![]() |
FILM DAN FUNGSI SOSIAL Sebagai seorang penikmat film nasional, rasanya bangga melihat perkembangan perfilman nasional belakangan. Kreasi sineas nasional tak hanya membanggakan di dalam negeri tetapi pengakuan juga diberikan dunia internasional melalui penghargaan yang diberikan bagi sineas nasional. Kondisi macam ini sangat jadi adalah indikasi kebangkitan perfilman nasional. Meski harus diakui apresiasi publik terhadap karya perfilman nasional belum cukup optimal untuk membangun sebuah iklim perfilman yang baik. Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi dalam kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial, seperti yang diungkapkan Karl Manheim bahwa siaran televisi, film, dan media lain yang melibatkan khalayak dapat menimbulkan apa yang dirumuskan Manhein sebagai publik abstrak, meski publik abstrak tidak terorganisir, tapi reaksi terhadap stimulus yang sama yang diberikan melalui media diatas, akan bersesuaian dengan konsep integrasi sosial (Soejono Soekanto : 1985). Dari sana ternyata kita bisa melihat film tidak sekedaILr sebagai sebuah karya seni yang lantas bersama-sama kita nikmati, lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Maka, kita kemudian dapat menarik sebuah benang merah bahwa film juga memiliki fungsi sosial. Berbicara mengenai fungsi sosial film, kita tentu tak dapat melepaskan diri dari realita sosio-kultural yang mengitari film tersebut. Dalam konteks Indonesia kekinian, sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa adalah, mulai hancurnya integrasi sosial, seperti diungkapkan Imam Prasodjo, bahwa kerekatan sosial (social bond) bangsa ini tengah berada pada titik terendah (2000). Dari sketsa perfilman nasional dua-tiga tahun terakhir fungsi film sebagai media membangun integrasi sosial telah nampak, dapat kita lihat dalam film karya Garin Nugroho (Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) atau film nasional terbaru (Biola dak berdawai). Dalam film-film tersebut nampak jelas bahwa film mencoba membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mau dan sanggup mengakui pluralitas. Maka, secara tidak langsung sudah tercapai kesepakatan bahwa film memang memiliki fungsi sosial yang cukup besar. Apalagi konon, film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras. Peluang film menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka, apalagi ketika publik saat ini tengah meragukan institusi resmi bentukan negara. Kemudian pertanyaan yang muncul apakah fungsi sosial film ini akan membebani para sineas Indonesia dalam melahirkan ide. Rasanya kebebasan ekspresi atau juga dimensi estetik dalam film tidak harus dipertentangkan dengan dimensi sosial film, karena keduanya merupakan hal yang inheren. Karena saya yakin, para pekerja film di negeri ini, apalagi para darah muda yang punya energi idealis memiliki sense of belonging terhadap bangsa ini, dan ketika bangsa membutuhkan sentuhan mereka guna membangun kembali integrasi sosial, tentu saja mereka akan menjadikan itu sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas mereka berkarya. Selamat Tinggal Film Kacau Selama rentang waktu dua dasawarsa tertidurnya perfilman nasional, film-film yang muncul film dengan kualitas yang rendah, tema yang diusung tak jauh dari ranjang dan setan. Bisa jadi publik menyambut film semacam itu dengan tangan terbuka, tapi saya melihat sambutan publik lebih disebabkan karena memang tidak ada pilihan tontonan, film yang muncul film seperti itu maka mau tak mau film itu yang dikonsumsi, kita mencatat ketika muncul Daun di Atas bantal publik menyambut dengan sangat antusias. Mengapa kami mengambil Daun di atas bantal, karena film inilah yang menjadi salah satu pendobrak lesunya perfilman nasional ketika itu. Masa kejayaan film kacau sudah harus ditinggalkan, apalagi film-film tersebut ditinjau secara sosiologis hanya akan memberi stimulus negatif bagi publik. Lihat saja banyaknya kasus perkosaan yang ditimbulkan oleh film-film berbau ranjang tadi. Dengan munculnya film nasional dengan kualitas yang memadai secara berlahan akan menggeser paradigma penikmat film yang semula menjadikan film sekedar memiliki fungsi rekreatif menjadi paradigma yang menjadikan film memiliki fungsi ganda, fungsi sosial dan fungsi rekreatif. Ada juga sebuah fenomena menarik dalam perfilman nasional saat ini, masih hadirnya film nasional yang berbau setan seperti Jelangkung atau yang akan menyusul Tusuk Jelangkung, tapi yang kini hadir adalah usaha merasionalkan keyakinan tradisonal seputar dunia klenik tersebut. Aspek tonjolan dalam film-film berbau setan tersebut lebih pada usaha elaborasi spiritual yang rasional ketimbang sekedar penekanan pada aspek keseraman dan ketegangan film. Kondisi-kondisi di atas menguatkan keyakinan bahwa masa kejayaan film-film kacau akan segera berlalu. Film-film nasional saat ini juga memperlihatkan ada usaha menjadikan publik penikmat sebagai subjek bukan sekedar objek film, dimana proses dialektis antara penikmat film dan pekerja film diusahakan untuk berlangsung. Baik pada saat film akan diproduksi maupun pasca produksi, proses macam ini harus terus dilakukan jangan sampai kesalahan yang menimpa Pearl Harlbour yang notabene adalah film sejarah malah mengesampingkan fakta sejarah juga terjadi pada film nasional. Merumuskan Fungsi Sosial Film Bila kita mau merujukkan dunia film nasional dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita, maka ada beberapa tawaran fungsi sosial yang bisa diperankan film sebagai media stimulus. Pertama, film sebagai media pelurusan sejarah, seperti kita ketahui sejarah bangsa ini menjadi sangat tidak jelas akibat banyaknya sejarah yang diciptakan penguasa dan salah satu media pereduksian sejarah dilakukan melalui film, meskipun tugas meluruskan sejarah bukan menjadi tanggung jawab sineas saat ini, tapi paling tidak ada beban untuk mencoba melakukan eksplorasi historis bangsa ini, mengingat film adalah media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan. Kedua, film harus ikut serta membangun integrasi sosial bangsa ini yang disebut-sebut tengah berada di tepi jurang, meski mungkin isu-isu seputar integrasi sosial isu yang tidak terlalu menarik untuk dijadikan bahan film, tapi tanggung jawab membangun kembali integritas sosial adalah tanggung jawab kita bersama, salah satunya adalah dunia perfilman nasional. Film harus mampu menjadi jembatan dalam dialog pluralitas di negeri ini, ada baiknya film mampu menjelaskan pluralitas di negeri ini dalam bahasa yang mudah dipahami hingga esensi integrasi sosial dapat terbangun melalui kesadaran yang dimediasikan oleh film. Ketiga, film harus ikut dalam proses demokratisasi di negeri ini, peran sebagai campaign media untuk kelangsungan proses demokrasi dapat diperankan oleh dunia film nasional, film diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai demokrasi ke audience. Fungsi-fungsi tambahan bagi film nasional di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para sineas dalam berkarya, fungsi-fungsi tersebut merupakan fungsi yang muncul secara natural, sebagai bentuk persinggungan antara dunia film nasional dengan realitas sosio-kultural-politik bangsa ini. Jadi, sangat tidak beralasan jika fungsi sosial film dianggap menjadi beban bagi pekerja film di Indonesia. Akhirnya proses dialog antara film sebagai bangunan tersendiri dimana aspek estetik menjadi pusat dengan kondisi sosio-kultural-politik lingkungan yang mengitarinya, maka waktulah yang akan menjawab segala harapan-harapan pada perfilman nasional dalam memainkan fungsi-fungsi sosialnya. Semoga perfilman nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa dibanggakan sebagai produk original anak negeri. source : http://adhenurmalasari.blogspot.com/2012/04/artikel-politik_4786.html |
Rabu, 16 Mei 2012
FILM DAN FUNGSI SOSIAL
Selasa, 15 Mei 2012
Kasus Bank Century sebagai Kasus Hukum
Kasus Bank Century sebagai Kasus Hukum
Banyak kasus hukum dan politik yang telah menggemparkan Indonesia. Mulai dari kasus Antasari, Cicak vs Buaya yaitu perseteruan antara Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kasus Bank Century, Gayus Tambunan, dan sekarang adanya kasus Nazarudin.
Dalam hal ini yang akat diangkat jadi bahan utama analisis adalah Kasus Bank Century. Kasus yang melibatkan mantan orang nomor satu keuangan Indonesia Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini menjadi berita utama media massa. Dimana kasus tersebut seakan selesai dengan sendirinya setelah Mulyani ditunjuk sebagai Managing Director Bank Dunia.
Barangkali ada yang mengatakan bahwa perseteruan itu belum selesai sepenuhnya karena adanya gugatan praperadilan oleh sejumlah ahli hukum terhadap surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh kejaksaan karena mereka melihat alasan yang digunakan tidak tepat. Namun pemberitaan di media dalam beberapa minggu terakhir telah beralih ke kasus Bank Century.
Kasus Bank Century merupakan kasus hukum yang disebabkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah dalam mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun bagi bank yang bermasalah itu.
Kasus Bank Century juga memunculkan dugaan bahwa sebagian dana talangan tadi mengalir ke sejumlah pejabat politik dan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Bahkan ada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menyebut nama sejumlah tokoh yang menerima sejumlah uang secara terang-terangan. Tuduhan ini kemudian diadukan ke Kepolisian Daerah (Polda) Jakarta Raya untuk diproses secara hukum.
Kasus Bank Century sebagai Kasus Politik
Kasus ini berkembang menjadi isu politik karena yang membuat kebijakan tersebut adalah sejumlah pejabat pemerintah sehingga kebijakan itu menjadi kebijakan publik. Kebijakan publik yang diartikan sebagai kebijakan pemerintah adalah salah satu objek terpenting dalam politik sehingga bergulirnya kasus Bank Century menjadi isu politik adalah suatu hal yang wajar.
Isu dalam kasus Bank Century merupakan sebuah isu politik. Maka tidak selayaknya ada tuduhan politisasi isu kasus Bank Century karena kasus itu telah menjadi isu politik dengan sendirinya. Meskipun nantinya kasus Bank Century tidak terbukti merupakan pelanggaran hukum, kasus ini tetap saja merupakan kasus politik karena keputusan yang diambil oleh para pejabat keuangan dan perbankan adalah isu kebijakan publik. Katakanlah, semua pejabat terkait tidak terbukti melanggar hukum, tetapi citra politik mereka telah rusak yang memerlukan waktu panjang untuk merehabilitasinya.
Terciumnya aroma politik dari kasus Bank Century menjadi sangat kental karena yang dipersoalkan adalah uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Kasus yang menggemparkan nusantara ini dengan segera membentuk opini publik di dalam masyarakat bahwa ada sejumlah tokoh penting di republik ini yang memanfaatkan dana talangan tersebut untuk kepentingan politik mereka.
Gerakan massa yang ingin menuntaskan kasus Bank Century memanfaatkan Hari Antikorupsi Sedunia pada tanggal 9 Desember 2009 yang lalu untuk menyuarakan tuntutan mereka secara gamblang. Hari itu menjadi luar biasa karena terjadi berbagai pergerakan massa di seluruh Indonesia dan tidak hanya di ibukota. Warna politik kasus Bank Century semakin mengental oleh adanya pernyataan Presiden SBY di depan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat beberapa hari yang lalu. Dalam pidatonya itu, Presiden SBY mengatakan bahwa gerakan antikorupsi telah ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga tujuannya tidak lagi murni antikorupsi karena bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden SBY.Kasus Bank Century telah menghasilkan perkembangan politik yang aneh karena telah terjadi pertentangan politik antara dua kelompok yang sama-sama ingin memberantas korupsi di Indonesia. Kelompok pertama adalah kelompok ormas yang mengadakan acara peringatan tanggal 9 Desember 2009 yang sangat bersemangat untuk mengungkap kasus Bank Century sebagai kasus korupsi yang paling baru di Indonesia.
Sejumlah anggota DPR termasuk dalam kelompok ini, baik yang termasuk dalam Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century DPR maupun tidak. Kelompok SBY dan Demokrat adalah kelompok kedua yang juga secara terang-terangan menyatakan sikap mereka yang antikorupsi dan ingin segera menuntaskan kasus Bank Century dengan membuka kasus seluas-luasnya, tetapi menaruh kecurigaan terhadap kelompok pertama.
Kedua kelompok tersebut mempunyai tujuan yang sama, tetapi terlibat dalam pertentangan politik. Adapun yang menjadi penyebab pertentangan antara kedua kelompok ini adalah perbedaan sikap menghadapi kasus Bank Century. Kelompok pertama telah menyatakan sejak awal bahwa kasus Bank Century perlu ditangani oleh DPR (melalui Pansus Hak Angket Bank Century) sebagai bagian dari usaha untuk mengungkapkan kasus Bank Century karena bagi mereka kasus tersebut telah cukup jelas.
Partai Demokrat serta beberapa partai koalisi pemerintah tidak mau membentuk Pansus Hak Angket Bank Century di DPR sebelum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil auditnya. Kelompok ini kemudian menyatakan dukungannya terhadap Pansus Hak Angket Bank Century setelah Presiden SBY menyatakan dukungannya terhadap pengungkapan kasus Bank Century dan pembentukan pansus di DPR.
Alasan lainnya adalah perbedaan pandangan dalam melihat kemungkinan pelanggaran hukum oleh pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan keputusan pengucuran dana talangan bagi Bank Century. Kelompok pertama merasa yakin telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.
Namun terjadi sebaliknya, kelompok kedua tidak yakin telah terjadi tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu mereka menolak anggapan bahwa telah terjadi aliran dana Bank Century kepada sejumlah pejabat pemerintah dan kubu Partai Demokrat. Memang harus diakui telah terbentuk opini publik bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century yang melibatkan dana dalam jumlah yang amat besar.
Opini publik ini diperkuat penemuan BPK yang telah melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Hal yang menjadi permasalahannya adalah dana tersebut tidak jelas ke mana perginya dan siapa saja yang menikmatinya. Ketidakjelasan yang berkepanjangan memunculkan berbagai spekulasi di dalam masyarakat. Ketidakjelasan itu juga semakin memperkuat tuduhan sebagian warga masyarakat bahwa telah terjadi korupsi dalam jumlah yang fantastis yang berujung pada tuduhan terhadap pemerintah karena keputusan tersebut oleh pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait dengan keuangan dan perbankan.
Oleh karena itu, perkembangan kasus Bank Century di dalam masyarakat menjurus ke arah terpojoknya pemerintah. Sangat disayangkan pemerintah bereaksi terhadap tuduhan tersebut dengan mengatakan tuduhan itu sebagai fitnah. Sikap defensif yang berlebihan yang ditunjukkan oleh pemerintah malah memperhebat pertentangan antara kedua kelompok.
Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri opini publik yang berkembang di dalam masyarakat sudah menjurus ke arah tuduhan bersalah sehingga pejabat-pejabat terkait harus diganti. Tidak seharusnya pemerintah melakukan serangan balik dengan mengatakan tuduhan terebut sebagai fitnah atau bertujuan menjatuhkan pemerintah. Baiknya pemerintah menyikasi hal tersebut dengan dewasa. Tuduhan balik ini jelas tidak membantu dalam menenangkan masyarakat.
Tuduhan yang dilontarkan menyulut api masalah menjadi semakin besar. Pemerintah dan kader-kader Partai Demokrat tidak perlu menunjukkan kemarahan atau sikap bermusuhan dengan adanya tuduhan seperti itu. Tidak diperlukan sumpah karena kelihatannya sumpah yang dilakukan secara sendirian di depan publik telah mengalami inflasi dan menjadi bahan tertawaan.
Seharusnya yang dilakukan adalah dukungan terhadap pengusutan perkara Bank Century secepatnya, tidak hanya di Pansus Hak Angket Bank Century DPR, tetapi juga di KPK. Tentu saja bantahan terhadap tuduhan tetap perlu dilakukan. Namun bantahan haruslah mendapat support fakta dan data yang valid. Kritik tidak boleh dijawab dengan tuduhan apa pun terhadap para pengkritik seperti ingin ditunggangi.
Terhadap pengkritik terjadi serangan balik yang tidak didasarkan atas fakta selalu tidak menguntungkan pihak yang melakukan serangan balik. Tentu saja yang diinginkan oleh rakyat adalah terjaganya stabilitas politik meskipun terjadi pertentangan pendapat di antara tokoh-tokoh politik.
Politik dan Kebijakan Perikanan
Politik dan Kebijakan Perikanan |
Tak ada yang bisa memungkiri bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan yang dikelilingi oleh Perairan. Potensi perairan yang terkandung di bumi Indonesia adalah keberkahan yang tak ternilai harganya. Dalam tataran yang lebih mikro, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah salahsatu daerah di wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang dianugerahi perairan yang begitu luas. Lautan yang terbentang menghampar luas dengan total luasannya 65.301 Km2. Ditambah dengan perairan daratan yang berbentuk sungai dan kolong-kolong dengan jumlah yang ribuan. Sebuah keanehan yang nyata bila dengan potensi perairan yang dimiliki, basis pengembangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak bertumpu pada sektor perairan. Potensi Perairan di Indonesia adalah domain garapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian inilah yang mengeluarkan Kebijakan-kebijakan berkenaan dengan pengelolaan, pemanfaatan termasuk penegakan hukum di sektor perairan. Di era otonomi daerah, sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18, daerah yang memiliki laut berwenang untuk mengelola wilayah perairan laut di daerahnya. Pada tataran prakteknya, pelaksanaan pengelolaan perairan di daerah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk wilayah Provinsi dan Dinas kelautan dan Perikanan Kabupaten untuk wilayah Kabupaten. Orientasi Pengelolaan sektor perairan harus mampu memenuhi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Oleh karena itu dibutuhkan Kebijakan-kebijakan di sektor perikanan yang pro rakyat. Kebijakan yang dimaksud mulai dari peraturan perundang-undangan sampai dengan pada tataran program kerja yang akan diterapkan oleh dinas. Lebih dari itu, tak hanya sebatas program kerja saja namun harus ada working hard dan smart ability untuk merelisasikan program kerja tersebut. Konsep Trias politika di Indonesia menempatkan bahwa legalisasi UU/anggaran ada di tangan DPR/DPRD (legislatif), sedangkan ranah pembuat dan pelaksana kebijakan pembangunan di tangan eksekutif serta ranah hukum pada yudikatif. Berangkat dari konsep itulah maka kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan. Setiap konsep dan Penerapan kebijakan tidak pernah lepas dari proses politik yang mengiringi kebijakan tersebut. Termasuk Kebijakan di sektor perikanan dan kelautan. Sebut saja UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan yang disempurnakan dengan UU No. 45 tahun 2009 yang merupakan dasar hukum kebijakan perikanan lahir melalui proses politik. Penetapan anggaran pemerintah dibidang perikanan-pun harus melalui proses politik di rapat paripurna DPR untuk pemerintah pusat dan atau rapat paripurna DPRD untuk tingkat provinsi/kabupaten. Sampai kemudian ditataran realisasi anggaran dalam bentuk program kerja, proses politik ada didalamnya. Proses politik yang dimaksud dalam tataran program kerja adalah proses politik yang berkenaan dengan strategi dan cara dalam menyukseskan program tersebut serta muatan dalam pelaksanaannya. Politik menempati peranan yang paling penting dalam pembangunan di Indonesia. Secara makro politik memiliki definisi yang mencakup cara dalam memformulasikan effort untuk mensukseskan tujuan yang diharapkan. Namun sayang terkadang kemampuan politik tidak dimiliki oleh eksekutif sebagai pengambil dan pelaku kebijakan. Rentannya kelemahan pengambil dan pelaku kebijakan perikanan dalam hal politik terlihat dengan merajalelanya kerusakan perairan di bumi serumpun sebalai. Belum terlihat bargaining atau usaha-usaha politik yang diambil oleh para pelaku kebijakan untuk menancapkan panji perikanan dengan mengelaminir quo vadis dari kegiatan pertambangan (kapal isap/TI apung) yang merusak perairan. Belum terlihat langkah konkrit yang dilakukan oleh pelaku kebijakan perikanan yang memiliki kekuasaan terhadap perairan untuk memperjuangkan dan mengkampanyekan kelestarian perairan dari kegiatan kapal isap dan TI apung. Dalam UU no. 31 tahun 2004 pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Hukuman terhadap pelanggaran pasal 12 ayat 1 terdapat dalam pasal 86 ayat 1 UU No. 31 tahun 2004 yang berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Merujuk pada UU ini maka secara jelas, sah dan meyakinkan bahwa aktivitas Kapal Isap dan TI apung yang mencemari perairan dan merusak sumberdaya ikan serta lingkungan periaran adalah pelanggaran. Namun pada kenyataannya sampai dengan detik ini kapal isap dan TI apung terus beroperasi, banyak penyebab hal tersebut. Pertanyaannya adalah telahkah para pelaku kebijakan dibidang perikanan menjadi pionir dalam mengkampanyekan dan mendorong penegakan UU ini? Saat ini mata masyarakat masih memandang sebelah pada sektor perikanan. Ini terjadi karena belum ada bukti nyata kesuksesan pembangunan dibidang perikanan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Karenanya kemudian aktivitas penambangan timah dan TI apung terus beroperasi. Ada sebuah keyakinan besar bahwa ketika para pelaku kebijakan mampu membangun perikanan yang maju maka secara perlahan masyarakat akan beralih profesi dari penambangan timah ke sektor perikanan. Namun sampai detik ini bidang perikanan belum berbicara banyak. Kelemahan skill politik para pelaku kebijakan perikanan untuk meyakinkan pihak legislatif dalam mensahkan kebijakan perikanan adalah salahsatu penyebabnya. Tak jarang karena program kerja yang diusulkan dimentahkan oleh legislatif, para pelaku kebijakan perikanan menjalankan program yang sporadis, asal-asalan dan tak berarah. Kompleks memang. Orientasi politik adalah untuk kepentingan rakyat maka kemakmuran rakyat adalah segala-galanya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Skill politik mutlak dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan perikanan. Skill politik bukan berarti mempolitisi perikanan untuk tendensi pribadi namun skill politik untuk memperjuangkan pembangunan perikanan bagi kepentingan rakyat dan kelestarian perairan. Skill politik yang digunakan untuk mensukseskan pembangunan perikanan dan menjadikan perikanan sebagai leading sector di Bangka Belitung. |
Minggu, 13 Mei 2012
Pemijahan, vivipar, ovovivipar dan ovipar
Pemijahan, vivipar, ovovivipar dan ovipar
Proses pemijahan adalah proses yang ditujukan kepada suatu spesies dalam bentuk tingkahlaku melakukan perkawinan atau pembuahan ovum oleh sperma.
Secara umum pemijahan biota akuatik dibagi dalam beberapa tahapan yaitu proses matting, proses spawning, proses pasca spawning.
![]() |
Ikan matang gonad |
![]() |
Ikan diberi hormon agar cepat matang gonad |
![]() |
Ovivapar |
![]() |
Vivipar |
![]() |
Embrio Hiu |
Berdasarkan sifatnya proses pemijahan dapat berlangsung secara alamiah dan buatan :
o Pemijahan Alami
Sepasang ataupun sekelumpok ikan yang siap memijah dan akan memijah ditaruh dalam suatu wadah kolam. Dan sudah tentu keadaan, salinitas, dan suhu sudah diatur agar sesuai dengan tempat pemijahan ikan itu yang sebenarnya. Dan saat pemijahan kolam biasanya ditutup, agar mengurai gangguan dalam pemijahan dan ikan lebih suka memijah pada tempat gelap dan hangat.
• Pemijahan Buatan
Pada pemijahan buatan, pembuahan telur oleh sperma dilakukan dengan bantuan manusia. Telur dipaksa keluar dari tubuh induk ikan betina dengan tehnik stripping/pengurutan kemudian ditampung pada suatu wadah. Lalu segera dilakukan stripping pada induk jantan untuk mengeluarkan sperma secara paksa. Telur dan sperma kemudian di satukan dalam satu wadah lalu diaduk dengan alat lembut dan halus seperti bulu ayam sehingga tercampur dan terjadi pembuahan.
Berdasarkan tehniknya, pemijahan ikan dapat dilakukan dengan 3 macam cara yaitu :
a. Pemijahan ikan secara alami, yaitu pemijahan ikan tanpa campur tangan manusia. Terjadi secara alamiah ( tanpa pemberian rangsangan hormon)
b. Pemijahan secara semi intensif, yaitu pemijahan ikan yang terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad, tapi proses ovulasinya terjadi secara alamiah di kolam.
c. Pemijahan ikan secara intensif, yaitu memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad serta ovulasinya dilakukan secara buatan dengan tehnik stripping/pengurutan.
Ada 3 komponen yang mempengaruhi proses reproduksi atau pemijahan pada ikan, yaitu gonad, sinyal lingkungan, dan sistem hormon dimana ketiga komponen itu saling mempengaruhi.
Fertilisasi
Fertilisasi eksternal: persatuan sperma dgn sel telur terjadi di luar tubuh
induk.Contoh: Cyprinidae, Anabantidae, Siluridae, dll.
Fertilisasi internal: sel telur bersatu dgn sperma di dalam tubuh induk).
Digunakan organ bantu pemijahan, spt: gonopodium, myxopterygium, dan
tenaculum. Contoh: Elasmobranchii, Anablepidae, Poecilidae.
Berdasarkan habitat tempat ikan memijah:
Lithophil: memijah pd dasar perairan berbatu
Psamophil: memijah di dasar perairan berpasir
Pelagophil: memijah pada kolom air di perairan terbuka
Ostracophil: memijah pd cangkang binatang yg telah mati
Beradasarkan tempat embrio berkembang & tempat terjadinya pembuahan:
Ovipar: Ikan yg mengeluarkan telur saat pemijahan
Vivipar: Ikan yg melahirkan anaknya. Kandungan kuning telur sangat sedikit dan perkembangan embrio ditentukan oleh hubungannya dgn placenta pd tahap awal utk mencukupi kebutuhan makanannya. Anak yg dilahirkan sdh menyerupai individu dewasa.
(Vivipar)
Ovovivipar:Ikan yg melahirkan anaknya. Sel telur mengandung cukup banyak kuning telur yg mencukupi kebutuhan makanan anak ikan. Induk ikan hanya menyediakan tempat perlindungan.
Contoh : Ikan Hiu
Kebanyakan hiu adalah ovovivipar, yang berarti bahwa telur dierami dan menetas didalam oviduk tubuh induknya, dimana kuning telur (yolk) menjadi nutrisi utama embrio. Hiu ovovivipar disebut juga sebagai hiu aplacental vivipar yg berarti melahirkan tanpa plasenta (ari-ari). Hiu ovovivipar ini terbagi tiga tipe.
embrio hiu
Perbedaan antara ikan vivipar dengan ikan ovovivipar terletak pada perkembangan telur yang dikandung dan keadaan anak-anaknya pada waktu dilahirkan.
Ikan vivipar dan ovovivipar biasanya berfekunditas kecil dan keturunannya mendapat semacam jaminan atau keyakinan dari induk untuk dapat melangsungkan awal hidupya dengan aman. Sedangkan pada ikan ovipar biasanya berfekunditas besar atau jumlah telur yang dikeluarkannya besar disebabkan untuk mengimbangi tekanan keadaan sekelilingnya dari hal yang tidak lazim terutama dari serangan predator. Hal ini menunjukkan bahwa ikan vivipar dan ovovivipar lebih modern daripada ikan ovipar dalam mempertahankan eksistensi spesies. Dalam proses biologisnya yaitu pada waktu terjadi pemijahan, ikan ovipar lebih banyak mengeluarkan energi dari pada ikan vivipar dan ovovivipar.
Chondrichthyes ovipar: bagian depan jaringan oviduct dimodifikasi menjadi kelenjar cangkang (shell gland)
Pada ovovivipar dan vivipar: bagian belakang oviduct membesar menjadi suatu uterus tempat menyimpan anak ikan selama perkembangan embrioniknya.
Sumber :
• http://hobiikan.blogspot.com/2008/08/vivipar-ovovivipar-dan-ovipar.html
• http://desnaikhsandra.blogspot.com/2011/01/apakah-hiu-bertelur.html
• http://issuu.com/adhna/docs/spawning_final
http://pobersonaibaho.wordpress.com/2011/05/12/pemijahan-vivipar-ovovivipar-dan-ovipar/
Tugas Pokok Seorang Advokat
Banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang advokat untuk seorang klien. Karena ketika seorang klien dipertemukan dengan seorang advokat ternyata banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang advokat untuk kliennya. Stigma sempit terhadap seorang advokat yang mewakili klien di dalam persidangan, adalah salah satu tugas seorang advokat. Namun hal tersebut sangat membatasi ruang gerak advokat yang hampir selalu dipertanyakan oleh setiap klien, mengenai kapsitas seorang advokat. Hal ini senada dengan yang pernah diungkapkan oleh Johnston dan Hapson dan non legal (memberikan nasihat hukum yang diberikan oleh Advokat di Amerika Serikat dan Inggris sebagai berikut :
Giving advise, both legal, dan non legal (memberikan nasehat baik yang bersifat hukum atau non –hukum)
Negotiations (negosiasi)
Frafting letters and legal documents (membuat surat-surat dan dokumen-dokumen hukum)
Litigation, including preparation of cases and advocacy (litigasi termasuk persiapan pembelaan dan advokasi)
Investigation of facts (inverstigasi fakta-fakta)
Legal research and analysis (penelitian hukum dan analisa)
Lobbying legislation and administrators (melobi pembuat undang-undang dan administrasi)
Acting as broker (bertindak sebagai perantara)
Public relations (sebagai juru bicara/ humas klien)
Filing submissions to government and other organizations (mengajukan kepatuhan kepada pemerintah dan organisasi lain)
Adjudication (mewakili klien sampai dibacakan putusan pengadilan atau majelis hakim)
Financing (mengurus pembiayaan keuangan)
Property management (menejemen properti)
Referral of clients to other source of assistense (merekomendasikan klien kepada sumber lain)
Supervisions of others (pengawas lainnya)
Emotional supports to client (membantu ketenangan emosi klien dalam menghadapi masalah hukum)
Emmorral and unpleasant task (taking care of disagrace matters for clients could di themselves but prefer to have some one else do) (tugas tidak bermoral dan tidak menyenangkan, menjaga hal-hal yang tidak enak untuk klien dapat melakukan nya tetapi lebih disukai tetapi lebih disukai jika ada orang lain yang melakukannya.
Acting as scapegoat (bertindak sebagai sebab kesalahan)
And getting business (menjalankan bisnis)
Sabtu, 12 Mei 2012
HIU Ringkus Enam Kapal Asing Ilegal
![]() |
Kapal Pengawas HIU |
Kapal Pengawas HIU milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) ketika melaksanakan patroli rutinnya dikawasan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Exlusive Indonesia ), Kamis (29/03) kembali berhasil menangkap lima kapal pelaku illegal fishing asal Thailand di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (WPP NKRI) Selat Malaka dan satu kapal ikan asal Vietnam di WPP NKRI Laut Natuna sehingga total keseluruhan kapal yang berhasil ditangkap berjumlah enam Kapal Ikan Asing (KIA). "Penangkapan kapal ilegal ini merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk memberantas pelaku illegal fishing yang masuk di wilayah Perairan Indonesia. Hasil penangkapan kali ini merupakan bentuk komitmen KKP dalam menjaga Perairan Indonesia",ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo hari ini (30/3) di Jakarta. Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa kegiatan penangkapan kapal ikan ilegal yang masuk Perairan Indonesia akan ditindak sesuai aturan beralku jika terbukti melakukan pelanggaran sehingga dapat memberikan efek jera.
Dirjen PSDKP, Syahrin menyebut bahwa keenam kapal asing tersebut ditangkap karena tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI serta melakukan kegiatan penangkapan ikan di WPP NKRI. Sementara itu, lima buah kapal asing yang berasal dari Thailand tersebut bernama Khanom Cun 2 dengan diawaki Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak 11 orang ditangkap pada posisi 05016'04'' LU 098014'05" BT, Kapal asing KYAW SIN 23 dengan jumlah ABK 9 ORANG ditangkap pada Posisi 05022'05" LU - 098010'01" BT, sedangkan kapal asing KHANOM CUN 4 yang diawaki ABK sebanyak 11 orang ditangkap pada Posisi 05024'03" LU – 098011'09" BT.
Selanjutnya, kapal asing KYAW SIN 12 yang diawaki oleh ABK sebanyak 11 org ditangkap di posisi 05016'539" LU - 098014'237" BT. Terakhir, KYAW SIN 9 beserta ABK yang berjumlah 10 org ditangkap pada posisi 05019'540" LU - 098021'580" BT. Kapal Thailand ilegal tersebut beserta ikan hasil tangkapan langsung diboyong ke Dermaga Belawan, Sumut guna menjalani pemeriksaan secara intensif, sedangkan total jumlah Anak Buah Kapal (ABK) yang berhasil diamankan berjumlah total sebanyak 52 orang berkewarganegaraan Thailand dan Myanmar. Sedangkan kapal Vietnam ilegal yang ditengarai melakukan pelanggaran dengan menangkap ikan secara ilegal di WPP NKRI Laut Natuna serta kapal tidak dilengkapi dengan dokumen dikawal ke Kijang, Tanjung Pinang, Propinsi Kepulauan Riau.
Kapal asing yang berasal dari Thailand tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Jo pasal 92 Jo pasal 93 ayat (2) Jo pasal 86 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yakni dengan menggunakan alat tangkap terlarang Trawl. Selain itu, kapal asing lainnya yang berasal dari Vietnam ditangkap pada posisi 01029'505" LU -104059'312" BT di perairan Bintan laut cina selatan. Kapal asing tersebut yaitu CM 91375 TS dan diawaki ABK sebanyak 13 orang yang keseluruhannya anak buah kapalnya berasal dari Vietnam., ujar Syahrin.
KKP melalui PSDKP terus berupaya melakukan pengawasan terhadap perairan laut Indonesia dengan meningkatkan pengawasan guna meminimalisir aksi pencurian ikan dan biota laut lainnya. Oleh karena itu, PSDKP menargetkan hingga 2014 dapat terpantaunya kegiatan pemanfaatan SDKP dan Wilayah Pengelolahan Perikanan (WPP) Indonesia secara terintegrasi dan terpenuhinya infrastruktur pengawasan secara akuntabel dan tepat waktu. PSDKP mulai meningkatkan koordinasi dengan lintas penegak hukum di laut melalui peningkatan koordinasi pelaksanaan operasi dengan Bakorkamla, TNI-AL, Polair, TNI-AU, dan kelembagaan pengawasan SDKP di daerah. Juga penerapan sistem pengawasan terpadu (Integrated Surveillance System/ISS) serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan SDKP (Pokmaswas), di tingkat nasional, regional, dan internasional.
Sumber. kkp.go.id
Jumat, 11 Mei 2012
Pembudidayaan Nila Tingkatkan Keterampilan di Balai Diklat Perikanan Aertembaga
![]() |
Ikan Nila |
DI BALAI DIKLAT PERIKANAN AERTEMBAGA
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang sudah dikenal di kalangan masyarakat. Rasa daging ikan yang enak membuat banyak orang menyukainya. Bagi para pembudidaya memelihara ikan nila banyak dipilih karena mudah dalam membudidayakan dan mudah dalam pemasarannya. Selain itu minat pasar untuk ikan nila masih sangat terbuka lebar, mulai dari nila ukuran bibit sampai ikan nila yang di kategorikan sebagai ikan konsumsi, semua pasar tersebut masih mungkin untuk dimasuki. Karena termasuk ikan konsumsi, ikan nila memiliki harga yang cukup terjangkau melalui pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.
Usaha pembesaran Ikan Nila dapat dilakukan pada semua tempat seperti kolam, tambak, karamba, jaring apung bahkan pada air payau sekalipun. Resiko kematian usaha pembesaran relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pembibitan, ikan nila relatif bisa bertahan hidup dalam kondidi air yang tidak begitu bagus. Usaha pembesaran ikan nila ditujukan untuk memenuhi permintaan konsumsi, yang bisa dipanen dalam masa 4 bulan sejak benih ikan Nila ditebar.
Berdasarkan hal–hal yang disebutkan diatas BPPP Aertembaga melaksanakan pelatihan pembesaran ikan nila bagi 30 orang peserta, berasal dari 24 kabupaten/kota di 6 provinsi wilayah pengembangan BPPP Aertembaga, yang diselenggarakan selama 6 hari kelender mulai tanggal 12 s.d 17 Maret 2012. Penyelenggaraan pelatihan pembesaran ikan nila ini berdasarkan surat Keputusan Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Aertembaga Nomor : 27 / BPPP-BTG / DL.210 / Kpts / II / 2012 tanggal 21 Februari 2012 bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap pembudidaya agar mampu dan terampil dalam mengembangkan usaha budidaya ikan nila serta mendukung misi Kementerian Kelautan dan Perikanan mensejahterakan masyarakat Kelautan dan Perikanan.
Kepala BPPP Aertembaga, Pola ST. Panjaitan, A.Pi, MM dalam sambutannya pada acara pembukaan pelatihan menyampaikan bahwa Balai bertugas menyiapkan SDM KP yang terampil dalam usahanya agar menjadi pembudidaya yang mandiri dan sejahtera. Diharapkan segala ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh selama pelatihan dapat diterapkan didaerahnya masing-masing.
Materi yang diberikan sesuai kurikulum pelatihan yang disusun berdasarkan hasil Analisa Kebutuhan Pelatihan dan kompetensi kerja calon peserta pelatihan dengan jumlah jam berlatih 52 jam @45 menit. Metode pelatihan dilaksanakan dengan menggunakan pendidikan orang dewasa, yang disusun secara sistematis dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP), Satuan Ajar Pembelajaran (SAP) dan Bahan Ajar sesuai petunjuk dan ketentuan Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan.
Materi yang diperoleh selama mengikuti pelatihan diharapkan dapat menjadi bekal untuk diaplikasikan dan sebagai solusi jika berhadapan dengan permasalahan dilapangan. Kegiatan pelatihan ini juga menjadi ajang tukar pengalaman dan informasi baik antar peserta maupun dengan pelatih / widyaiswara / instruktur.
Penyelenggaraan pelatihan sejak pembukaan hingga berakhir dan ditutup tidak mengalami hambatan yang berarti, hal ini merupakan indikator dari keberhasilan dari suatu proses pelatihan. Dalam acara penutupan oleh Plh. Kepala Balai Ir. Lucky Sambuaga, menyampaikan kepada peserta agar hasil latihan ini dapat ditularkan kepada masyarakat yang lainnya di daerah masing-masing. Diakhir Pelatihan Garadus Ohy S.Pd selaku ketua Panitia melaporkan pelaksanaan pelatihan dapat tercapai sesuai rencana, yaitu seluruh peserta dinyatakan lulus 100%.
Seluruh rangkaian kegiatan pelatihan diakhiri dengan penanda- tanganan berita acara serah terima 30 paket alat budidaya kepada peserta pelatihan yang secara simbolik diserahkan kepada Johan Mongkau asal Kabupaten Minahasa Selatan mewakili peserta.
Sumber : ** Humas BPPP Aertembaga ** dan kkp.go.id
Langganan:
Postingan (Atom)