Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juni 2012

Pasal-pasal Penting KUHP yang Perlu Diperhatikan

PASAL 187 KUHP
( MENDATANGKAN BAHAYA BAGI KEAMANAN UMUM
/ MEMBAKAR PELEDAKAN )
Unsur unsur yang dipersyaratkan:
Membakar meledakan/ menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran
a) Mendatangkan bahaya umum, bahaya maut atau ada orang mati
b) Dengan sengaja Ancaman hukuman
c) Bahaya bagi orang maxsimum 12 (dua belas) tahun
d) Bahaya maut bagi orang maxsimin 13 (tiga belas ( tahun
e) Bahaya maut dan orang mati maxsimum seumur hidup atau 20 (dua puluh ) tahun 

PASAL 170 KUHP
( PENGEROYOKAN DAN PENGRUSAKAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Bersama sama melakukan kekerasan
b) Terhadap orang atau barang
c) Dimuka umum
Ancaman hukuman maxsimum
a) Menyebabkan luka maxsimum 7 (tujuh ) tahun
b) Menyebabkan luka berat maxsimum 7 (tujuh ) tahun
c) Menyebabkan mati maxsimum 12 (dua belas ) tahun 

PASAL 209 KUHP
( MENYOGOK / MENYUAP )
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Memberikan hadiah / perjanjian
b) Seorang pegawai negeri
c) Untuk mengalpakan / melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban
Ancaman hukuman maxsimum 2 (dua ) tahun 8 (delapan) bulan 

PASAL 220 LUHP
( LAPORAN PALSU )
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Memberitaukan/ mengadukan
b) Perbuatan yang dapat dihukum
c) Perbuatan itu sebenarnnya tidak ada
Ancaman hukuman maxsimum 1 (satu ) tahun 4 (empat) bulan 

PASAL 221 KUHP
( MENYEMBUNYIKAN PENJAHAT / KEJAHATAN )
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Menyembunyikan penjahat / menghilangkan bukti atau bekas kejahatan atau menolong agar melarikan diri.
b) Menghindari pemeriksaan / penangkapan/ penahanan atau menghalang halangi / menyusahkan pemeriksaan oleh yang berwajib
c) Dengan sengaja
d) Oleh pejabat Kepolisian/Kehakiman Ancaman hukuman maxsimum 9 (sembilan) bulan 

PASAL 244 KUHP
( MEMALSUKAN MATA UANG )
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Meniru atau memalsukan.
b) Uang/uang kertas Negara/uang kertas bang.
c) Mengedarkan/menyuruh mengedarkan.
d) Seakan-akan uang asli.
Ancaman hukuman maksimum lima belas (15) tahun. 

PASAL 263 HUHP
(MEMBUAT SURAT PALSU)
Unsur unsur yang dipersyaratkan:
a) Menerbitkan hak, perjanjian, membebaskan hutang atau keterangan bagi suatu perbuatan
b) Seolah olah suatu tersebut asli dan tiak dipalsukan.
c) Mendatangkan kerugian.
Ancaman hukuman maksimum 6(enam) tahun.

PASAL 281 KUHP
(KEJAHATAN TERHADAP KESOPANAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Kesopanan/sesusilaan.
b) Merusak kesopanan/kesusilaan dimuka umum.
c) Dengan sengaja
Ancaman maksimum 2(dua) tahun 8 (lapan)bulan.

PASAL 284 KUHP
(PERZINAAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Merusak kesopanan atau kesusilaan (bersetubuh)
b) Salah satu/kedua duanya telah beristri/bersuami.
c) Salah satu berlaku pasal 27 KUHP Perdata.
Ancaman hukuman maksimal 9 bulan
Bila bersetubuh itu dilakukan dengan kekerasan, ancaman, kekerasan memaksa pemerkosaan (pasal 285 KUHP).

PASAL 303 KUHP
(PERJUDIAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Tidak berhak.
b) Menuntut pencarian, sebagai pencaharian.
c) Sengaja mengadakan atau memberikan kesempatan atau ikut campur.
d) Main judi/perusahaan main judi.
Ancaman hukuman maksimal 2 tahun dan 8 bulan

PASAL 310 KUHP
(MERUSAK KEHORMATAN / NAMA BAIK)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Menuduh melakukan suatu perbuatan agar diketehui orang banyak.
b) Merusak kehormatan/nama baik seseorang
c) Dengan sengaja.
Ancaman hukuman maksimum 1 tahun 4 bulan.

PASAL 328 KUHP
(PENCULIKAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Membawa pergi orang dari tempat kediamananya atau tempat tinggalnya sementara.
b) Menjadikan terlantar
c) Menempatkan dalam kekuasaannya atau kekuasaan orang lain
d) Melawan hak.
Ancaman hukuman maksimum 12 tahun
Penculikan terhadap seorang perempuan :
a) Belum dewasa
b) Atas kemanusiaan
c) Tanpa izin orang tua
d) Dengan maksud dinikahi atau tidak dinikahi (pasal 332 ayat1)
e) Dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan (pasal 332 ayat 2)
e) Sengaja menahan atau merampas kemerdekaan atau membawa (pasal 33 KUHP)
Ancaman maksimum 8 tahun
(1) Menimbulkan luka berat 9 tahun
(2) Menyebabkan mati 12 tahun.

PASAL 335 KUHP
(PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan suatu tidak melakukan sesuatu tidak melakukan sesuatu membiarkan sesuatu.
b) Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenakan, atau pun ancaman kekerasan, perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenakan, baik terhadap orang itu maupun terhadap orang lain.
Ancaman hukuman selama lamanya 1 tahun atau denda sebanyak banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah)

PASAL 338 KUHP
(PEMBUNUHAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Perbuatan kekerasan/makar hati.
b) Menghilangkan jiwa orang lain
c) Dengan sengaja
Ancaman hukuman maksimum 15 tahun.

PASAL 351 KUHP
(PENGANIAYAAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Perbuatan memukul, menempeleng atau memukul, menusuk, mengiris, dan lain lain.
b) Merusakan kesehatan atau penderitaan orang lain
c) Dengan sengaja
Ancaman hukuman :
(1) Penganiyaan biasa maksimum 2 tahun 8 bulan
(2) Luka berat maksimum 5 tahun
(3) Mati maksimum 7 tahun

PASAL 359 / 360
(MENGAKIBATKAN ORANG MATI ATAU LUKA KARENA SALAHNYA)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Dalam hal kecelakaan lalu lintas, kecelakaan menggunakan senjata tangan, senjata api dan sebagainya.
b) Menyebabkan orang mati atau luka
c) Karena salahnya/karena kelalaian
Ancaman hukuman :
(1) Menyebabkan orang mati atau luka berat maksimum 5 tahun
(2) Menyebabkan penderitaan maksimum 9 bulan.

PASAL 362 KUHP
(PENCURIAAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Mengambil dengan maksud untuk dimiliki
b) Sesuatu barang
c) Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
d) Melawan hak (bertentangan dengan hukum)
Ancaman hukuman maksimum 5 tahun.

PASAL 368 KUHP
(PEMERASAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain atau membuat hutang atau menghapus hutang.
b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain
c) Melawan hukum
Ancaman hukuman makimal 9 tahun

PASAL 372 KUHP
(PENGGELAPAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Sengaja memiliki
b) Barang itu dalam tangannya karena kejahatan
c) Melawan hukuman
Ancaman hukuman maksimal 4 tahun

PASAL 378 KUHP
(PENIPUAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Membujuk dengan memakai nama palsu, keadaan palsu, rangkaian kata katabohong, tipu muslihat.
b) Memberikan sesuatu barang, membuat untung, menghapus pihutang
c) Menguntukan diri sendiri atau orang lain
d) Melawan hukum (bertentangan dengan hukum)
Ancaman hukuman maksimum 4 tahun

PASAL 406 KUHP
(MENGHANCURKAN ATAU MERUSAK BARANG)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Dengan sengaja
b) Membinasakaan, merusak, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, menghilangkan barang/membunuh/menghilangkan binatang
c) Barang atau binatang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
d) Melawan hukum
Ancaman hukuman maksimum 2 tahun 8 bulan

PASAL 415 KUHP
(PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN DALAM JABATAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Pegawai Negeri atau orang lain
b) Diwajibkan untuk seterusnya atau sementara menjalankan pekerjaan umum.
c) Menggelapkan uang atau surat yang berharga atau membiarkan diambil ataudigelapkan oleh orang lain sebagai pembantu
d) Dengan sengaja
Ancaman maksimum 7 tahun

PASAL 418 / 419 KUHP
(MENERIMA SUAP / SOGOK)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
a) Membeli, menyewa, menukarkan, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau jual, menyewa, menukarkan, menyimpan dan memyembunyikan suatu barang
b) Untuk mendapatkan sesuatu keuntungan atau mengambil untung
c) Yang diketahui atau patut disangka bahwa itu diperoleh karena kejahatan
d) Sekongkol
Ancaman hukuman maksimum 4 tahun

PASAL 489 KUHP
(PELANGGARAN (KENAKALAN)
Unsur unsur yang dipersyaratkan :
1) Perbuatan yang bertentangan dengan ketertipan umum (antara lain coreng dinding, berak dipekarangan orang lain, menyembunyikan, membikin gaduh)
(2) Yang menimbulkan bahaya

Jumat, 01 Juni 2012

Aspek Hukum Dalam Malapraktek

Yoni A Setyono, SH.MH

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini sebagaimana yang sering kita baca di beberapa harian dan dilihat di media elektronik nampaknya mulai bertimbulan tuntutan terhadap dokter dan rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Tuntutan pada umumnya dari para pemekai jasa pelayanan kesehatan baik dari masyarakat umum, artis bahkan sampai kepada istri pengacara.

Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik bila kita berpikir positif maka mau tidak mau akan membuat pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan terutama dalam pemberian jasa pelayanan preventif dan kuratif menjadi lebih berhati-hati dan cermat. Tentunya peran pelayanan kesehatan tidak hanya di dua hal tersebut namun meliputi upaya promotif dan rehabilitatif. Tapi yang mempunyai risiko yang membawa aspek hukum adalah upaya preventif dan kuratif.

Disisi lain kita juga sering mendengar bila para dokter bila mereka sering dituntut akan membuat mereka akan menjadi takut dan bahkan berlaku terlalu berhati-hati dalam menangani pasien. Tentu saja sikap yang takut-takut dan terlalu berhati-hati akan membuat pelayanan menjadi lamban dan ini dapat membuat sakit pasien menjadi semakin parah bahkan mungkin meninggal dunia. Tindakan yang lamban dan dianggap lalai ini dalam kacamata hukum dianggap dapat juga sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
Oleh karena ini dalam pelayanan terhadap pasien baik oleh pihak dokter dan rumah sakit nampak terlihat sebagai buah seolah “simalakama”. Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi bila semua pihak memahami peta hukum terutama dalam pelayanan kesehatan.

B. Pengertian dan ruang lingkup

Pengertian malapraktek tidak dijumpai secara limitatif dalam peraturan perundangan. Pengertian tersebut dapat dipahami dari beberapa sumber yaitu:

1. “Malpractice” diartikan sebagai “ Professionanl mis-conduct on the part of a professional such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist or vetenarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong doing; or illegal or un ethical practice.”

2. What is Malpractice? Iin a general sense malpractice is “bad “practice, a failure to comply with the standard set by the profession. From the stand point of a patient who has sustained in juries, it may cover the range on incident from diagnosis through operation and after treatment. 

3. Menurut Ninik Mariyanti, SH.;
  1. Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi;
  2. Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien), malapaktek dapat terjadi dalam:
  • Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag, ternyata pasien sakit liver;
  • Menjalankan operasi, misalnya seharusnya yang dioperasio mata sebelah kanan, tapi yang dioperasi mata sebelah kiri;
  • Selama menjalankan perawatan;
  • Sesudah perawatan tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan;
4. “Malpractice Crisis” di Pengadilan Amerika Serikat antara lain meliputi:
  • Salah Diagnosa (misdiagnosis) yaitu kegagalan untuk memakai pemeriksan yang sesuai sehingga suatu diagnosa yang tepat dapat ditegakkan merupakan subyek dari banyak sekali keputusan; contoh seorang pasien menjalani pengangkatan rahim. Pada waktu dilakukan operasi, saluran kencingnya terjahit. Waktu timbul gejala-gejala kesukaran ginjal, tertuduh tidak melaksanakan apa yang tertera dalam petunjuk pasien bahwa suatu IVP harus dikerjakan. Mereka tidak minta konsul pada seorang ahli ginjal atau berbuat sesuatu,kecuali memberinya antibiotik berdasarkan perkiraan diagnosis pasien menderita infeksi. Enam hari setelah operasi, akhirnya dibuatkan IVP, tetapi saluran kencingnya telah rusak kemudian pasien tersebut kehilangan satu ginjalnya;# Dalam kasus diatas pengadilan mempelajarai keputusan-keputusan lama yang menyatakan bahwa kesalahan diagnosa tidak perlu menunjukkan kecerobohan tetapi menyatakan terdapat suatu perbedaan besar antara kesalahan dalam penilaian kecerobohan dan mengumpulkan data yang penting, untuk sampai kesimpulan data yang tepat. Apabila dokter gagal dalam menggunakan cara-cara ilmiah untuk mengumpulkan data-data yang penting agar dapat memberikan diagnosis yang tepat maka hal ini bukanlah suatu kesalahan dalam penilaian tetapi merupakan kecerobohan untuk mendapatkan data yang penting yang dijadikan dasar diagnosisnya.Standar profesi medis
  • Pengobatan yang salah atau tidak sesuai (Incorrect or adequate treatment)
Definisi kecerobohan dalam memberikan obat adalah sama dengan salah diagnosa. Setelah menentukan data-data yang diderita pasien maka dokter berkewajiban dengan segala kemampuannya dan kecermatan sebagaimana yang dilakukan dokter lain yang setaraf pendidikan dalam situasi dan kondidsi yang sama;

Dalam kasus Derr versus Bonney maka kecerobohan yang dituduhkan adalah mengenai kegagalan menyambung tulang mata kaki yang patah dengan baik; salah satu pertimbangan hukum pengadilan yang menarik adalah dokter yang menerima pasien untuk suatu pengobatan menggap dirinya mampu untuk membuat suatu diagnosa yang cermat dan membuat suatu rencana pengobatan serta menggunakan pertimbangan yang baik, dalam melaksanakan pengobatan tersebut. Dokter tidak boleh mengira bahwa dirinya sebagai pembawa mukjijat. Dengan perkataan lain dia tidak dapat bertanggung jawab hanya karena hasil pengobatannya memberi hasil yang jelek.#

3. Tanggung Jawab Dokter Disebabkan Luka-Luka Karena Suatu Alat (Injuries From Equipment & Premises)


Tuntutan dilakukan tidak terhadap kecerobohan dokter dalam pengobatan tapi dengan tuduhan bahwa doter seharusnya sadar ada kesrusakan pada alat yang dipakainya.

Contoh : Alat sinar X dokter gigi yang dipasang didinding dengan baut. Doter tersebut menarik alat sinar X diatas wajah si pasien untuk memotret giginya. Alat tersebut lepas dari dinding dan jatuh diatas wajah pasien dan mengakibatkan luka berat. Kemudian ditentukan bahwa baut itu yang putus, karenanya pasien berhak mendapat ganti rugi. Pengadilan menentukan bahwa dokter gigi seharusnya memeriksa alat-alatnya terlebih dahulu.

C. Ketentuan Hukum yang berkaitan dengan Malapraktek:

C.1 Dalam KUHPidana :

Dalam beberapa kasus ada kecenderungan pasien yang merasa dirugikan membawa kasusnya ke pidana. Artinya dia melaporkan baik terhadap rumah sakit maupun dokter ke pihak kepolisian dengan pasal tertentu tergantung dari kasusnya. Pasal pidana tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Pasal 340:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344:

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sungguh sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 345:

Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.


Pasal 359:

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360:

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.


Pasal 361:

Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)

C.2 Dalam KUHPerdata

Rumah Sakit termasuk dokter didalamnya dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien disamping mempunyai risiko atas tuntutan secara pidana sebagaimna diatas maka aspek hukum lainnya yang harus diperhatikan dengan seksama adalah adanya tuntutan secara perdata. Tuntutan secara perdata atau gugatan secara perdata ini diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar.

Sebagaimana lazimnya hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata adalah lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Kalau antara Rumah Skit, Dokter dengan pasien dalampelayanan kesehatan tersebut dilakukan atas dasar anya sutu perjanjian diantara mereka. Maka hak dan kewajiban antara pihak Rumah Sakit dengan pasien seyogyanya dituangkan dalam suatu perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian bila ada sengketa diantara mereka.Bila ada salah satu pihak yang dinggap melanggar janji atau prestas yaitu melakukan tapi terlambat , melakukan tapi tidak sesuai dengan kesepakatan, melakukan apa yang dilarang atau sama sekali tidak melakukan. Maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat melakukan gugatan di Pengadilan atau lembaga lain yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.

Namun dalam hal-hal yang khusus terutama bila pasien dalam keadaan gawat darurat maka person in charge yang muncul dan membantu menangani adalah dokter. Penanganan oleh dokter ini kalau membuat pasien sembuh tentunya tidak akan muncul tuntutan. Namun bila penangan terhadap pasien tersebut menimbulkan sakitnya tambah parah bahkan meninggal dunia, bila tidak mendapat penjelasan yang baik dan diterima baik oleh pasien maupun keluarganya dan tidak ada perjanjian sebelumnya maka hal ini akan membawa konsekwensi adanya tuntutan secara perdata. Dengan perkataan lain walau tidak ada perjanjian sebelumnya tapi karena ada salah satu pihak yang merasa dilanggar haknya. Dan pelanggran tersebut dianggap merugikan maka dia biasanya akan melakukan gugatan secara perdata didasarkan pasal 1365 atau 1366 KUHPerdata. Disini munculnya hubungan hukum yaitu perjanjian yang lahir karena UU sebagaimana yang dimaksud pasal 1233 KUHPerdata.

Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Oleh karena itu Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan berusaha mematerialisasikannya dengan rumusan lengkap dalam undang-undang, sebagai berikut
  1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
  2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain.
  3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Upaya perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum, karena dalam konsepnya tersebut pengertian melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).

Secara historis perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Ajaran Legisme mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama mesin jahit Singer yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah ‘Singer’nya saja. Ketika pedagang itu digugat di muka Pengadilan, oleh H.R. antara lain dikatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Berikutnya Arrest Hoge Raad, tanggal 10 Juni 1910 dalam perkara Zutphense Juffrouw. Perkaranya bermula dari sebuah gudang di Zutphen karena iklim yang sangat dingin pipa air dalam gudang tersebut pecah. Sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas namun penghuninya tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk (mematikan) tersebut; sekalipun padanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk maka akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang karena tergenang air. Akhirnya barang-barang dalam gudang itu tergenang air. Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti kerugian dan kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas di muka Pengadilan, tapi ditolak oleh H.R. dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu ketentuan Undang-undang yang mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk untuk kepentingan pihak ketiga.# Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis. Pengertian legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan H.R. 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. Dalam perkara ini, seorang pengusaha percetakan bernama Cohen telah membujuk karyawan pengusaha percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan-pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya, Cohen dituntut membayar ganti kerugian kepada Lindenbaum. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan mempertimbangkan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan tersebut atas dasar pertimbangan bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Dengan adanya Arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum diartikan setiap perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain. Termasuk didalamnya suatu perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.

Penilaian apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum (ataukah tidak), tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi, perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang di diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan, pasal 1365 sampai dengan pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah ‘melanggar’ dan ada yang mempergunakan istilah ‘melawan’. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah Perbuatan Melanggar hukum, dengan mengatakan : “Istilah ‘onrechtmatige daad’ dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 Burgelijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah Perbuatan Melanggar Hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat.  Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum

Terminologi Perbuatan Melawan Hukum menurut Mariam Darus Badrulzaman. Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :

“Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut’”

Selanjutnya dikatakan bahwa :

“Pasal 1365 KUH Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang.”

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan# dan I.S. Adiwimarta# dalam menerjemahkan bukunya H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum.

Selain itu terminologi perbuatan melawan hukum juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirdjo, dan Setiawan. M.A. Moegni Djojodirdjo mengatakan :

“Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan succes”.

Mengapa menggunakan terminologi Melawan Hukum bukan Melanggar Hukum, menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai sifat positif dan negatif.

Dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai : “Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.

(Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum).

Code Civil Perancis mengaturnya dalam titel IV Chapter II artikel 1382 sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts and Quasi-Delicts.

Dalam artikel 1382 dikatakan bahwa :

‘Any act whatever of man which causes damage to another obliges him by whose fault it accorred to make reparatio’

Kemudian mengenai tanggung jawab terhadap kelalaian atau kurang hati-hati di atur dalam artikel 1383 sebagai berikut :

‘Each one is liable for the damage which he causes not only by his own act but also by his negligence or imprudence’

Selanjutnya artikel 1384 menentukan :

‘He is liable not only for the damage which he caused by his own act , but also for that which is caused by the act of persons for whom he is responsible, or by things which he has in his keeping’

Artikel 1382, 1383 dan 1384 Code Civil Perancis tersebut sama persis bunyinya dengan pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.

Konsep perbuatan melawan hukum dalam sistem Common Law disebut the law of tort. Beberapa sarjana Inggris memberikan definisi Tort sebagai berikut :

Sir John Salmond mengatakan bahwa :

“A. Tort is a civil wrong for which the remedy is a common law action for unliquidated damages and which is not exclusivey the breach of contract or a breach of a trust or other merely equitable obligation”

Sir P. Wienfield mengatakan bahwa :

“Tortious liability arises from the breach of duty primarily fixed by law, such duty is towards persons generally and its breach is redressible by an action for unliquidated damages”

L.B. Curzon memberikan definisi Tort sebagai berikut :

“The Law of Tort is concerned with the determination of disputes which arise where one person alleges wrong conduct against another. It should be noted that some torts, e.g. assault and battery are tort and crime”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tort adalah suatu kesalahan perdata, dimana seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum yang bukan timbul dari contract atau trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya.

Oleh karenanya dalam mengajukan gugatan berdasarkan tort law harus ada perbuatan aktif dan pasif yang dilakukan oleh tergugat yang mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi oleh hukum.

Tort Law memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda dan kepentingan ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui system kompensasi berupa ganti rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law, ganti rugi diberikan untuk mengembalikan penggugat kepada posisi ketika perbuatan melawan hukum itu belum terjadi.

Hal ini berbeda dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan si penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terlaksana. Berdasarkan hubungan kontraktual, penggugat dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan atau Expectation loss. Teori klasik ini telah mengalami perubahan, karena sekarang gugatan tort law juga dapat diajukan untuk economic lost.

Konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia telah dimasukkan dalam satu kitab undang-undang yang terkodifikasi yaitu dalam KUH Perdata. Sedangkan Tort, konsep dan pengaturannya tersebar dalam yurisprudensi-yurisprudensi dan dalam undang-undang tertentu seperti Occupier’s Liability Act 1957, Defective Premises Act 1972 dan sebagainya. Perbedaan pengaturan konsep tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sistem hukum yang dianut KUH Perdata dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang cenderung pada paham kodifikasi (Enacted Law) sedangkan Inggris menganut Sistem Common Law dimana hukumnya berkembang dari kebiasaan dan yurisprudensi.

Konsep perbuatan melawan hukum Indonesia yang merupakan bagian hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut diatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang terbagi atas: Pertama, Tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan melawan hukum diri sendiri tetapi juga atas perbuatan melawan hukum orang lain dan terhadap barang.

Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Berdasarkan ketentuan pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan rumusan umum, maka pertanggung jawaban dibagi menjadi:


1.Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain
  • Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungannya secara umum;
  • Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak-anak yang belum dewasa (pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab majikan dan orang yang mewakilkan urusannya terhadap orang yang diperkerjakannya (pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukangnya (pasal 1367 ayat 4 KUH Perdata).
2.Tanggung jawab terhadap barang dalam pengawasannya
  • Tanggung jawab terhadap barang pada umumnya (pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab terhadap binatang (pasal 1368 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab pemilik terhadap gedung (pasal 1369 KUHPerdata).
Kedua, Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.

Ketiga, Perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.

Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum ialah :

1.Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2.Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
3.Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4.Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

Dalam perspektif RUU Kesehatan dalam pasal 14 ditegaskan Setiap orang berhak menuntut kompensasi dan/atau ganti rugi terhadap seseorang atau tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan yang menimbulkan kerugian.

Namun tuntutan ini tidak berlaku dalam hal tindakan seseorang atau tenaga kesehatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa atau badan orang tersebut.

Baru-baru ini ada berita bila salah satu rumah sakit dilaporkan ke Polda karena dianggap menelantarkan pasiennya dan dianggap menjadi tertular penyakit karena dimasukan dalam satu ruangan dengan penderita penyakit menular. Dalam RUU Kesehatan (pasal 20 dan 21) akan diatur ketentuan yang harus dipatuhi dimana setiap orang termasuk Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi dilarang mengabaikan atau menelantarkan orang lain yang memerlukan pertolongan kesehatan, padahal orang tersebut mampu memberikan pertolongan kesehatan. Hal ini tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dalam pasal 55 hanya diatur adanya pemberian ganti rugi bila ada pihak yang dirugikan.
Dan adanya larangan bagi setiap orang dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan orang lain atau dengan sengaja menularkan suatu penyakit yang ada pada dirinya atau yang ada pada orang lain yang membahayakan jiwa orang tersebut.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka pihak Rumah Sakit maupun Dokter yang berwenang menagani pasien tersebut harus hati-hati dengan adanya ketentuan tersebut.
D. Kesimpulan

Setiap tindakan yang dilakukan siapa pun mempunyai 2 akibat yaitu sesuai dengan hukum atau melawan hukum. Akibat adanya tindakan melawan hukum ini tentunya akan merugikan pihak lain. Pihak lain dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang dianggap merugikan tersebut.

Pelayanan kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi juga mau tidak mau harus memperhatikan hal ini.

Kurangnya penjelasan atau informasi yang kurang terhadap tindakan medis akan menimbulkan kesalahpahaman antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien yang ujungnya dapat memberikan peluang terjadinya sengketa baik secara pidana maupun perdata.

Jumat, 25 Mei 2012

Penemuan hukum oleh hakim (Rechtvinding)

Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22 AB + Pasal 14 Undang-undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”.

Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding).

Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.
Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas :
1. Menyesuaikan Undang-undang dengan fakta konkrit
2. dapat juga menambah Undang-undang apabila perlu.

Hakim membuat Undang-undang karena Undang-undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan hukum. Seolah-olah Hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk per Undang-undangan. Pasal 21 AB menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim tidak berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pasal 1917 (2) KUHPerdata yang menentukan “bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan tersebut.

Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum. Namun demikian tidak semua ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas dan sebagai reaksinya lahirlah aliran yang yang menolak dan menerima penemuan hukum oleh hakim :

  • Aliran ini berpandangan klasik (Aliran konservatif) yang di tenggari oleh Montesquieu, dan juga Immanuel Kant berpendapat bahwa Hakim dalam menetapkan Undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong Undang-undang (“Bouchedelaloi”) sehingga tidak dapat merubah kekuatan hukum Undang-undang, tidak dapat menambah, tidak dapat menguranginya disebabkan Undang-undang satu-satunya sumber hukum positif. Undang-undang merupakan premis mayor dan peristiwa konkrit merupakan premis minor; sedangkan keputusan Hakim adalah konklusi (kesimpulannya). Hal ini merupakan kesimpulan logis tidak akan melebihi dari yang terdapat pada premis-premisnya. Ini adalah pandangan yang logiscistis. karena sandarkan pada Pasal 20 AB bersumber dari pandangan ini yaitu : Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili menurut Undang-undang kecuali ditentukan dalam pasal 11, hakim sama sekali tidak boleh menilai anti atau keadilan dari undang-undang”. Pasal 21 AB : “Tiada seorang Hakim pun dengan jalan peraturan umum, disposisi atau reglemen boleh memutuskan dalam perkara yang tunduk kepada keputusannya”.
  • Sebagai reaksi aliran ini lahir pula penentangnya yang berpandangan lebih modern yaitu Aliran Progresif yang di pelopori oleh Van Eikema Hommes teori dan pendapatnya disebut materi Juridis, yang di Jerman dipertahankan oleh Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, dan di Perancis oleh Francois Geny serta di Amerika oleh Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank. Geny menentang penyalahgunaan cara berfikir yang abstrak logistis dalam pelaksanaan hukum dan fiksi bahwa Undang-undang berisikan hukum yang berlaku. Oliver Wendel Holmes & J. Frank menentang pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat menjadi sumber bagi Hakim dalam memutuskan peristiwa konkrit. Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab historis yang dipelopori oleh Carl Von Sevigny yaitu Hakim perlu juga memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, karena setiap bangsa itu memiliki jiwa bangsanya masing-masing (Volkgeist) yang berbeda untuk setiap tempat. Hukum precedent dinegara-negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum yang otonom sepanjang pembentukan peraturan & penerapan peraturan dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya tetapi juga sekaligus bersifat heteronom karena Hakim terikat kepada keputusan-keputusan terdahulu (faktor-faktor diluar diri hakim).
Sedangkan hukum kontinental [seperti di Indonesia] mengenal penemuan hukum yang heteronom sepanjang Hakim terikat kepada Undang-undang. Tetapi penemuan hukum Hakim tersebut mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat disebabkan Hakim harus menjelaskan atau melengkapi Undang-undang menurut pendangannya sendiri. Lebih lanjut lahir pula suatu aliran yang mengetengahkan Metode penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam melaksanakan Undang-undang apabila terjadi peristiwa konkrit. Undang-undang sebagai kaedah umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh sebab itu harus dilaksanakan/ditegakkan. Agar dapat memenuhi azas bahwa setiap orang dianggap tahu akan Undang-undang maka undang-undang harus disebar luaskan dan harus jelas. Kalaupun Undang-undang itu jelas tidak mungkin lengkap dan tuntas, tidak mungkin Undang-undang mengatur segala kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas karena kegiatan menusia sangat banyaknya. Selain itu Undang-undang sebagai hasil karya menusia yang sangat terbatas kemampuannya.

Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada peristiwanya.

Seorang Sarjana terkemuka Carl Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran yaitu rekontruksi pikiran yang tersimpul dalam Undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat dipergunakan semaunya tetapi pelbagai kegiatan yang semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan yaitu penafsiran Undang-undang. Yang memerlukan penafsiran ialah terutama perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian itu cukup jelas kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.

Selanjutnya Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh :
  1. Materi peraturan per.Undang-undangan yang bersangkutan misalnya peraturan jual-beli.
  2. Tempat dimana perkara tersebut timbul yaitu memperhatikan kebiasaan setempat.
  3. Waktu yaitu berlaku tidaknya peraturan hukum tersebut.
Mengenai penafsiran Hukum inipun mempunyai metode penafsiran antara lain :
  1. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran Undang-undang menurut arti kata- kata (istilah) yang terdapat pada Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Mis. [a] Peraturan per.Undang-undangan melarang orang menghentikan “Kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain (E. Utrecht). Jadi harus diperjelas dengan kendaraan mana yang dimaksudkan. [b] Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP Mis. sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan. [c] Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai menghilangkan;
  2. Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran historis ini ada 2 yaitu : [a] Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh : KUHPerdata BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan pada tahuan 1838. [b] Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.
  3. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya. Contoh [a] Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun. [b] Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP.
  4.  Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah. Umpamanya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang ibu. Dalam hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.
  5. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi) yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat Undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undang-undang tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.
  6. Metode interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Contoh : Bahwa Jurisprudensi di Nederland : “Menyambung” atau “menyadap” aliran listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas pengertian unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.
  7. Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya) ( Mr. C. Asser, 1986, hal 84-85).
  8. Metode interpretasi Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Contoh penafsiran penjualan dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila misalnya seseorang menghibahkan rumah miliknya kepada orang lain sedangkan rumah tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain, bagaimana?. Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah), menukar, mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan suatu benda maka hakim membuat suatu pengertian “bahwa pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa. Pasal 1576 KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat diterapkan pada peristiwa hibah, menukar mewariskan. Oleh konstruksi hukum seperti itu. Hakim dapat menyempurnakan sistem formil hukum. Konstruksi hukum seperti diatas menurut Scholten tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Konstruksi itu harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive moet de positive stof dekken). Yang dimaksud dengan bahan-bahan positip adalah sistem materil Undang-undang yang sedang berlaku. Konstruksi itu harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam Undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil positip. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik). Hukum di Inggris yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak tertulis (Common law) mengenal analogi. Walaupun demikian Hukum di Inggris menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana. Sedangkan di Uni Soviet menghilangkan dengan sengaja ketentuan nullum delictum dan menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum semua tindakan yang membahayakan masyarakat.
  9. Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-undangan. Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undang-undang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasil yang negatif. Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.

Akhirnya dari uraian2 di atas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak lengkap, tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum yang oleh Prof. Mr. Paul Schalten menyebutkan Hakim menjalankan Recht vinding.
  2. Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.
  3. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode penafsiran terhadap Undang-undangseperti penafsiran menurut bahasa, penafsiran secara historis, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara teleologis/sosiologis, penafsiran secara authentik, penafsiran secara ektensif, penafsiran secara restriktif, penafsiran secara analogi, penafsiran secara argumentus a contrario.

Sumber kutipan : From: Notaris_Indonesia@yahoogroups.com ; Sent: Friday, December 12, 2008 3:06 AM