper berdasarkan alas hak umum, yang mengoper baik hak maupun kewajiban.

Yang perlu diwaspadai adalah, bahwa hak bagian para ahli-waris adalah suatu bagian sebanding tertentu dari warisan sebagai satu kesatuan (en bloc), sehingga kalau dikatakan, bahwa X mempunyai hak bagian sebesar 1/3 warisan, bukan berarti, bahwa X mempunyai 1/3 atas masing-masing benda yang berbentuk warisan sebagai satu kesatuan. Bagian 1/3/ itu adalah 1/3 dari aktiva maupun pasiva boedel warisan sebagai satu kesatuan. Karenanya ahli-waris pemilik-serta tidak bisa memaksa sesama ahli-waris lainnya untuk membagi “masing-masing benda” warisan dalam bagian-bagian sesuai dengan besarnya hak bagian masing-masing ahli-waris; umpama saja memotong meja dan kursi, yang merupakan bagian dari boedel warisan, menjadi 3 bagian.

11. PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN WARISAN

Karena hak-bagian ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan tertentu atas (atau seluruh) warisan, maka semua itu masih harus dilaksanakan lebih lanjut dalam wujud pembagian benda-benda warisan yang ada. Pembagian dan pemisahan warisan tidak dilakukan dengan memotong tiap benda menjadi bagian-bagian sesuai dengan banyak ahli-waris. Undang-undang memberikan pedoman pemisahan dan pembagian boedel dalam Bab VII Buku III B.W.

Setelah dilaksanakan pemisahan dan pembagian, para ahli-waris baru tahu, benda-benda apa saja dari warisan yang jatuh kepadanya. Berdasarkan Ps. 1083 B.W. pemisahan dan pembagian warisan berlaku surut sampai saat pewaris meninggal dunia. Hal itu berarti, bahwa benda tertentu yang jatuh kepadanya, dianggap sudah menjadi miliknya sejak pewaris meninggal dunia. Disini pembuat undang-undang membuat fiksi, seakan-akan ahli-waris ybs. mengoper langsung dari Pewaris pada saat Pewaris mati (W.M. Klein, hal. 114 - 115). Dilain pihak, sesudah pemisahan dan pembagian warisan, para ahli-waris baru tahu, bahwa atas benda-benda tertentu, yang dalam pemisahan dan pembagian jatuh kepada ahli-waris lain, ternyata ia tidak pernah turut memiliki benda tersebut (Ps. 1083 ayat 2 B.W.).

Dari sifat warisan sebagai suatu pemilikan-bersama yang terikat dan dari ketentuan undang-undang yang mengatur pemisahan dan pembagian boedel, orang menyimpulkan, bahwa pemisahan dan pembagian boedel tidak bisa dibagi-bagi, atau dengan perkataan lain pemisahan dan pembagian warisan harus dilaksanakan sekaligus untuk seluruh warisan sebagai satu kesatuan. Hal itu berarti, bahwa pemisahan secara partiil -- atas benda (-benda) tertentu dari warisan -- tidak dibenarkan, sebab bisa merugikan kedudukan ahli-waris yang lain. Jadi pada asasnya memaksakan pemisahan benda tertentu (pemisahan partiil) tidak dibenarkan. Pemisahan secara partiil hanya dibenarkan dengan persetujuan semua ahli-waris.

Disamping itu pemisahan secara partiil tanpa persetujuan semua pemilik-serta yang lain, tidak menjamin, bahwa pihak -ketiga yang mengoper benda tertentu dari warisan, benar-benar akan mendapatkan benda ybs. Kesemuanya bergantung dari, apakah nanti dalam pemisahan dan pembagian, benda tersebut jatuh kepada ahli-waris yang mengoperkan benda tersebut kepadanya. Jadi d.p.l. perjanjian obligatoirnya bisa ditutup, tetapi leveringnya belum tentu bisa terlaksana (J. Satrio, 1998)

Bahwa memaksakan pemisahan secara partiil tidak dibenarkan, bisa kita lihat dari ketentuan Ps. 494 Rv., yang mengatakan :
“ Sekalipun demikian, hak bagian pemilik-serta atas benda tetap suatu warisan, oleh kreditur pribadinya tidak dapat dituntut untuk dijual, sebelum boedel warisan dipisahkan melalui pembagian, pemisahan mana, kalau ada alasan untuk itu, bisa dituntut olehnya”.

Yang dimaksud dengan “kreditur pribadi” adalah krediturnya ahli-waris, sedang yang dimaksud dengan “menjual” adalah mengeksekusi (menjual lelang). Jadi krediturnya ahli-waris tidak bisa mengeksekusi benda tetap warisan, atas mana debiturnya, sebagai ahli-waris, adalah pemilik-serta, sebelum warisan itu dipisahkan dan dibagi, karena penjualan eksekusi akan mengakibatkan pemisahan boedel warisan secara partill. Di dalam doktrin ketentuan itu kemudian ditafsirkan luas, sehingga meliputi semua benda yang termasuk dalam boedel warisan dan semua tindakan mengalihkan (A.Pitlo, hal. 260; W.M.Klein, hal 52).

12. PERMASALAHAN (3)

Bagaimana kalau, sebagaimana yang biasa terjadi, ahli-waris tertentu -- sebut saja si A -- menjual hak-bagiannya atas suatu persil tertentu -- sebutnya saja persil X -- yang berasal dari warisan, yang telah dibalik-nama berdasarkan S.K.W. ke atas nama semua ahli-waris, termasuk diri ahli-waris yang menjual ? Jadi sertifikatnya sudah tercatat atas nama semua ahli-waris.

Kita ketahui, praktek membalik nama suatu persil berdasarkan S.K.W. sudah biasa terjadi, dan yang demikian memang dimungkinkan oleh undang-undang (vide Ps. 42 P.P. 42 tahun 1977).

Untuk jelasnya kita kutib Ps. 42 ayat 5 P.P. 24/1997 sbb :
“warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftar belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak-bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli-waris dan / atau akta pembagian waris”

Dengan mengacu kepada Surat Dirjen Agraria tgl. 20 Desember 1969, No. Dpt/12/63/12/69), kata-kata “tanda bukti sebagai ahli waris” mestinya tertuju kepada S.K.W.

Sekarang, mengapa dipermasalahkan ?

Karena dalam praktek yang muncul dikalangan para Notaris/P.P.A.T., warisan pewaris yang berupa persil, dibalik nama ke atas nama semua ahli-waris berdasarkan S.K.W. dan pelaksanaan balik nama biasanya cukup atas permintaan dari salah seorang ahli-waris yang namanya disebut sebagai ahli-waris dalam S.K.W.

Tindakan membalik-nama persil warisan berdasarkan S.K.W. atas permintaan salah satu atau beberapa di antara para ahli-waris, merupakan tindakan pemaksaan pemisahan secara partiil. Di pandang dari pihak-ketiga, tindakan membalik nama persil ybs. ke atas nama semua ahli-waris bisa ditafsirkan, bahwa semua ahli-waris telah menerima warisan dan sepakat untuk membagikan persil ybs. kepada semua ahli-waris.

Permasalahannya adalah, bagaimana kalau kemudian atas permintaan dari para ahli-waris dilaksanakan pemisahan dan pembagian atas warisan, dan disepakati, bahkan persil X tersebut diberikan kepada salah satu saja diantara para ahli-waris, yaitu si B, bukan kepada A, ahli-waris yang telah menjual hak bagiannya atas persil X itu ?
Sejalan dengan prinsip Ps. 1083 B.W., bukankah ternyata, sejak pewaris mati persil X dianggap telah beralih kepada B, dan bahwa para ahli-waris yang lain, yang dalam pembagian tidak menerima persil X itu -- termasuk si A -- tidak pernah turut memiliki persil tersebut ?

Sekarang, bagaimana kalau ternyata, A -- yang telah mengoperkan hak-bagiannya atas persil X tersebut kepada pihak ketiga -- adalah ahli-waris, yang dalam pemisahan dan pembagian, tidak mendapatkan persil X, sehingga ternyata tidak pernah turut memiliki persil tersebut ? Maksudnya, bagaimana dengan nasib pihak-ketiga yang dengan itikad baik mengoper “hak-bagian A” atas persil X ? Bukankah jual beli benda milik orang lain batal (Ps. 1457 B.W.) ? Kalau rechtstitelnya batal, bagaimana dengan levering/penyerahannya ? Lalu yang paling penting, bagaimana tanggung-jawab Notaris / P.P.A.T. ?

Makalah ini disusun untuk pertemuan Notaris di Samarinda.

Purwokerto, 14 September 2004

J. SATRIO, S.H


Daftar Literatur yang digunakan :

1. P. Scholten - J. Wiarda Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgelijk Recht, Bagian I, Familierecht, cetakan kedelapan,
Tjeenk Willink, Zwolle 1947.
2. A. Pitlo Het Erfrecht naar het Nederlands Burgelijk Wetboek cetakan
kedua, Tjeenk Willink en zoon, Haarlem, 1955.
3. M.J.A. van Mourik Erfrecht, Tjeenk Willink, Zwolle 1985.
4. L.C. Hofmann het Nederlands Zakenrecht, J.B. Wolters, Groning-en - den Haag -
Batavia, 1933.
5. J.H. Beekhuis Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgelijk Recht, Zakenrecht, Algemeen Deel, cetakan kesepuluh,
Tjeenk Willink, Zwolle 1975.
6. Ting Swan Tiong Tentang Surat Keterangan Hak Waris, dimuat dalam Media
Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 158.
7. J. Satrio Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti,
Bandung 1998.
8. W.M. Klein De Boedelscheiding, S. Gouda Quint - D. Brouwer en zoon, Het
Huis de Crabbe - Arnhein, 1969.