Minggu, 03 Juni 2012

Asas-asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis dalam Hukum Perjanjian

Dikirim/ditulis pada 8 June 2007 oleh Yed Imran
ARTIKEL HUKUM PERDATA/BISNIS

Oleh: S. Imran*

PENDAHULUAN

A. Sejarah

Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi Jerman. Adapun sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara-negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law[1] yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.

Selain sistem civil law, juga dikenal dengan adanya sistem common law. Rene Devid dan John E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum: civil law, common law, dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana negara-negara sosialis banyak menganut sistem civil law.[2] Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law.

Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang/berpatokan pada putusan-putusan sebelumnya).[3]

Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut sistem hukum civil law.

Sekilas mengenai perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law (Anglosaxon) dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem civil law diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada universitas-universitas, yang menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan perkembangan sistem common law terletak pada putusan-putusan hakim, yang bukan hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.[4]

Hukum di negara dengan sistem civil law pada umumnya ditujukan untuk menetapkan suatu kaidah atau norma yang berada di suatu lingkungan masyarakat untuk diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama yang mengatur dan menguasai sesama manusia. Jadi dapat dikatakan hukum terdapat dalam masyarakat manusia sehingga dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.[5] Hal ini sesuai adagium: ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum. Berbeda dengan sistem hukum common law yang tidak mengenal pembagian secara prinsipil atas hukum publik dan hukum perdata, maka pada sistem hukum civil law pembagian hukum publik dan hukum perdata (privat) merupakan hal yang sangat esensial. Hukum Publik lazimnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa. Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.[6] Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische staatsregeling, yang dalam pokoknya sebagai berikut:[7]
Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula dengan Hukum Pidana besertas hukum Acara perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab atau undang-undang, yaitu yaitu dikodifisir.
Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tiong Hoa, Arab, India dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpanagn jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).
Orang Indonesia asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suartu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri: pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat: (ayat 6).
Dengan adanya ketentuan tersebut diatas, maka pengaturan untuk tunduk terhadap hukum perdata dapat diklasifikasikan sehingga jelas aturan hukum yang mengatur hubungan antar sesama masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan sosial bagsa Indonseia saat itu, dapat pula kemungkinan terjadinya penundukan diri pada Hukum Eropa yang telah diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, antara lain:[8]
Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
Penundukan pada sebagian hukum Perdata Eropa, yakni hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa;
Penundukan secara “diam-diam”, yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan kodifikasi atas hukum perdata dengan memuat sekumpulan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia Belanda ini hingga kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materil. Adapun sistematika yang dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat buku ini adalah sebagai berikut:

a. Buku I yang berkepala “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga.
b. Buku II yang berkepala “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
c. Buku III yang berkepala “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d. Buku IV yang berkepala “perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan-hubungan hukum.

Sedangkan Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazimnya dibagi dalam empat bagian, yaitu:[9]
a) Hukum tentang Diri Seseorang; memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
b) Hukum Kekeluargaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
c) Hukum Kekayaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
d) Hukum Warisan; mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jikalau ia meninggal.

B. Latar Belakang Hukum Perjanjian

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10] bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer, antara lain sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht.[11] Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[12] Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:[13]

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2. Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
memberikan sesuatu;
berbuat sesuatu;
tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5. Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

C. Permasalahan

Dalam aspek kegiatan hukum sehari-hari dibidang perekonomian banyak ditemukan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian-perjanjian dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam) bagian, yakni judul perjanjian, pembukaan, pihak-pihak dalam perjanjian, recital, isi perjanjian, dan penutup. Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula umum seperti wanprestasi, pilihan hukum dan pilihan forum, domisili, force majeur, yang banyaknya tergantung dari kesepakatan para pihak. Keberadaan suatu kontrak tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Asas-asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Namun demikian, seringkali ditemui ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena disebabkan kekurangpahaman para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka. Oleh karena itu timbulah pertanyaan meliputi asas-asas apa sajakah yang berlaku dalam melakukan suatu kontrak/perjanjian?

D. Tujuan

Pada kesempatan ini, kami mencoba memberikan pemaparan mengenai pentingnya perlindungan bagi para pihak dalam melakukan suatu kontrak/perjanjian ditinjau dari asas-asas berkontrak (contract principles). Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk menyampaikan gambaran secara historis yuridis kepada khalayak umum mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat kontrak yang berkaitan dengan perbuatan hukum. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk memahami karakteristik suatu kontrak yang bersifat terbuka yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan teori-teori Ilmu Hukum.


PEMBAHASAN

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPer. Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.

A. Sistem Pengaturan Hukum Kontrak
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

 membuat atau tidak membuat perjanjian;
 mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
 menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
 menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.[14]Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer. Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
 Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.
 Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
 Bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
 Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;

Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yakni:

 aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
 aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri.

Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Dengan demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka.Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 1337 KUHPer. Dengan demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada Pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang UU, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

B. Karakteristik Kontrak

Seperti diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak[15]

Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).[16]

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain.[17] Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.

C. Asas-asas Hukum Kontrak

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.[18] Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat sperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.[19]

Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.

Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini denga memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.

Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPer menyatakan “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenakan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut Hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat menambah.Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang.Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

D. Asas-asas Hukum Perikatan Nasional

Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.[20] Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

2. Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

3. Asas Kesimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

4. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

5. Asas Moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

6. Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.



7. Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembicaraan diatas bahwa perjanjian/kontrak itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan di situ dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sehingga perjanjian yang mereka buat merupakan undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakannya. Untuk memahami dan membentuk suatu perjanjian maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yakni syarat subjektif: adanya kata sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, sedangkan syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Oleh sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat suatu kontrak/perjanjian haruslah pula memahami asas-asas yang berlaku dalam dasar suatu kontrak/perjanjian antara lain: asas kebebasan berkontrak, asas konsesnsualisme, asas kepastian hukum/pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Dari kelima asas yang berdasarkan teori ilmu hukum tersebut ditambahkan delapan asas hukum perikatan nasional yang merupakan hasil rumusan bersama berdasarkan kesepakatan nasional antara lain: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moralitas, asas kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan. Dengan demikian telah diketahui bersama mengenai asas-asas yang berlaku secara umum dalam hal membentuk atau merancang suatu kontrak di dalam kegiatan hukum.

B. Saran

Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian/kontrak hendaklah terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai asas-asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani perjanjian/kontrak tersebut sehingga dapat terhindari hal-hal yang tidak diinginkan dan terlaksananya tujuan melakukan kontrak. Sangat disarankan pula bagi para pihak minimal membaca dan mengerti akan kontrak yang akan ditandatanganinya sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujukan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah.



* * * Catatan Akhir

[1] Rene Devid and John. E.C. Brierley: “Major Legal Systems in the World Today,” Second Edition, (London: Stevens & Sons, 1978), hal. 21.

[2] Ibid, hal. 25.

[3] Hardijan Rusli, SH, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,” Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16.
[4] Ibid.

[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,” Cet. Kedua, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hal. 28.

[6] Ibid, hal. 122.

[7] Prof. Subekti, SH, “Pokok-pokok Hukum Perdata,” Cet. XXVI, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), hal. 11.

[8] Ibid, hal. 12

[9] Ibid, hal. 16

[10] Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan),” Cet. 28, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.

[11] Salim H.S, SH, MS, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3,

[12] Prof. Subekti, SH, “Hukum Perjanjian,” Cet. XII, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hal. 1.

[13] Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 4.

[14] Ibid, hal, 8.

[15] Atiyah, “The Law of Contract,” (London: Clarendon Press, 1983), hal 1.

[16] Ibid, hal. 5.

[17] Ibid, hal. 13.

[18] Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 9.

[19] Ibid, hal, 11.

[20] Tim Naskah Akademis BPHN, “Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,” (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985)

DAFTAR PUSTAKA

Atiyah. The Law of Contract. London: Clarendon Press, 1983.

Devid, Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal Systems in the World Today. London: Stevens & Sons, 1978.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, 2004.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT. Intermasa, 1994.
______ dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek (terjemahan). Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.

Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.

* Alumni Magister Hukum Universitas Indonesia dan Staf pada Indonesia Future Institute (IFI) Jakarta.

7 Cara Hidup Sehat

Gangguan kesehatan bisa muncul kapan saja, apalagi jika kita lengah terhadap gejala dan penyebabnya. Tanpa kita sadari gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat merupakan faktor penyebab utamanya.
Meskipun ada penyebab lainnya yang tidak bisa dihindari seperti fakor genetik, pencemaran lingkungan.
Agar tetap sehat, ada banyak cara untuk mendapatkannya. Salah satunya, ikuti 7 jurus berikut ini dan dapatkan kualitas hidup yang lebih baik: 


1. Udara bersih, paru-paru pun sehat
Untuk terhindar dari gangguan pernapasan, hiruplah udara yang bersih dan sehat. Caranya ? Tidak perlu repot mencari udara pegungungan, udara pagi pun sangat baik bagi paru-paru Anda. Selain itu hindari pula udara tercemar, seperti asap rokok, asap kendaraan atau debu. Bersihkan rumah dan ruangan kerja secara teratur, termasuk perabot, kipas angin dan AC. 

2. Banyak minum air putih
Air putih adalah yang terbaik dari minuman apapun. Biasakanlah minum air putih 8-10 gelas per hari. Kebiasaan ini akan membantu menjaga kelancaran fungsi ginjal dan saluran kemih. Upayakan untuk minum air hangat di malam hari dan air sejuk (bukan air es) di siang hari. Tambahkan juga sedikit perasan jeruk lemon atau jeruk nipis. Selain baik untuk menyegarkan diri, minuman ini sekaligus membantu mengeluarkan toksin dari dalam tubuh. 

3. Konsumsi menu bergizi dan seimbang
Pilihlah menu dengan gizi yang cukup, seimbang, dan bervariasi. Perbanyak konsumsi sayuran hijau dan buah yang mengandung banyak serat dan zat gizi yang diperlukan tubuh serat. Sebisa mungkin hindari junk food dan makanan olahan, serta kurangi konsumsi garam dan gula. Satu lagi, jangan lupa sarapan pagi! Karena sarapan pagi dapat menunjang aktifitas kita sepanjang hari. 

4. Seimbangkan antara kerja, olahraga dan istirahat
Kerja keras tanpa istirahat sama sekali tidak ada untungnya bagi Anda. Biasakan istirahat teratur 7-8 jam pada malam hari, dan jangan sering begadang atau tidur terlalu malam. Cobalah menggunakan waktu senggang untuk berolahraga ringan atau sekedar melemaskan otot-otot persendian.
Dengan berolahraga 2 - 3 kali per minggu, selama 30 - 45 menit, cukup membuat tubuh bugar dan stamina prima. 


5. Kontrol kerja otak
Otak, seperti halnya tubuh kita, dia juga butuh istirahat. Jangan terlalu memberi beban terlalu banyak, karena otak pun memiliki memori yang terbatas. Lakukan kegiatan di waktu senggang yang membuat otak bekerja lebih santai, misalkan melakukan hobi yang menyenangkan, seperti melukis, membaca novel terbaru atau hanya sekedar mendengarkan musik. 

6. Jalani hidup secara harmonis
Manusia merupakan mikrokosmos yang harus mematuhi alam sebagai makrokosmos jika ia ingin tetap sehat. Lakukan semua itu sebagai upaya pencegahan dengan selalu mengingat nasihat orang bijak untuk “membuat sumur sebelum timbul rasa haus”.
Gunakan akal sehat! Itu kuncinya, jangan mengorbankan hidup dengan menuruti kesenangan diri lewat kebiasaan hidup yang buruk dan beresiko. Misalkan, minum-minuman keras, merokok atau menggunakan obat-obatan terlarang. Cobalah untuk menjalani hidup secara harmonis, sebisa mungkin perkecil resiko terjadinya stres emosional atau psikis. 

7. Gunakan suplemen gizi
Hanya jika perlu! Tubuh kita memerlukan antioksidan (beta-karoten), vitamin C, vitamin E, dan selenium. Semua zat ini dibutuhkan oleh tubuh untuk meningkatkan vitalitas dan memperpanjang usia harapan hidup. Untuk memperolehnya banyak cara yang bisa dilakukan.
Selain mengkonsumsi makanan segar, bisa juga dengan cara mengkonsumsi suplemen kesehatan yang banyak dijual di pasaran. Sebaiknya, penggunaan suplemen makanan lebih dianjurkan sebagai terapi alternatif saja dengan mengutamakan jenis suplemen makanan yang sudah diteliti dan bermanfaat.


Sumber:idionline

Sabtu, 02 Juni 2012

Latihan Simaphore 2

Semaphore

 
Media Belajar Isyarat dengan Morse dan Semaphore PDF Print E-mail
Berikut ini adalah media untuk belajar pengenalan isyarat dengan morse dan semaphore serta didalamnya ada mengenal code/ isyarat lainnya. Pramuka Penggalang sangat membutuhkan tehnik belajar cepat tentang morse maupun semaphore.  Ada tehnik cara menguji sejauh mana pengusaan tentang isyarat. Dua software, morse dan semaphore ini dibuat dengan menggunakan macromedia Flash.

Code morse

Image



Semaphore dan multi code

Image


Sedangkan bagi yang sangat pemula dapat menggunakan media latihan ini, sebagai awal pengenalan semaphore.

Image

Download Flash Player.  (Software untuk membuka Game Flash/ bila blm instal adobe Flash )

Jumat, 01 Juni 2012

Aspek Hukum Dalam Malapraktek

Yoni A Setyono, SH.MH

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini sebagaimana yang sering kita baca di beberapa harian dan dilihat di media elektronik nampaknya mulai bertimbulan tuntutan terhadap dokter dan rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Tuntutan pada umumnya dari para pemekai jasa pelayanan kesehatan baik dari masyarakat umum, artis bahkan sampai kepada istri pengacara.

Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik bila kita berpikir positif maka mau tidak mau akan membuat pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan terutama dalam pemberian jasa pelayanan preventif dan kuratif menjadi lebih berhati-hati dan cermat. Tentunya peran pelayanan kesehatan tidak hanya di dua hal tersebut namun meliputi upaya promotif dan rehabilitatif. Tapi yang mempunyai risiko yang membawa aspek hukum adalah upaya preventif dan kuratif.

Disisi lain kita juga sering mendengar bila para dokter bila mereka sering dituntut akan membuat mereka akan menjadi takut dan bahkan berlaku terlalu berhati-hati dalam menangani pasien. Tentu saja sikap yang takut-takut dan terlalu berhati-hati akan membuat pelayanan menjadi lamban dan ini dapat membuat sakit pasien menjadi semakin parah bahkan mungkin meninggal dunia. Tindakan yang lamban dan dianggap lalai ini dalam kacamata hukum dianggap dapat juga sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
Oleh karena ini dalam pelayanan terhadap pasien baik oleh pihak dokter dan rumah sakit nampak terlihat sebagai buah seolah “simalakama”. Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi bila semua pihak memahami peta hukum terutama dalam pelayanan kesehatan.

B. Pengertian dan ruang lingkup

Pengertian malapraktek tidak dijumpai secara limitatif dalam peraturan perundangan. Pengertian tersebut dapat dipahami dari beberapa sumber yaitu:

1. “Malpractice” diartikan sebagai “ Professionanl mis-conduct on the part of a professional such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist or vetenarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong doing; or illegal or un ethical practice.”

2. What is Malpractice? Iin a general sense malpractice is “bad “practice, a failure to comply with the standard set by the profession. From the stand point of a patient who has sustained in juries, it may cover the range on incident from diagnosis through operation and after treatment. 

3. Menurut Ninik Mariyanti, SH.;
  1. Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi;
  2. Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien), malapaktek dapat terjadi dalam:
  • Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag, ternyata pasien sakit liver;
  • Menjalankan operasi, misalnya seharusnya yang dioperasio mata sebelah kanan, tapi yang dioperasi mata sebelah kiri;
  • Selama menjalankan perawatan;
  • Sesudah perawatan tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan;
4. “Malpractice Crisis” di Pengadilan Amerika Serikat antara lain meliputi:
  • Salah Diagnosa (misdiagnosis) yaitu kegagalan untuk memakai pemeriksan yang sesuai sehingga suatu diagnosa yang tepat dapat ditegakkan merupakan subyek dari banyak sekali keputusan; contoh seorang pasien menjalani pengangkatan rahim. Pada waktu dilakukan operasi, saluran kencingnya terjahit. Waktu timbul gejala-gejala kesukaran ginjal, tertuduh tidak melaksanakan apa yang tertera dalam petunjuk pasien bahwa suatu IVP harus dikerjakan. Mereka tidak minta konsul pada seorang ahli ginjal atau berbuat sesuatu,kecuali memberinya antibiotik berdasarkan perkiraan diagnosis pasien menderita infeksi. Enam hari setelah operasi, akhirnya dibuatkan IVP, tetapi saluran kencingnya telah rusak kemudian pasien tersebut kehilangan satu ginjalnya;# Dalam kasus diatas pengadilan mempelajarai keputusan-keputusan lama yang menyatakan bahwa kesalahan diagnosa tidak perlu menunjukkan kecerobohan tetapi menyatakan terdapat suatu perbedaan besar antara kesalahan dalam penilaian kecerobohan dan mengumpulkan data yang penting, untuk sampai kesimpulan data yang tepat. Apabila dokter gagal dalam menggunakan cara-cara ilmiah untuk mengumpulkan data-data yang penting agar dapat memberikan diagnosis yang tepat maka hal ini bukanlah suatu kesalahan dalam penilaian tetapi merupakan kecerobohan untuk mendapatkan data yang penting yang dijadikan dasar diagnosisnya.Standar profesi medis
  • Pengobatan yang salah atau tidak sesuai (Incorrect or adequate treatment)
Definisi kecerobohan dalam memberikan obat adalah sama dengan salah diagnosa. Setelah menentukan data-data yang diderita pasien maka dokter berkewajiban dengan segala kemampuannya dan kecermatan sebagaimana yang dilakukan dokter lain yang setaraf pendidikan dalam situasi dan kondidsi yang sama;

Dalam kasus Derr versus Bonney maka kecerobohan yang dituduhkan adalah mengenai kegagalan menyambung tulang mata kaki yang patah dengan baik; salah satu pertimbangan hukum pengadilan yang menarik adalah dokter yang menerima pasien untuk suatu pengobatan menggap dirinya mampu untuk membuat suatu diagnosa yang cermat dan membuat suatu rencana pengobatan serta menggunakan pertimbangan yang baik, dalam melaksanakan pengobatan tersebut. Dokter tidak boleh mengira bahwa dirinya sebagai pembawa mukjijat. Dengan perkataan lain dia tidak dapat bertanggung jawab hanya karena hasil pengobatannya memberi hasil yang jelek.#

3. Tanggung Jawab Dokter Disebabkan Luka-Luka Karena Suatu Alat (Injuries From Equipment & Premises)


Tuntutan dilakukan tidak terhadap kecerobohan dokter dalam pengobatan tapi dengan tuduhan bahwa doter seharusnya sadar ada kesrusakan pada alat yang dipakainya.

Contoh : Alat sinar X dokter gigi yang dipasang didinding dengan baut. Doter tersebut menarik alat sinar X diatas wajah si pasien untuk memotret giginya. Alat tersebut lepas dari dinding dan jatuh diatas wajah pasien dan mengakibatkan luka berat. Kemudian ditentukan bahwa baut itu yang putus, karenanya pasien berhak mendapat ganti rugi. Pengadilan menentukan bahwa dokter gigi seharusnya memeriksa alat-alatnya terlebih dahulu.

C. Ketentuan Hukum yang berkaitan dengan Malapraktek:

C.1 Dalam KUHPidana :

Dalam beberapa kasus ada kecenderungan pasien yang merasa dirugikan membawa kasusnya ke pidana. Artinya dia melaporkan baik terhadap rumah sakit maupun dokter ke pihak kepolisian dengan pasal tertentu tergantung dari kasusnya. Pasal pidana tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Pasal 340:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344:

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sungguh sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 345:

Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.


Pasal 359:

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360:

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.


Pasal 361:

Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)

C.2 Dalam KUHPerdata

Rumah Sakit termasuk dokter didalamnya dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien disamping mempunyai risiko atas tuntutan secara pidana sebagaimna diatas maka aspek hukum lainnya yang harus diperhatikan dengan seksama adalah adanya tuntutan secara perdata. Tuntutan secara perdata atau gugatan secara perdata ini diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar.

Sebagaimana lazimnya hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata adalah lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Kalau antara Rumah Skit, Dokter dengan pasien dalampelayanan kesehatan tersebut dilakukan atas dasar anya sutu perjanjian diantara mereka. Maka hak dan kewajiban antara pihak Rumah Sakit dengan pasien seyogyanya dituangkan dalam suatu perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian bila ada sengketa diantara mereka.Bila ada salah satu pihak yang dinggap melanggar janji atau prestas yaitu melakukan tapi terlambat , melakukan tapi tidak sesuai dengan kesepakatan, melakukan apa yang dilarang atau sama sekali tidak melakukan. Maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat melakukan gugatan di Pengadilan atau lembaga lain yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.

Namun dalam hal-hal yang khusus terutama bila pasien dalam keadaan gawat darurat maka person in charge yang muncul dan membantu menangani adalah dokter. Penanganan oleh dokter ini kalau membuat pasien sembuh tentunya tidak akan muncul tuntutan. Namun bila penangan terhadap pasien tersebut menimbulkan sakitnya tambah parah bahkan meninggal dunia, bila tidak mendapat penjelasan yang baik dan diterima baik oleh pasien maupun keluarganya dan tidak ada perjanjian sebelumnya maka hal ini akan membawa konsekwensi adanya tuntutan secara perdata. Dengan perkataan lain walau tidak ada perjanjian sebelumnya tapi karena ada salah satu pihak yang merasa dilanggar haknya. Dan pelanggran tersebut dianggap merugikan maka dia biasanya akan melakukan gugatan secara perdata didasarkan pasal 1365 atau 1366 KUHPerdata. Disini munculnya hubungan hukum yaitu perjanjian yang lahir karena UU sebagaimana yang dimaksud pasal 1233 KUHPerdata.

Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Oleh karena itu Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan berusaha mematerialisasikannya dengan rumusan lengkap dalam undang-undang, sebagai berikut
  1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
  2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain.
  3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Upaya perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum, karena dalam konsepnya tersebut pengertian melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).

Secara historis perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Ajaran Legisme mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama mesin jahit Singer yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah ‘Singer’nya saja. Ketika pedagang itu digugat di muka Pengadilan, oleh H.R. antara lain dikatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Berikutnya Arrest Hoge Raad, tanggal 10 Juni 1910 dalam perkara Zutphense Juffrouw. Perkaranya bermula dari sebuah gudang di Zutphen karena iklim yang sangat dingin pipa air dalam gudang tersebut pecah. Sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas namun penghuninya tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk (mematikan) tersebut; sekalipun padanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk maka akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang karena tergenang air. Akhirnya barang-barang dalam gudang itu tergenang air. Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti kerugian dan kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas di muka Pengadilan, tapi ditolak oleh H.R. dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu ketentuan Undang-undang yang mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk untuk kepentingan pihak ketiga.# Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis. Pengertian legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan H.R. 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. Dalam perkara ini, seorang pengusaha percetakan bernama Cohen telah membujuk karyawan pengusaha percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan-pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya, Cohen dituntut membayar ganti kerugian kepada Lindenbaum. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan mempertimbangkan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan tersebut atas dasar pertimbangan bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Dengan adanya Arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum diartikan setiap perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain. Termasuk didalamnya suatu perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.

Penilaian apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum (ataukah tidak), tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi, perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang di diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan, pasal 1365 sampai dengan pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah ‘melanggar’ dan ada yang mempergunakan istilah ‘melawan’. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah Perbuatan Melanggar hukum, dengan mengatakan : “Istilah ‘onrechtmatige daad’ dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 Burgelijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah Perbuatan Melanggar Hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat.  Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum

Terminologi Perbuatan Melawan Hukum menurut Mariam Darus Badrulzaman. Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :

“Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut’”

Selanjutnya dikatakan bahwa :

“Pasal 1365 KUH Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang.”

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan# dan I.S. Adiwimarta# dalam menerjemahkan bukunya H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum.

Selain itu terminologi perbuatan melawan hukum juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirdjo, dan Setiawan. M.A. Moegni Djojodirdjo mengatakan :

“Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan succes”.

Mengapa menggunakan terminologi Melawan Hukum bukan Melanggar Hukum, menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai sifat positif dan negatif.

Dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai : “Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.

(Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum).

Code Civil Perancis mengaturnya dalam titel IV Chapter II artikel 1382 sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts and Quasi-Delicts.

Dalam artikel 1382 dikatakan bahwa :

‘Any act whatever of man which causes damage to another obliges him by whose fault it accorred to make reparatio’

Kemudian mengenai tanggung jawab terhadap kelalaian atau kurang hati-hati di atur dalam artikel 1383 sebagai berikut :

‘Each one is liable for the damage which he causes not only by his own act but also by his negligence or imprudence’

Selanjutnya artikel 1384 menentukan :

‘He is liable not only for the damage which he caused by his own act , but also for that which is caused by the act of persons for whom he is responsible, or by things which he has in his keeping’

Artikel 1382, 1383 dan 1384 Code Civil Perancis tersebut sama persis bunyinya dengan pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.

Konsep perbuatan melawan hukum dalam sistem Common Law disebut the law of tort. Beberapa sarjana Inggris memberikan definisi Tort sebagai berikut :

Sir John Salmond mengatakan bahwa :

“A. Tort is a civil wrong for which the remedy is a common law action for unliquidated damages and which is not exclusivey the breach of contract or a breach of a trust or other merely equitable obligation”

Sir P. Wienfield mengatakan bahwa :

“Tortious liability arises from the breach of duty primarily fixed by law, such duty is towards persons generally and its breach is redressible by an action for unliquidated damages”

L.B. Curzon memberikan definisi Tort sebagai berikut :

“The Law of Tort is concerned with the determination of disputes which arise where one person alleges wrong conduct against another. It should be noted that some torts, e.g. assault and battery are tort and crime”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tort adalah suatu kesalahan perdata, dimana seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum yang bukan timbul dari contract atau trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya.

Oleh karenanya dalam mengajukan gugatan berdasarkan tort law harus ada perbuatan aktif dan pasif yang dilakukan oleh tergugat yang mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi oleh hukum.

Tort Law memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda dan kepentingan ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui system kompensasi berupa ganti rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law, ganti rugi diberikan untuk mengembalikan penggugat kepada posisi ketika perbuatan melawan hukum itu belum terjadi.

Hal ini berbeda dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan si penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terlaksana. Berdasarkan hubungan kontraktual, penggugat dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan atau Expectation loss. Teori klasik ini telah mengalami perubahan, karena sekarang gugatan tort law juga dapat diajukan untuk economic lost.

Konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia telah dimasukkan dalam satu kitab undang-undang yang terkodifikasi yaitu dalam KUH Perdata. Sedangkan Tort, konsep dan pengaturannya tersebar dalam yurisprudensi-yurisprudensi dan dalam undang-undang tertentu seperti Occupier’s Liability Act 1957, Defective Premises Act 1972 dan sebagainya. Perbedaan pengaturan konsep tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sistem hukum yang dianut KUH Perdata dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang cenderung pada paham kodifikasi (Enacted Law) sedangkan Inggris menganut Sistem Common Law dimana hukumnya berkembang dari kebiasaan dan yurisprudensi.

Konsep perbuatan melawan hukum Indonesia yang merupakan bagian hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut diatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang terbagi atas: Pertama, Tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan melawan hukum diri sendiri tetapi juga atas perbuatan melawan hukum orang lain dan terhadap barang.

Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Berdasarkan ketentuan pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan rumusan umum, maka pertanggung jawaban dibagi menjadi:


1.Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain
  • Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungannya secara umum;
  • Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak-anak yang belum dewasa (pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab majikan dan orang yang mewakilkan urusannya terhadap orang yang diperkerjakannya (pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukangnya (pasal 1367 ayat 4 KUH Perdata).
2.Tanggung jawab terhadap barang dalam pengawasannya
  • Tanggung jawab terhadap barang pada umumnya (pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab terhadap binatang (pasal 1368 KUH Perdata);
  • Tanggung jawab pemilik terhadap gedung (pasal 1369 KUHPerdata).
Kedua, Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.

Ketiga, Perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.

Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum ialah :

1.Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2.Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
3.Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4.Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

Dalam perspektif RUU Kesehatan dalam pasal 14 ditegaskan Setiap orang berhak menuntut kompensasi dan/atau ganti rugi terhadap seseorang atau tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan yang menimbulkan kerugian.

Namun tuntutan ini tidak berlaku dalam hal tindakan seseorang atau tenaga kesehatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa atau badan orang tersebut.

Baru-baru ini ada berita bila salah satu rumah sakit dilaporkan ke Polda karena dianggap menelantarkan pasiennya dan dianggap menjadi tertular penyakit karena dimasukan dalam satu ruangan dengan penderita penyakit menular. Dalam RUU Kesehatan (pasal 20 dan 21) akan diatur ketentuan yang harus dipatuhi dimana setiap orang termasuk Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi dilarang mengabaikan atau menelantarkan orang lain yang memerlukan pertolongan kesehatan, padahal orang tersebut mampu memberikan pertolongan kesehatan. Hal ini tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dalam pasal 55 hanya diatur adanya pemberian ganti rugi bila ada pihak yang dirugikan.
Dan adanya larangan bagi setiap orang dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan orang lain atau dengan sengaja menularkan suatu penyakit yang ada pada dirinya atau yang ada pada orang lain yang membahayakan jiwa orang tersebut.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka pihak Rumah Sakit maupun Dokter yang berwenang menagani pasien tersebut harus hati-hati dengan adanya ketentuan tersebut.
D. Kesimpulan

Setiap tindakan yang dilakukan siapa pun mempunyai 2 akibat yaitu sesuai dengan hukum atau melawan hukum. Akibat adanya tindakan melawan hukum ini tentunya akan merugikan pihak lain. Pihak lain dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang dianggap merugikan tersebut.

Pelayanan kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi juga mau tidak mau harus memperhatikan hal ini.

Kurangnya penjelasan atau informasi yang kurang terhadap tindakan medis akan menimbulkan kesalahpahaman antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien yang ujungnya dapat memberikan peluang terjadinya sengketa baik secara pidana maupun perdata.

Latihan semaphore 1

Latihan semaphore

Semaphore PDF Print E-mail
Image
Semaphore adalah suatu cara untuk mengirim dan menerima berita dengan menggunakan 2 bendera, dimana masing-masing bendera tersebut berukuran 45 cm x 45 cm. Sedangkan warna yang sering dipergunakan adalah merah dan kuning dengan warna merah selalu berada dekat tangkainya.Biasanya semaphore selalu digunakan oleh anggota Pramuka ketika mereka mengikuti kegiatan kepramukaan.So..bagi adik-adik yang ingin lebih pintar ber semaphore ria jgn lupa terus berlatih ya....Semoga latihan Pramuka kamu-kamu semua semakin menyenangkan.....Tetap memandu........
 Image
Penulis : Kakak soeranto