Ubi Mentega adalah salah satu sub species dari Ubi Kayu, yang warnanya kekuning kuningan dan biasanya Ubi Mentega ini di jadikan sebagai bahan Opak atau Kerupuk
Syarat Tumbuh Ubi Mentega
Tanaman ini tumbuh optimal pada ketinggian antara 10-700m dpl. Tanah yang sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak liat juga tidak poros. Selain itu kaya akan unsure hara. Jenis tanah yang sesuai adalah tanah alluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol. Sementara itu pH yang dibutuhkan antara 4,5-8, dan untuk pH idealnya adalah 5,8.
Curah hujan yang yang diperlukan antara 1.500 – 2500 mm/tahun. Kelembaban udara optimal untuuk tanaman antara 60%-65%. Suhu udara minimal 10’C. Kebutuhan akan sinar matahari sekitar 10 jam tiap hari. Hidup tanpa naungan.
Persiapan bibit Ubi Mentega
Ubi mentega paling mudah untuk diperbanyak. Cara yang lazim digunakan adalah perbanyakan dengan cara setek batang dari batang panenan sebelumnya. Setek yang baik diambil dari batang bagian tengah tanaman agar matanya tidak terlalu tua maupun tidak terlalu tua. Batang yang baik berdiameter 2-3 cm. Pemotongan batang stek dapat dilakukan dengan menggunakan pisau atau sabit yang tajam dan steril. Jangan memakai gergaji untuk memotongnya karena gesekan gergaji akan menimbulkan panas yang akan merusak bagian pangkal dari batang. Potongan batang untuk setek yang baik adala 3-4 ruas mata atau 15-20 cm. Bagian bawah dari batang stek dipotong miring dengan maksud untuk menambah dan memperluas daerah perakaran.
Persiapan lahan Ubi Mentega
Untuk menanam ubi mentega ini tidak begitu sulit. Untuk daerah yang mempunyai curah hujan cukup tinggi ataupun terlalu banyak air, penanaman dilakukan dalam sebuah guludan atau bedeng. Selain itu, dengan menggunakan guludan memudahkan kita dalam pemanenan.
Untuk daerah yang mempunyai curah hujan sedikit atau kering, penanaman tidak perlu dilakukan dengan membuat guludan. Penanaman dapat dilakukan pada tanah yang rata. Tanah di cangkul dan di remahkan kemudian diratakan dan pengguludan dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan setelah tanam. Pada saat perataan dapat pula disebarkan pupuk kandang atau kompos untuk penambahan unsure hara. Pengolahan tanah yang sempurna diikuti dengan pembuatan guludan yang dibuat searah dengan kontur tanah sebagai upaya pengendalian erosi. Selain itu dengan pembuatan guludan juga dapat memaksimalkan hasil dibandingkan dengan system tanpa olah tanah setelah tanam.
Penanaman Ubi Mentega.
Waktu penanaman yang baik dilakukan pada awal musim kering atau kemarau dengan maksud untuk hasil penanaman dapat dipanen pada awal musim hujan.
Batang yang telah dipotong tadi kemudian ditanamkan dalam tanah. Jangan sampai terbalik, tanda yang dapat kita lihat dari arah mata dari tiap ruas batang yang disetek. Arah mata menuju ke atas dibawahnya bekas tangkai daun.
Batang setek di tanam agak miring dengan kedalaman 8-12 cm. Pada lahan tanaman yang subur dapat digunakan populasi tanaman 10.000 batang/ha dan untuk lahan yang kurang begitu subur dapat digunakan populasi 14.500 batang/ha. Jarak tanam dengan system monokultur adalah 100 x 50 cm. Untuk system tumpang sari, penanaman dapat menyesuaikan dengan lahan dan tanaman lainnya.
Pemeliharaan Ubi Mentega
Tanaman ini termasuk tanaman yang dapat mandiri sehingga, tanaman ini menjadi mudah dalam pemeliharaanya.
Penyulaman dapat kita lakukan 2-3 minggu setelah tanam. Bibit penyulaman seharusnya sudah disediakan ketika pengadaan bibit tanaman yang dapat pula ditanam pada pinggir lahan pertanaman. Hal ini untuk membuat tanaman ini seragam dalam pemanennya.
Agar tanaman dapat tumbuh baik dan optimal dilakukan dengan pengurangan mata tunas saat awal tunas itu muncul atau 1-1,5 bulan setelah tanam. Sisakan maksimal 2 tunas yang paling baik dan sehat dalam satu tanaman.
Penyiangan dilakukan pada umur 2-3 bulan setelah tanam dan menjelang panen. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pemanenan serta mencegah kehilangan hasil panen selain mengendalikan populasi gulma yang tumbuh. Selain itu saat penyiangan dilakukan dengan membumbuni batang tanaman sehingga dapat menjadi guludan.
Hama dan penyakit Ubi Mentega
Hama yang sering menyerang tanaman ini biasanya adalah hama tungau merah (Tetranus urticae) dan serangan bakteri layu (Xanthomonas campestis) serta penyakit Hawar Daun (Cassava Bacterial Bligh / CBB)
Panen Ubi Mentega.
Kriteria ubi mentega yang optimal adalah pada saaat kadar pati optimal. Yakni ketika tanaman itu berumur 6-9 bulan apabila untuk konsumsi. Untuk pembuatan produk seperti tepung sebaiknya ubi mentega dipanen pada umur lebih dari 10 bulan, dan itu juga tergantung akan varietas yang ditanam. Ciri saat panen adalah warna daun menguning dan banya yang rontok.
Cara pemanenan dilakukan dengan membuat atau memangkas batang ubi mentega terlebih dahulu dengan tetap meninggalkan batang sekitar 15 cm untuk mempermudah pencabutan. Batang dicabut dengan tangan atau alat pengungkit dari batang kayu atau linggis. Hindari pemakaian cangkul, karena permukaannya yang lebar yang tanpa disadari dapat memotong ubi.
Umbi yang baik setelah panen hanya berumu 1-3 hari tergantung penyimpanan. Setelah itu umbi sudah melakukan banyak perombakan kalori. Bahkan, kadang umbi berwarna kebiruan apabila kandungan HCNnya tinggi. Dan munculnya warna ini sangat mempengaruhi kualitas tepung.
Senin, 30 April 2012
Minggu, 29 April 2012
Pakan Kelinci Berupa Pelet Khusus Untuk Kelinci
Pelet Kelinci (Rabbit Pellets) : Kelinci yang sehat perlu makan teratur dengan porsi yang tepat. Banyak beragam pelet untuk kelinci, pelet kelinci ada yang berbasis jerami/dedak ada juga yang berbasis rumput. Biasakanlah tidak berganti-ganti pelet karena membuat kelinci tidak mau makan. Tentukanlah pelet yang paling tepat untuk kelinci. Sebaiknya menemukan pelet dengan kandungan kalsium yang rendah. Jika yang dipelihara kelinci tipe kecil (dwarf) untuk mempertimbangkan pelet dengan konten prosentase protein berkisar limabelas hingga enambelas persen. Untuk kelinci yang besar bisa memilih pelet dengan kandungan protein disekitar enambelas hingga duapuluh persen. Jika kelinci memiliki masalah dengan berat badan maka hindari kandungan pelet kelinci yang mengandung jagung.
Hal Ihwal Impeachment
Oleh Janedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi). Tulisan ini dimuat Koran Sindo, 3 Februari 2010
Akhir-akhir ini, istilah yang banyak mewarnai diskursus publik adalah pemakzulan atau impeachment. Bagi masyarakat awam, istilah tersebut masih cukup asing, bahkan mungkin belum pernah didengar.
Istilah pemakzulan dan impeachment secara legal formal juga tidak terdapat dalam aturan hukum di Indonesia. Istilah pemakzulan digunakan sebagai terjemahan dari istilah impeachment. Impeachment adalah mekanisme formal di mana seorang pejabat publik yang dipilih didakwa melakukan tindakan yang melanggar hukum, yang biasanya dibatasi pada pelanggaran berupa tindak pidana.
Impeachment merupakan istilah hukum tata negara untuk menyebut proses pendakwaan, sebanding dengan istilah dakwaan dalam proses peradilan pidana. Namun, walaupun dakwaan dalam proses impeachment adalah terkait dengan tindak pidana, proses impeachment bukan merupakan peradilan pidana, melainkan peradilan hukum tata negara yang akan memutuskan apakah terdakwa diberhentikan dari jabatannya dan kemungkinan sanksi lain berupa larangan menduduki jabatan publik di mana dia telah diberhentikan.
Mekanisme dan praktik impeachment yang banyak dijadikan rujukan adalah di Amerika Serikat (AS). Dalam sejarah ketatanegaraan AS, impeachment merupakan mekanisme yang digunakan untuk kasus-kasus yang ekstrem, hanya untuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan, penyuapan dan kejahatan berat serta perbuatan tercela (treason, bribery and other high crimes and misdemeanors).
Namun masih terdapat perdebatan tentang frase “high crimes and misdemeanors” karena dipandang sangat luas pengertiannya. Impeachment di AS tidak hanya berlaku untuk presiden dan/atau wakil presiden, tetapi untuk semua pejabat publik, baik di tingkat federal maupun negara bagian. Dari tahun 1789 hingga saat ini, hanya terdapat 18 pejabat federal yang mengalami proses impeachment dan tidak semuanya berujung pada pemberhentian (removal from the office).
Pejabat yang paling banyak diajukan untuk impeachment justru adalah hakim yang meliputi 14 orang hakim federal, 11 orang hakim distrik, 2 orang hakim banding, serta seorang hakim agung. Pada cabang kekuasaan eksekutif, terdapat 2 presiden yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, serta seorang menteri perang (Secretary of War) William W. Belknap.
Untuk cabang kekuasaan legislatif terdapat seorang anggota Senat yang mengalami proses impeachment, yaitu Senator William Blount. Dari 18 pejabat yang diproses impeachment tersebut, hanya 7 pejabat yang dinyatakan terbukti bersalah dan diberhentikan dari jabatannya, sedangkan sisanya dinyatakan tidak terbukti.
Dua Presiden AS yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi upaya impeachment terhadap Presiden Richard Nixon. Namun Presiden Nixon telah mengundurkan diri pada saat usulan impeachment itu baru disetujui oleh House of Representative.
Di Indonesia, pengaturan tentang impeachment atau pemakzulan merupakan hasil perubahan keempat UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Impeachment berlaku khusus untuk presiden dan/atau wakil presiden dengan istilah “dapat diberhentikan dalam masa jabatannya” dengan mekanisme yang melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Jika menilik perdebatan pada saat pembahasan perubahan keempat UUD 1945 yang melatarbelakangi ketentuan Pasal 7A dan 7B tersebut, pemakzulan lebih dimaksudkan sebagai salah satu mekanisme pendukung mewujudkan pemerintahan presidensial. Salah satu karakteristik sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan yang melahirkan hubungan sejajar antara eksekutif dan parlemen.
Hal ini berbeda secara mendasar dengan sistem parlementer di mana eksekutif bergantung kepada parlemen sehingga sewaktu-waktu eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti oleh parlemen. Dalam hubungan yang demikian, masa jabatan pemerintahan, yang dalam hal ini direpresentasikan dengan masa jabatan presiden, telah ditentukan terlebih dahulu (fix term of office).
Sebaliknya, masa jabatan pemerintahan dalam sistem parlementer tidak ditentukan secara pasti, melainkan bergantung pada kepercayaan dari parlemen. Biasanya, kabinet dalam pemerintahan jatuh karena alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau dianggap salah oleh parlemen. Konstruksi pemerintahan sebelum adanya perubahan UUD 1945 lebih bercirikan parlementer.
Walaupun terdapat ketentuan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah 5 tahun, hal itu sepenuhnya bergantung kepada MPR. MPR sewaktu-waktu dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dengan alasan melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau MPR. Pelanggaran yang dimaksudkan itu tidak terbatas pada pelanggaran hukum, melainkan juga termasuk pelanggaran berupa kebijakan yang dinilai salah atau tidak sesuai dengan penilaian MPR.
Sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu untuk memurnikan dan memperkuat sistem presidensial, pemerintahan yang diharapkan terbentuk berdasarkan perubahan UUD 1945 adalah pemerintahan yang stabil sesuai dengan ciri-ciri sistem presidensial. Untuk memperkuat legitimasi presiden dan/wakil presiden, keduanya dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di sisi lain, terdapat reposisi kedudukan MPR yang tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi. Untuk mencapai pemerintahan presidensial yang stabil, masa jabatan presiden dan/atau wakil presiden telah ditentukan, yaitu 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan lagi.
Pada prinsipnya, dalam masa jabatan 5 tahun tersebut kedudukan presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 1945 ditentukan dapat menjadi dasar pemberhentian. Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden adalah mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus yang luar biasa atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Hal itu dapat dilihat dari alasan yang dapat dijadikan dasar usulan pemberhentian yang sangat spesifik dan menghindari dominasi konfigurasi politik serta mekanisme berlapis untuk mengambil putusan pemberhentian.
Pasal 7A UUD 1945 menentukan tiga jenis alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian, yaitu pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan pertama adalah pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila melakukan tindakan yang melanggar norma hukum.
Pelanggaran hukum dalam hal ini juga ditentukan secara lebih spesifik lagi, yaitu berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Tindak pidana berat selama ini dipahami sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Pelanggaran hukum di luar ketiga tindakan itu dengan sendirinya tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemberhentian.
Alasan kedua adalah perbuatan tercela yang dalam istilah di AS disebut dengan misdemeanor. Dari sisi hukum, istilah misdemeanor sesungguhnya menunjuk pada tindak pidana ringan. Namun dalam konteks impeachment, misdemeanor adalah perbuatan tercela, yang walaupun bukan pelanggaran pidana, merupakan perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak seharusnya dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Apabila perbuatan dimaksud dilakukan, hal itu akan merusak citra dan kehormatan presiden dan/atau wakil presiden.
Alasan ketiga adalah presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan ini tentu lebih mudah dibuktikan karena telah terdapat ketentuan yang jelas mengenai persyaratan calon presiden dan/atau wakil presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pada saat syarat dimaksud tidak terpenuhi, maka presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memiliki kapasitas (incapacity) menjabat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Hanya dengan ketiga alasan tersebutlah presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika hanya dengan alasan parlemen tidak menyetujui kebijakan presiden dan/atau wakil presiden sepanjang kebijakan tersebut tidak melanggar atau diniatkan atau dijadikan sebagai dasar bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar impeachment. Mekanisme impeachment juga ditentukan secara ketat, melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Walaupun impeachment merupakan mekanisme hukum tata negara, tidak dapat dimungkiri tentu nuansa politis dapat mendominasi. Namun nuansa tersebut telah dibatasi dalam kerangka hukum serta melalui mekanisme peradilan di MK sebagai forum hukum yang bebas dari kepentingan politik apa pun. Melalui mekanisme ini, impeachment diharapkan benar-benar hanya akan terjadi dalam kondisi luar biasa dan tidak justru menjadi jalan terganggunya stabilitas pemerintahan yang merusak sistem pemerintahan presidensial.
Sabtu, 28 April 2012
Penyakit Kelinci Gastrointestinal Stasis Bagian 2
Penyakit Kelinci : Gastrointestinal Stasis Penyebab, Gejala dan Pengobatan
Gejala GI Statis pada Kelinci:
Gejala GI Statis pada Kelinci:
Kelinci sehat berlebihan dan sering menghasilkan kotoran. Pada dasarnya kotoran yang dihasilkan oleh kelinci terdiri dari dua jenis. Tipe pertama disebut cecotropes yang lembut, lendir tertutup dan sering kehijauan. Kelinci biasanya makan dan kaya dalam gizi. Meskipun ini terdengar kasar, itu adalah indikasi bahwa kelinci yang sehat. Jika kelinci gagal untuk menghasilkan cecotropes atau menolak untuk makan mereka itu mungkin merupakan indikasi usus ketidaknyamanan. Jika kondisi tidak membaik dalam 12 jam, hewan harus dibawa ke dokter hewan segera. Tipe kedua itu bulat, gelap pada tinja. Kelinci yang sehat menghasilkan biasanya ini cukup sering. Kegagalan untuk menghasilkan mereka selama lebih dari 12 jam seharusnya merupakan indikasi.
Perawatan GI Statis pada Kelinci:
Dapat melakukan beberapa tes fisik umum seperti meraba perut, untuk memeriksa aktivitas usus dan juga memeriksa suhu. Kelinci sehat suhu badan kelinci harus antara 101-103F/38.3-39.4C. Sebuah perubahan kisaran ini menunjukkan infeksi. Setelah didiagnosis dengan perlakuan Stasis Gastrointestinal tergantung pada tingkat keparahan. Cairan dan enzim pengobatan dapat diberikan untuk memecah masalah terjebak dalam usus. Yang paling sering digunakan agen motilitas usus Reglan dan Propulsid. Lebih baik untuk menghindari pemberian obat-obatan di rumah, karena kuat makan untuk kelinci dapat mempercepat stres dan akhirnya memperburuk kondisi tersebut. Dalam kasus-kasus ekstrim pembedahan mungkin satu-satunya pilihan. Ketika kondisi berada dalam tahap awal, metode fisik untuk menghilangkan blok juga mungkin diamati. Salah satu metode tersebut adalah memijat perut untuk mendapatkan masalah stagnan bergerak dalam usus dan untuk mengaktifkan kembali pencernaan. Namun hal ini harus dilakukan hanya oleh seorang berpengalaman, kecuali jika itu adalah situasi darurat, di mana dokter hewan tidak dapat diakses. Dalam hal ini, hati-hati pijat di sekitar perut dengan menggunakan jari-jari anda dengan lembut dan gerakan-gerakan lambat. Hentikan jika kelinci nampak sakit atau tertekan. Untuk memberikan bantuan dari rasa sakit akibat gas, Simethicone dapat diberikan. Namun, tidak menyembuhkan penyebab yang sebenarnya. Kadang-kadang pemberian Enema menunjukkan peningkatan. Setiap pemilik kelinci harus menyadari gejala-gejala dan mengurangi risiko pada gastrointestinal stasis yang sama / umum di antara binatang peliharaan kelinci dan perawatan darurat . Lebih baik dan sangat mungkin untuk mencegah kondisi dengan menyediakan kelinci dengan diet yang tepat yang telah cukup cairan dan serat dan juga lingkungan yang bebas stres.
Jumat, 27 April 2012
Implementasi Asas Bebas Kontrak dalam Leasing
(Analisis Kasus Sengketa Kontrak Leasing)
Oleh: Muyassarotussolichah*
Abstrak
Azas kebebasan berkontrak tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Implementasi azas ini dalam perjanjian leasing harus didukung oleh azas-azas yang lain dalam perjanjian. Diantaranya adalah azas iktikad baik yang menekankan pada norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jika azas tersebut diterapkan, maka kesewenang-wenangan terutama dari pihak lessor yang dengan mudah dapat memaksa pihak lesse yang melanggar kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya dapat diminimalisir dengan mengkaji dan mempertimbangkan alasan--alasan yang mendasari terjadinya pelanggaran terhadap suatu perjanjian yang telah disepakati.
A. Pendahuluan
Perkembangan masyarakat dapat dilihat pada perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan akan semakin ditingkatkan. Keadaan tersebut baik langsung atau tidak langsung akan menuntut lebih efektifnya kegiatan dibidang pembiayaan. Berbagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat telah dilakukan melalui penetapan kebijaksanaan pemerintah, karena pada hakekatnya perluasan usaha memang membutuhkan pembiayaan dana dan peralatan.
Leasing (Kegiatan Sewa Guna Usaha), salah satu lembaga alternatif pembiayaan di luar bank yang relatif baru, dewasa ini memainkan peranan yang penting dalam perkembangan ekonomi. Aturan kegiatan leasing terdapat dalam Keppres No. 66 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/ KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Ditinjau dari sudut ekonomi leasing merupakan suatu kegiatan perekonomian yaitu pembiayaan perusahaan, sedang dari sudut hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menurut ketentuan umum tentang perikatan, leasing merupakan suatu perjanjian untuk pembiayaan atau untuk pengadaan barang-barang modal yang diperlukan oleh suatu perusahaan.
Oleh karena maksud dari leasing itu adalah sebagai pembiayaan perusahaan, maka dengan dibuatnya perjanjian dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang terlibat dalan kegiatan leasing. Sumber dari perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada Pasal 1233 KUH Per.
Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata Indonesia khususnya menganut sistem terbuka open system bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Sendi ini terkenal dengan nama azas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 KUH Per.
Azas kebebasan berkontrak dalam praktek leasing seringkali dilanggar oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian terutama pihak supplier sebagai (vendor /leveransir). Hal ini dapat dilihat pada kasus sengketa kontrak leasing antara PT. Pamor Cipta Inti Leasing sebagai Lessor dengan CV. Graffel Offset sebagai Lessee dan juga PT. Baginda Putra sebagai Supplier.
Dari uraian di atas dapat diangkat thesis sebagai berikut yaitu:
Dengan adanya kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian leasing, yang selanjutnya perjanjian tersebut diberlakukan sebagai undang-undang, ternyata belum menjamin perlindungan hukum bagi para pihak, khususnya bagi Lessor yang berada pada posisi bargaining power yang lemah.
Dengan demikian, meskipun azas kebebasan berkontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian, akan tetapi dalam pelaksanaanya bukan berarti tidak terbatas, yaitu terbatas.
Hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah bagaimanakah implementasi azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian leasing yang dibuat antara para pihak, dan bagaimanakah perlindungan hukumnya.
B. Pengertian Perjanjian dan Azas-azas Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan yaitu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Or as agreement made between two or more persons which is enforceable at law.
Mengikatkan diri berarti ada suatu yang akan dicapai oleh pihak-pihak untuk terwujudnya suatu perjanjian, maka dari itu dalam perjanjian harus ada obyek yang jelas dari apa yang diperjanjikan.
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Selanjutnya Subekti memdefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Atiyah mengambil dari The American Restatement of Contract, mendefinisikan kontrak sebagai berikut:
A contract is promise or a set promises for the breach of which the law gives remedy, or the performance of which the law in some way recognises a duty.
Dari beberapa rumusan perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: yaitu adanya dua pihak atau lebih, adanya persetujuan antara para pihak, adanya tujuan yang akan dicapai, ada prestasi yang akan dilaksanakan, ada bentuk tertentu yaitu lisan atau tulisan.
Menurut Pasal 1320 KUHPer bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya 4 (empat) syarat sebagai berikut :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
c. Mengenai suatu hal tertentu,
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat-syarat sahnya perjanjian seperti tersebut diatas, oleh Subekti digolongkan kedalam dua bagian, yakni syarat subyektif dan syarat obyektif. Yang termasuk kedalam syarat subyektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan cakap untuk membuat suatu perjanjian. Disebut syarat subyektif karena kedua syarat tersebut berkaitan dengan orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan yang termasuk kedalam syarat obyektif adalah mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Disebut syarat obyektif karena menyangkut tentang perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
2. Azas-azas Perjanjian
Hukum perjanjian mempunyai azas-azas umum/principle yang harus ditaati oleh para pihak yang terlibat didalamnya, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian itu sendiri, pihak ketiga, para pelaksana atau aparat penegak hukum termasuk para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan perjanjian.
Adapun azas-azas yang harus diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Azas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud azas kebebasan berkontrak adalah bahwa orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun, dengan bentuk dan isi apapun serta bebas untuk menentukan hukum mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan perjanjian tersebut.
Dalam hukum Anglo-Amerika azas tersebut dikenal dengan nama party autonomy or freedom of contract.
b. Azas Konsensualisme
Suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya konsensus atau kesepakatan kedua belah pihak atau mereka yang membuat perjanjian. Atau suatu perjanjian telah dianggap sah dalam arti sudah mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
c. Azas Pacta Sunt Servanda
Merupakan azas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya perjanjian. Yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka mengikat sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, Pasal 1338 KUH Perdata.
Azas tersebut dijumpai dalam Civil Law Systems, bay its Latin name: pacta sunervanda (sanctity of contract). Yang berarti; "absent extraordinary circumstance, the parties must perform as agreed even if performance becomes uncomfortable or inconvenient".
d. Azas Iktikad Baik
Semua perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (tegoeder trouw), yakni harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Azas Iktikad baik ini dapat dibedakan antara iktikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Iktikad baik yang subyektif diartikan sebagai kejujuran seseorang berarti dalam hati, sikap batin seseorang pada waktu melaksanakan perjanjian. Sedangkan itikad baik yang obyektif mempunyai pengertian bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan apa yang patut dalam masyarakat.
Wirjono Prodjodikoro, dalam Purwakhid Patrik mengemukakan bahwa azas iktikad baik berbeda dengan kepatutan, iktikad baik pada hakekatnya terletak dalam diri orang yang bersangkutan, dan merupakan unsur subyektif. Sedangkan kepatutan merupakan unsur obyektif yang pada pokoknya tergantung dari keadaan perjanjian.
3. Wanprestasi
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perjanjian adalah merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksankan sesuatu.
Apabila karena suatu kesalahan pihak yang berjanji atau pihak yang wajib berprestasi tidak melakukan prestasi, maka pihak tersebut dikatakan wanprestasi atau ingkar janji. Subekti menyebut bentuk wanprestasi sebagai berkut:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan,
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat,
d. Melakukan sesuatu yang meurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Apabila terjadi wanprestasi (breach of contract), menurut Wiliiam ada dua kemungkinan:
a. kontrak (perjanjian) tetap ditegakkan sebagaimana yang tertulis dalam kontrak (perjanjian) tersebut (to be performed as written)
b. keharusan untuk dimaafkan (should be excused)
Untuk menyatakan pihak yang berjanji (debitur) sebagai pihak yang wanprestasi diperlukan somasi-somasi, hingga pada akhirnya ditindaklanjuti secara hukum. Kalau ditemukan alasan-alasan yang tepat yang sesuai dengan iktikad baik dan kepatutan, tentunya dimungkinkan untuk dimaafkan dengan konpensasi (remedy).
C. Implementasi Azas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian
Leasing Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak
1. Pengertian Leasing
Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP.122/MK/IV/2/1974. No.32/M/SK/2/1974, dan No.30 /Kpb/I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing, menyebutkan bahwa leasing itu adalah:
"Setiap kegiatan pembiayaan perusahan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama."
Equipment Leasing Association memberikan definisi sebagai berikut:
"Suatu perjanjian kontrak antara Lesor dan Lesse untuk penyewaan suatu jenis barang (asset) tertentu langsung dari pabrik atau agen penjual oleh Lesse. Hak pemilikan atas barang tersebut tetap ada pada lessor. Lesse mempunyai hak pakai atas barang tersebut dengan membayar sewa dengan jumlah dan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
The International Accounting Standart mendefinisikan leasing sebagai berikut:
"Suatu perjanjian di mana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lesse dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
International convention on leasing (A Convention on International Financial Leasing, agreed in 1988 in Ottawa), memuat aturan dalam transaksi leasing sebagai berikut: The Convention contains rules for financial leasing transaction which imply that:
a. the lessee specifies the equipment and select the suplier without reling primarily on the skill and judgment of the lessor;
b. the equipment is acquired by the lessor in connection with a leasing agreement which, to the knoledge of the suplier, either has been made or is to be made between the lessor and the lesse; and
c. the rental payable under the leasing agreement are calculated so as to take into account the amortisation of the whole or a substansial part of the equipment.
Leasing juga dedifinisikan:
"Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyedian barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa."
Dari definisi-definisi di atas, dapat disebutkan bahwa leasing merupakan kontrak (perjanjian) antara para pihak, pihak pertama sebagai lessor yang memberikan barang tertentu, pihak kedua sebagai lesse yang meggunakan barang dari lessor dengan pembayaran sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pihak lain yang dimungkinkan adalah perantara antara lessor dan lesse yang biasa disebut dengan suplier (agen penjual).
Dengan kata lain, ada beberapa pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, yaitu:
a. lessor adalah perusahaan leasing atau dalah hal ini adalah pihak yang memiliki kepemilikan atas barang;
b. lessee adalah perusahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir perjanjian;
c. supplier adalah pihak penjual barang yang dileasekan (disewagunausahakan).
Selanjutnya, dapat disebutkan bahwa pengertian leasing terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pembiayaan Perusahaan
b. Penyediaan barang-barang modal
c. Jangka waktu tertentu
d. Pembayaran secara berkala
e. Adanya hak pilih (optie)
f. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama.
2. Bentuk Perjanjian Leasing
Dalam pengumuman Direktur Jendral Moneter No.Peng 307/DJM/III.1/7.1974 tanggal 8 Juli 1974, ruas 8.2. yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur Jenderal Moneter. Departemen Keuangan, antara lain "copy kontrak leasing, dan sebagaiya", dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian leasing harus dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak ditentukan atau diwajibkan apakah perjanjian leasing harus berbentuk Akta Otentik/Akta Notaris atau Akta di Bawah Tangan. Jadi terserah pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menentukan apakah akan membuat perjanjian itu dengan Akta Notaris atau tidak.
Namun ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia, pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta otentik.
Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa :
"Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya."
Dengan demikian, untuk lebih memberikan kepastian hukum para pihak yang terlibat dalam kontrak (perjanjian) lesing hendaklah dalam kontrak (perjanjian) dibuat secara tertulis dengan akte notaris.
3. Isi dan Jenis Perjanjian Leasing
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai isi dari suatu kontrak, antara lain dapat dilihat dalam kontrak internasional, yaitu terdiri dari:
a. an agreement (an offer and an acceptance of the offer)
b. voluntarily entered into
c. by parties having capacity to contract
d. supported bay consideration (with some exceptions)
e. to do a legal act or acts
J.r.,William F. Fox., juga menyebutkan, paling tidak dalam suatu kontrak memuat:
a. formation of subject matter
b. performance
c. breach
d. remedy
d. dispute resolution
Dalam Pasal 9 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/ KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), disebutkan bahwa perjanjian leasing sekurang-kurangnya memuat:
a. jenis transaksi leasing (sewa guna usaha);
b. nama dan alamt masing-masing pihak;
c. nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran leasing, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa, nilai sisa (residual value), simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang dileasekan (disewa guna usahakan);
e. masa sewa lease (sewa guna usaha);
f. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi atas barang modal lese yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal dilesekan dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
g. opsi bagi penyewa lease dalam hal transaksi lease dengan hak opsi;
h. tanggungjawab para pihak atas barang modal yang dileasekan.
Selanjutnya dalam kontrak (perjanjian nasional), dalam hal ini perjanjian leasing Komar Andasasmita menyebutkan: paling tidak dalam perjanjian leasing memuat:
a. obyek lease: obyek yang dijadikan perjanjian leasing harus jelas, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman antara yang dimintakan dengan yang diserahkan.
b. hak milik dari barang lease: barang lease harus dimiliki oleh lessor, sehingga lessor dapat menuanaikan kewajiban pada lessee untuk menyerahkan barang lease.
c. lamanya kontrak: jangka waktu kontrak juga harus jelas dalam kontrak, sehingga jelas pula kapan berakhirnya kontrak. Tanggal kapan barang diserahkan, hendaknya jelas.
d. kewajiban lessor dan lessee: kewajiban para pihak harus jelas, sehingga pada saat salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya bisa diketahui dan selanjtunya bisa dituntut tanggungjawabnya sesuai dengan kedudukannya sebagai lessee atau lessor.
e. pertanggungan/garansi: ini berkait dengan pihak ketiga yang ikut dalam perjanjian leasing, yang dapat memberikan jaminan pada lessee untuk menunaikan kewajibannya apabila pada suatu waktu lessee tidak dapat menjalankan kewajibannya. Fungsi penjamin ini tergantung pada jenis perjanjian leasing yaitu operational leasing atau financial leasing.
Adapun mengenai jenis perjanjian leasing, sebagaiman disebut di atas ada dua yaitu:
a. Operating lease yaitu perjanjian lesing dimana pihak lessee melease suatu jenis barang/peralatan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atas barang/alat tersebut. Sedangkan lessor disini hanya mengenakan biaya sewa atas barang tersebut. Operating lese ini misalnya pada mesin foto copy, buldozer dan sebagainya.
b. Financial lease, disini lessor memndapatkan hak milik atas barang yang bergerak atau barang tidak bergerak yang kemudian diserahkan untuk dipakai oleh lessee untuk jangka waktu maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis suatu barang yang bersangkutan. Sebaliknya lessee berkewajiban untuk membayar kepada lessor seluruh biaya lessor untuk mendapatkan barang ditambah dengan keuntungan yang disepakati.
D. Implementasi Azas Kebebasan Berkontrak
Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa azas kebebasan berkontrak dalam KUH Perdata tercermin dalam Pasal 1380 ayat (1), yang menyebutkan:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya".
Asas tersebut diberlakukan secara luas dalam praktek hukum Indonesia, dan bahkan menjadi penting karena digunakan sebagai kunci dalam mengembangkan berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sisten hukum dan praktek hukum di Indonsia.
Oleh karena begitu pentingnya azas kebebasan berkontrak, dalam perkembangannya menimbulkan hal-hal yang negatif yaitu kalau seseorang dirugikan akibat dari perjanjian yang telah dibuatnya adalah dianggap salahnya sendiri dan harus tetap melaksanakan perjanjian itu. Janji yang dilakukan dengan sukarela harus dipenuhi meskipun menderita kerugian karenanya perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak.
Dalam perkembangan lanjut, azas kebebasan berkontrak mengalami suatu perubahan dalam bentuk memperhatikan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam arti kalau memang salah satu pihak tidak dapat melaksanakan perjanjiannya karena suatu keadaan yang memaksa, maka perjanjian dapat disimpangi dengan mencari alternatif penyelesaian antara para pihak. Yang jelas iktikad baik untuk menuanaikan kewajiban harus tetap dipegang sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (2) dan (3) yang menyebutkan:
"Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu".
"Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik".
Dengan demikian kebebasan berkontrak bukan berarti kebebasan yang tidak mempunyai batasan, akan tetapi kebebasan berkontrak disyaratkan adanya iktikad baik. Dengan adanya iktikad baik (sebagaimana telah dijelaskan di atas), maka seseorang tidak dapat sewenang-wenang dalam malaksanakan perjanjian yang telah disepakatinya tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak yang memiliki posisi bargainig position yang lemah, karena sangat membutuhkan. Dengan kata lain kebebasan berkontrak dilaksanakan dengan bertanggungjawab.
Berkait dengan kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, almarhum Supomo pernah memberikan pidato: "Di Indonesia yang primair adalah masyarakat. Hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.
Disebutkan juga, di dalam kebebasan terkandung "tanggungjawab". maka dari itu didalam perjanjian nasional, azas kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu dipelihara sebagai modal "pengembangan kepribadian" untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang demi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dalam pelaksanannya azas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang bebas lepas atau tidak terbatas, akan tetapi dibatasi dengan persyaratan iktikad baik dan tanggungjawab oleh para pihak, dengan tetap memperhatikan para pihak khususnya pihak yang memiliki bargaining position yang lemah, dan umumnya kepentingan masyarakat.
D. Analisis Kasus Sengketa Kontrak Leasing
1. Posisi Kasus
- Eddy adalah Direktur CV. Grafel Offset di Surabaya, suatu perusahan dibidang percetakan. Pada 1984 berkeinginan menambah kemampuan cetak perusahaannya. Untuk itu, Eddy memesan sebuah mesin offset "Miller.TP.295" melalui jasa leasing dari PT. Pamor Cipta Inti Leasing yang dipimpin Ir. Wilson Tjogiarto. Sebagai penjamin adalah PT. Baginda Putera, yang dilkelola Baginda Batangtaris. Maka diantara ketiganya terjadi hubungan bisnis.
- PT Pamor Cipta Inti Leasing adalah Lessor. Pemasok barang (suplier) dan penerima jaminan dari CV Grafel Offset dan PT. Baginda Putera.
- CV Grafel Offset adalah Lesse, yang menerima barang dari Lesor dan pemberi jaminan pada lesor untuk pembayaran ganti rugi jika terjadi kegagalan pelaksanaan perjanjian.
- Sedangkan PT. Baginda Putra adalah Supplier atau Importir yang memasok barang kepada Lesse, sekaligus pemberi jaminan kepada PT. Pamor Cipta Inti Leasing untuk membeli kembali barang tersebut, jika Lesse gagal melaksanakan perjanjian.
- Tanggal 18 Nopember 1983, dibuatlah "perjanjian Leasing" dihadapan Notaris di Jakarta, Samsul Hadi, SH, yang ditandatangani Wilson sebagai pimpinan PT. Pamor Cipta Inti Leasing. Eddy mewakili CV. Graffel Offset. Pada saat yang sama ditandatangani pula Surat Garansi (jaminan) dan ganti kerugian oleh Eddy (CV. Grafel Offset) serta surat garansi untuk pembelian kembali yang ditandatangani pihak PT. Baginda Putra.
- Dari perjanjian yang dibuat, maka masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan yang diperjanjikan.
- CV. Grafel Offset harus mendepositokan uang pada PT. Pamor Cipta Inti Leasing" sebesar Rp. 25.650.000;
- - Lease Period (masa produktif mesin) selama 3 tahun Lessee diwajibkan membayar harga mesin secara bertahap.
- "Lease Rent" (sewa) yang harus dibayar tiap bulan Rp. 6.021.370;
- "Residual Value" (nilai sisa) sebesar 20% = Rp. 34.200.000;
- Dalam perkembangannya, setelah mesin yang dipesan telah diterima CV. Grafel offset, Eddy tidak mampu membayar kewajibannya. Tanggal 12-9-1984, Eddy menyatakan diri tidak mampu lagi mengangsur harga mesin dan meminta agar mesin itu diangkat. Sebagaimana disepakati, adalah kewajiban PT. Baginda Putra, sebagai penjamin yang harus membeli kembali mesin tersbut (guarantee to buy back). Jumlah yang harus dibayar PT. Baginda Putera sebagai penjamin adalah Rp. 220.352.367; namun demikian, meski telah dihubungi persurat berkali-kali, pihak PT. Baginda Putera tidak memberikan tanggapan untuk melaksanakan kewajibannya.
- Mesin yang kemudian disimpan digudang PT.Pamor Cipta Inti tersebut, tidak dapat lagi dioperasikan, apalagi dipasarkan karena bagian-bagian penting dari mesin offset itu (electronic Monitoring System) WEKO TYPE 7309 dan Spare parts MILLER TP 29 S TYPE WL 230/59, diambil oleh Baginda Batang Taris tanpa sepengetahuan Wilson.
- Perjanjian Leasing antara PT. Pamor Cipta Inti - CV Grafel Offset PT. Baginda Putera, pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, karena Eddy telah membayar Residual Value sebesar 15% = Rp.25.650.000; Ini berarti Eddy telah menggunakan hak opsi, yakni akan membeli barang, modal jika harga sewa telah dibayar seluruhnya.
- Selanjutnya karena merasa dirugikan Ir. Wilson Tj. sebagai lessor menggugat lesse dan supplier melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
- Pada Pengadilan Tingkat Pertama yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seluruh gugatan lessor dikabulkan;
- Pada Tingkat Banding gugatan dikabulkan sebagian;
- Pada Tingkat Kasasi dikabulkan sebagaian.
2. Analisis Kasus
Dengan memperhatikan kasus posisi sengketa perjanjian leasing di atas dapat dikemukan hal-hal sebagai berikut:
- Obyek dari perjanjian leasing adalah mesin offset "Miller.TP.295"
- Subyek perjanjian terdiri dari 3 (tiga pihak):
- Pihak I: PT Pamor Cipta Inti Leasing adalah Lessor. Pemasok barang (suplier). Penerima jaminan dari CV Grafel Offset dan PT. Baginda Putera.
- Pihak II: CV Grafel Offset adalah Lesse. Penerima barang dari Lessor.
- Pihak III: PT. Baginda Putra adalah Supplier. Pemasok barang kepada lessee dan pemberi jaminan kepada PT. Pamor Cipta Inti Leasing.
- Bentuk perjanjian leasing adalah finance lease yaitu pihak lessee memiliki hak opsi.
- Isi perjanjian telah disepakati oleh para pihak, dan berlaku sebagai undang-undang, dengan otomatis Pasal 1338 KUHP Perdata berlaku bagi para pihak.
Dalam kasus sengketa kontrak leasing, para pihak telah menyepakati perjanjian yang telah dibuatnya, sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku pihak-pihak tersebut mempunyai hak dan kewajiban masing-masing untuk ditunaikan. Karena perjanjian yang telah disepakati dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan undang-undang (Pasal 1320 KUHPerdata), maka berlaku sebagai undang-undang bagi para Pihak dan bersifat mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata Jo 1339 KUHPerdata).
Dalam pelaksanaan perjanjian yang berlaku 3 (Tiga) tahun, ternyata pihak Lesse tidak dapat menunaikan kewajibannya untuk membayar sewa, karena sejak 4 (empat) bulan digunakan barang lease mengalami kerusakan. Aduan mengenai kerusakan yang diajukan pada pihak penjamin dalam hal ini Supplier tidak pernah dihiraukan bahkan pihak supplier telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara mengambil bagian-bagian penting dari mesin offset itu (electronic Monitoring System) WEKO TYPE 7309 dan Spare parts MILLER TP 29 S TYPE WL 230/59, tanpa sepengetahuan Wilson, sebagai lessor.
Dengan demikian keadaan berhenti membayar (wanprestasi) oleh Pihak I sebagai Lesse karena adanya suatu keadaan yang memaksa yaitu mesin mengalami kerusakan, dan kerusakan tersebut diketaui oleh supplier sebagai penjamin. Oleh karena itu yang dapat dinyatakan wanprestasi adalah Supplier yang bertindak sebagai penjamin dalam hal ini adalah Pihak III. Sehingga Pihak I sebagai Lesse tidak dapat dimintai ganti rugi akibat berhenti membayar oleh Pihak II yaitu Lessor.
Oleh karena itu azas kebebasan berkontrak dalam kontrak leasing yang diadakan oleh para pihak, dalam hal ini Pihak I sebagai Lessee yang memiliki bargaining position lemah tidak dapat dilaksanakan secara penuh, disebabkan adanya keadaan yang memaksa dan sudah seharusnya mendapat perlindungan hukum.
Dalam kasus ini, Pihak II (Lessor) menekankan tuntutan ganti ruginya pada Pihak I (Lessee). Padahal dalam hal ini Pihak III (Supplier) yang memiliki kesalahan besar. Maka dari itu gugatan akhir melalui Kasasi Pihak I (Lesse) dibebaskan dari membayar ganti rugi kepada Pihak II (Lessor). Yang bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi, akhirnya jatuh pada Pihak III (Supplier) sebagai penjamin.
Hal yang dapat diperoleh dari pembahasan kasus tersebut adalah:
Dalam perjanjian (kontrak) Lease, pihak Lesse telah menerima barang modal berupa mesin cetak offset dari Supplier (Importir atas order pihak Lessor Equipment/ mesin cetak) yang diterima oleh Lessee tersebut. Ternyata kondisi barang modal dalam keadaan tidak baik, tidak dapat dioperasikan. Hal tersebut telah diberitahukan kepada Lessor.
Dengan rusaknya barang modal, berarti telah terjadi kegagalan dalam kontrak (perjanjian leasing). Oleh karena Supplier berkedudukan sebagai penjamin, maka Supplier harus bertanggungjawab atas kegagalan perjanjian Lease tersebut dan wajib membeli kembali barang modal (mesin cetak/equipment). Pihak Lessee dalam hal ini tidak dapat dibebani kewajiban hukum untuk membayar "lease rent" (sewa lease) dan "overdue interest" (bunga terlambat) kepada lessor, meskipun mesin cetak sempat dikuasai Lessee selama 4 (empat) bulan lamanya, akan tetapi tidak dapat dioperasikan, sehingga Lessee meminta agar barang diambil kembali dan tidak membayar lease rent.
E. Kesimpulan
Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian leasing tidak dapat dibatalkan oleh satu pihak. Kecuali telah mendapat persetujuan antar para pihak.
Dalam pelaksanaannya, perjanjian leasing yang mendasarkan pada azas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dijalankan sepenuhnya oleh Pihak Lessee (pihak yang berjanji/pihak yang menerima barang modal dari Lessor) karena adanya suatu keadaan yang mamaksa yaitu rusaknya barang ketika perjanjian baru berjalan. Dalam kondisi seperti ini pihak Lessee tidak bisa dipaksa untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah diperjanjikan.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa azas kebebasan berkontrak dibatasi oleh iktikad baik oleh para pihak, ketika pihak yang berjanji telah berusaha menuanaikan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan akan tetapi terhalang oleh suatu keadaan (rusaknya barang modal), maka dapat terhindar dari melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Jadi pelaksanaan azas kebebasan berkontrak tidak bebas, akan tetapi terbatas. Karena kalau azas kebebasan berkontrak tidak terbatas, akan menimbulkan kesewenang-wenangan dari pihak yang memiliki bargaining position yang kuat. dengan begitu perlindungan hukum bagi pihak yang memilki bargaining position lemah, terancam.
catatan kaki:
[1]Penulis adalah dosen pada Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), p. 1.
[3]Ibid., p. 3.
[4]John A. Willes, Contemporary Canadian Bussines Law: Principle and Cases, (Canada: McGraw-Hill1 Ryerson, 1981), p. 105
[5]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), p. 96.
[6]Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1984), p. 13
[7]P.S. Atiyah, An Intrroduction to The Law of Contract, (Oxford: Clarendon Press, 1981), p. 28
[8]J.r. William F. Fox, International Commercial, Agreement, (Netherland: Kluer Law and Taxation Publisher, 1992), p. 50
[9]Ibid., p. 50
[10]Purwakhid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi Perjanjian, (Jakarta: Elips Project, 1993), p. 3
[11]Ibid.
[12]Subekti, Hukum..., p. 45.
[13]Jr. William F. Fox, International..., p. 60-61
[14]Komar Andasasmita, Serba Serbi tentang Leasing: Teori dan Praktek, (Jawa Barat: Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Jawa Barat, 1989), p. 3
[15]Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Inter Media, 1991), p. 139.
[16]Ibid.
[17]Hans Van Houtte, The Law of Intyernational Trade, (london: Sweet and Maxwell, 1995), p. 293-294
[18]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis..., p. 8, Lihat Juga Dalam Frank Taira Supit, The Legal Aspect of Leasing, (ttp: Institute for International Research, 1992), p. 1
[19]Dahlan Siamat, Mamajemen Lembaga...., p. 140
[20]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yurudis..., p. 3
[21]Donnell Barnes Metger, The Law for Bussines, (United State of America: Irwin, 1983), p. 73
[22]J.r.,William F. Fox., International Commercial..., p.50-67
[23] Komar Andasasmita, Serba Serbi..., p. 119-140
[24]Agus Hardjito, "Leasing Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Perusahaan”, Unisia, nomor 11 Tahun XII Triwulan I- 1991, p. 84-85
[25]Erman Rajagukgug, Peran Hukum Kontrak Internasional dalam Perdagangan Bebas, Makalah Seminar BPHN Depkeh Tanggal 6 Maret 1997, p. 4
[26]Purwahid Patrik, Asas Iktikad..., p. 1
[27]Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), p. 44
[28]Ibid.
Daftar Pustaka
A. Willes, John, Contemporary Canadian Business Law: Principles and Cases, Canada: McGraw-Hill Ryerson Limited, 1981.
Andasasmita, Komar, Serba-serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek) Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat, 1989.
Atiyah, P.S., An Introduction to The Law of Contract, Third Edition, Oxford: Clarendon Press, 1981.
Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994
F. Fox, J.r. William, International Commercial Agreements, Second Edition, Deventer, The Nedtherlands: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992.
Hardjito, Agus, Leasing Sebagai alternatif Sumber Pembiayaan Perusahaan, Unisia, N0. 11 Tahun XII Triwulan I-1991.
Keppres No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Metzger, Donnell Barnes, Law For Bussiness, United State Of America : IRWIN, 1983.
Patrik, Purwakhid, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi Perjanjian, Jakarta: Elips Project, 1993.
Rajagukguk, Erman, Peran Hukum Kontrak Internasional dalam Perdagangan Bebas, BPHN-Depkeh, 6 Maret 1997.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Intermedia, 1991.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1984.
Supit, Frank Taira, The Legal Aspect of Leasing, ttp: Institute for International Research, 1992.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Keuagan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP. 122/MK/IV/2/1974. No.32/M/SK/2/1974, dan No.30 /Kpb/ I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing.
Tunggal, Amin Widjaya dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
van Houtte, Hans, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun. XIII. No. 151. April 1998
Penyakit Kelinci Gastrointestinal Stasis Bagian 1
Penyakit Pada Kelinci : Gastrointestinal Stasis Penyebab, Gejala dan Pengobatan.
Bila saluran pencernaan dari pameran kelinci motilitas lamban kondisi disebut gastrointestinal Stasis. Gerakan dalam usus melambat atau berhenti mengakibatkan sakit parah dan bahkan kematian. Ini adalah keadaan darurat ketika kelinci berhenti makan, dan harus disediakan intensif terapi pendukung di awal.
Bila saluran pencernaan dari pameran kelinci motilitas lamban kondisi disebut gastrointestinal Stasis. Gerakan dalam usus melambat atau berhenti mengakibatkan sakit parah dan bahkan kematian. Ini adalah keadaan darurat ketika kelinci berhenti makan, dan harus disediakan intensif terapi pendukung di awal.
Penyebab GI STATIS pada Kelinci :
Gastrointestinal penyebab Stasis mungkin rambut / bulu bola di usus atau infeksi, gas, atau bahkan masalah gigi. Diet kelinci dasarnya terdiri dari sekitar 25% dari serat dan cukup cairan. Kurangnya serat atau cairan dapat menjadi faktor utama untuk memperburuk Stasis gastrointestinal. Berumput biji-bijian, oat jerami dan jerami timothy sedikit alami yang kaya serat makanan kelinci. Ketika diet kurang serat gerakan di usus melambat dan secara bersamaan meninggalkan makanan tercerna dan bola rambut di saluran pencernaan.
Sumbatan dalam keberanian ini sangat menyakitkan bagi kelinci dan sering mengancam nyawa. Selain itu masalah stagnan dalam usus mempromosikan perkembangbiakan bakteri yang berbahaya di rawa-rawa yang bagus sehingga menciptakan ketidakseimbangan. Sebuah jenis umum bakteri berbahaya adalah Clostridium yang menghasilkan gas berbahaya dan menyakitkan ketika mereka berada di angka ekstrim. Mereka secara bertahap kelebihan menghasilkan racun yang mungkin bahkan merusak hati. Jika kondisi ini dibiarkan mereka mungkin mendapatkan sakit parah dan mungkin mati dalam satu atau dua hari. Yang menjelaskan pentingnya mengidentifikasi gejala awal gastrointestinal stasis yang terutama tidak adanya tinja, kurangnya nafsu makan dan kelesuan .....(Bagian 1)
Hukum Adat
UMUM
1. 1.8. Hukum Adat di daerah Tapanuli.
Hukum yang harus diperlakukan.
Dalam sengketa mengenai warisan antara dua orang saudara seayah-ibu yang ayahnya orang Mandailing dan ibunya orang Minangkabau, sedang peristiwa yang bersangkutan terjadi di daerah Tapanuli.
hukum waris yang harus diperlakukan adalah hukum Adat Mandaling.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-11-1958 No. 322 K/Sip/1958.
O R A N G
2. II.2. Ganti nama.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung:
Menurut adat kebiasaan di daerah Krawang seorang ayah setelah kelahiran anaknya yang pertama bernama A., disebut Bapak A.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-5-1975 No. 90 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Enin bin Samilin dkk lawan 1. H. Erus bin Akrim, 2. Nur¬kalim bin Endut bin Akrim dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santosa Poedjosoebroto S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. D.H. Lumbanradja S.H.
HUBUNGAN KELUARGA.
3. III. 3.4. Hukum Adat di daerah Denpasar.
Anak tidak sah.
Anak yang lahir diluar pernikahan tidak dapat dianggap anak sah dari ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-7-1973 No. 191 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Wayan Abing lawan 1. Suma.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono S.H. 2. Busthanul Arifin S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
4. III. 3. Hukum Adat didaerah Balige.
Hubungan orang tua dan anak.
Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri telah dengan tepat mempertimbangkan:
— bahwa perkawinan antara tergugat 1 dengan mendiang Ompu Situmindang boru Tampubolon pada bulan Februari 1958 adalah syah;
— bahwa perkawinan antara tergugat I dengan tergugat II tidak dapat dibenarkan karena tidak disetujui oleh pihak parboru tubu dan juga tergugat-tergugat tidak ada menyelesaikan pemutusan pertalian dengan mendiang Ompu Situmindang Sitorus;
— bahwa dengan demikian anak laki-laki yang dilahirkan oleh tergugat I termaksud adalah syah keturunan mendiang Ompu Situmindang Sitorus.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-4-1976 No. 792 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Nan Tiamsa br. Tampubolon, 2. Israel marga Sitorus lawan Gito marga Manurung.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Indroharto SH. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
5. III. 3.6. Hukum Adat didaerah Tabanan - Bali.
Anak angkat.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung:
Menurut hukum Adat yang berlaku di Bali, untuk sahnya sentana (anak angkat) pada umumnya harus diadakan upacara “pemerasan”, akan tetapi ada juga pengecualiannya sebagaimana diterangkan oleh saksi diatas (didesa Antapan Baturiti — Tabanan kalau sentana diambil dari keluarga dekat, tidak perlu diadakan upacara “pemerasan”).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-1-1974 No. 930 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Men Pupung lawan Ni Kompiang alias Men Rudji.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H. 3. Busthanul Arifin S.H.
6. III. 3.6. Hukum Adat didaerah Klungkung.
Anak angkat.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Untuk pengangkatan anak di Bali disaratkan: - sudah terjadi sepakat antara anak yang diangkat beserta keluarganya dan pihak kepurusa (keturunan pancar laki-laki). dengan pihak orang tua yang mengangkat beserta keluarganya dan pihak kepurusa juga; - dilaksanakan upacara widi-widana yang dihadiri oleh pendeta dengan disaksikan oleh pejabat resmi setempat antara lain Klian Adat, Klian Dinas dan Kepala Desa; - kemudian disiarkan dimuka umum/dimuka krama/ anggauta banjar.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-11-1915 No. 210 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Dewa Made Suwetja lawan Bagus Putu Win.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. .Hanindjapoetro Sosropranoto SH. 2. S.H. Lumbanradja S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
7. III. 3.6. Hukum Adat di daerah Tabanan.
Anak angkat.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Menurut hukum adat di Bali, memang dimungkinkan orang yang sudah mempunyai anak laki-laki mengambil orang lain sebagai anak angkat dipersaudarakan dengan anak kandungnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-5-1976 No. 1234 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Men Djagerem, 2. Nang Djagerem lawan Nang Suki.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Achmad Soelaiman S.H.
8. III. 3.6. Hukum Adat di darah Padang.
Anak angkat.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa dari tanda bukti P. II. P. III. P. IV. dan keterangan-keterangan saksi dipersidangan terbukti bahwa rumah yang dipersengketakan adalah hak milik dan Rangkajo Ramaliah yang diperoleh dari harta pencaharian perempuan Ramaliah tersebut;
bahwa Rangkajo Ramaliah telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak kandung sebagai ahli waris (punah), sedang menurut tanda-tanda bukti P. III, P. IV, P. V, P. Va, P. VI dan P. VIII yang menjadi waris dan harta benda milik Rangkajo Ramaliah ialah seorang lelaki yang menjadi anak angkatnya, yaitu penggugat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-6-1975 No. 813 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: Pr. Rosnah lawan Achmad S. Rahman.
dengan. Susunan Majelis : 1. Dr. R, Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Indroharto S.H
9. III. 3.6. Hukum Adat di daerah Denpasar.
Anak angkat.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa saksi-saksi tergugat II telah secara jelas menguraikan proses pengangkatan anak itu, dan mula-mula I Tjeting akan mencari anak angkat sampai pada siaran dan upacara adat (pemerasan) nya;
bahwa oleh penggugat-penggugat dibenarkan fakta-fakta sebagai berikut:
1. tergugat II telah bertempat tinggal dirumah I Tjeting dan zaman Jepang sampai sekarang (dan sejak masih bujang sampai beranak cucu).
2. tergugat II yang mengayahkan I Tjeting di Banjar.
3. tergugat II yang turut mengabenkan Ni Renting.
4. tergugat II yang memelihara sanggah/tempat pemujaan I Tjeting/Ni Renting setelah mereka sama-sama meninggal dunia.
5. tergugat II yang menguasai harta peninggalan I Tjeting/Ni Renting termasuk tanah-tanah sengketa.
bahwa dan hal-hal diatas cukup terbukti bahwa tergugat II adalah sah anak angkat I Tjeiing/Ni Renting dan tidak hanya juru gae dinumah I Tjeting/Ni Renting itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-12-1975 No. 281 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. I Reg 2. I Giweng melawan.1. I. Entek 2. Ni Alep.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. NG. Hanindyopoetro Sosropranoto S.H. 2. D.H. Lumbaradja S.H. 3. Indroharto S.H.
10. III. 4.2. Hukum Adat di daerah Negara (Bali).
Acara pengangkatan anak.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Pan Gandra tidak dapat dinyatakan sebagai anak angkat yang sah dari pada Pan Runten karena Pan Gandra tidak memenuhi sarat-sarat sebagai anak angkat yaitu belum diperas.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1975 No. 696 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Pan Norden lawan 1. Ni Nyoman Westi, 2. I. Ketut Mutrem dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo S.H. 2. Indroharto S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
11. III. 4.13. Hukum Adat di daerah Palopo.
Anak yang dipelihara.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena tidak terbukti bahwa penggugat adalah anak angkat yang sah menurut hukum, hanya anak piara, ia bukanlah ahli waris dan tidak benhak menuntut harta peninggalan almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-12-1975 No. 942 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: Sitti Maria lawan Lai Pare.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. D.H. Lumbanradja SM. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
12. III. 5. Hukum Adat di daerah Bukittinggi.
Hubungan “sekaum”.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Kenyataan bahwa penggugat-penggugat dan Dt. Putjuk adalah sepandam sepekuburan belumlah membuktikan bahwa mereka adalah sekaum dan seharta.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-12-1975 No. 459 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Mohammad Rasjid Manggis Gin. Datoek Radjo Penghoeloe lawan 1. Loetan gelar Datoek Poetjoek dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto S.H. 2. Indroharto SH. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
13. III. 5. Hukum Adat di daerah Solok.
Hubungan bertali adat.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa semasa hidupnya kaum Tahen mereka telah memperlakukan Sitam Magek Payung selaku kaum mereka sendiri;
bahwa mereka sejak 1894 sudah mengikut sertakan kaum Intan Kajo dalam transaksi-transaksi tanah mereka;
bahwa dari hal-hal di atas terbukti antara kaum Intan Kajo dan kaum penggugat-penggugat-terbanding sudah semenjak lama ada perhubungan yang amat erat; maka menurut penilaian Pengadilan Tinggi antara mereka terdapat perhubungan yang bertali adat.
Oleh Pengadilan Negeri diputuskan: “Mensahkan penggugat-penggugat Sebagai waris yang sah dari almarhum Thaher glr. Intan Kajo sehingga penggugatlah yang berhak atas sako dan pusako Thaher gIn. Intan Kajo.”
Oleh Pengadilan Tinggi diputuskan: “Menyatakan bahwa penggugat-penggugat-terbanding adalah waris bertali adat dengan almarhum Taher glr. Intan Kajo; - Menyatakan gugatan selebihnya tidak dapat diterima;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-11-1975 No. 235 K/Sip/1973.
dalain perkara: 1. Nun glr. Mentari Gagah, 2. Kamal glr. Gagah Dilangik lawan 1. Munir glr. Magek Pejung, 2. Kamarulin Ali.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto S.H. 2. Bustanul Arifin S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
ORANG YANG BELUM DEWASA.
14. IV. Orang yang dewasa.
Menurut hukum Adat umumnya seseorang yang telah berumur 15 tahun dianggap telah dewasa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-6-1955 No. 53 K/Sip/1952.
Dalam Perkara :: I. Wajan Ruma lawan Ni Ktut Kartini.
P E R W A L I A N
15. V. 1. Hukum Adat orang-orang Minangkabau di daerah Jakarta
Sistem kekeluargaan dalam perwalian.
Menurut Adat Minangkabau dalam persengketaan hukum tentang pemeliharaan seorang anak dan kedua orang tua yang telah bercerai, yang harus dijadikan dasar adalah kepentingan sianak semata-mata, pada siapakah pemeliharaan anak itu terjamin sebaik-baiknya, pada ibunya atau pada ayahnya; hanya, berhubungan dengan sifat Adat Minangkabau, ibulah yang lebih berhak melakukan pemeliharaan jika kedudukan kedua orang tua dalam hal ini sama baik.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25 –1-1951 No.8 K/Sip/19S0.
Dalam Perkara :: Ny. Dahniar binti Soetan Batoeah lawan Djamaloes.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, 2. Mr. R. Satochid Kartanegara, 3. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro.
16. V. 2.4. Hukum Adat di daerah Tapanuli Selatan.
Tanggung jawab wali.
Seorang ibu yang menjadi wali daripada seorang anak yang masih di bawah umur berkewajiban untuk memelihara hak sianak sampai ia dewasa.
i.c. tanah terperkara yang menjadi hak penggugat sejak Ia berumur 1 tahun, karena oleh Si ibu dibiarkan saja selama 18 tahun dikuasai oieh tergugat dianggap telah menjadi hak tergugat atas dasar pelepasan hak (“rechtsverwerking”).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-9-1958 No. 329 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: Baginda Palaon, lawan Sutan Nabuntu dkk.
P E R K A W I N A N
17. VII. 2. Hukum Adat di daerah Balige.
Pertunangan
Menurut Hukum Adat setempat “persaenan ni sinamot” yang harus diadakan oleh pihak perempuan yang membatalkan pertunangan adalah sehelai kain Batak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-7-1955 No. 46 K/Sip/1952.
Dalam Perkara :: Iskandar Marga Tanibunan lawan Gustaaf Marga Siahaan.
18. VII. 2. Hukum Adat orang-orang Batak di daerah Medan.
Pertunangan.
Menurut Hukum Adat Batak uang yang diberikan oleh orang tua pihak lelaki kepada orang tua pihak perempuan pada waktu pertunangan hams dipan¬dang sebagai uang pengikat;
Uang tersebut harus dikembalikan dua kali lipat oleh pihak perempuan apabila pertunangan putus karena kesalahannya, sedang kalau putusnya karena kesalahan pihak Iaki-laki uang tersebut menjadi hilang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-2-1959 No. 396 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Jacobus Silitonga Gelar Sodunggaron lawan J. Hutauruk.
19. VII. 2. Hukum Adat orang-orang Batak di Medan.
Pertunangan.
Orang tua pihak laki-laki yang mengirimkan kepada pihak perempuan surat dan anaknya kepada orang tua pihak perempuan tersebut yang isinya menyatakan bahwa ia tidak mau kawin dengan anak perempuannya, dapat di¬pandang sebagai telah memutuskan pertunangan anaknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-2-1959 No. 396 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Jacobus Silitonga Gelar Sodunggaron lawan J. Hutauruk.
20. VII. 5.2. Hukum Adat di daerah Bukittinggi.
Hibah antara suami-isteri.
Menurut hukum Adat di Minangkabau dalam perkembangannya dewasa ini, seorang suami dapat menghibahkan harta-harta pencahariannya kepada isteri¬nya dengan tiada keharusan disetujui lebih dahulu oleh keponakan-keponakan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-8-1963 No. 290 K/Sip/1963.
Dalam Perkara :: Achmad Thaib Gelar Soetan Salim lawan Zahara.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. 2. Sutan Abdul Hakim SH. 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
21. VII. 5.2. Hukum Adat di darah Tabanan.
Hibah antara suami-isteri.
Hukum Adat di Bali tidak melarang penghibahan antara suami-isteri sepanjang tidak mengenai harta pusaka.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-8-1970 No. 123 K/Sip/1970.
Dalam Perkara :: I Wajan Minah dkk lawan Men Suari alias Ni Ketut Setiari. dengau Susunan Majelis : 1. R. Subekti SM. 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Indroharto S.H.
22. VII. 5.4. Hukum Adat di daerah Jawa-Tengah.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Dalam kalangan masyarakat Jawa Tengah telah makin lama makin meresap perasaan memandang adil bahwa seorang janda mendapat separoh dari harta gono-gini, sehingga hal ini telah merupakan Hukum Adat Jawa Tengah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-2-1959 No. 387 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Moesdijam dkk lawan Bok Sodrono alias Saripah dkk.
Kaidah/Pertimbangan Hukum di atas diterapkan pula antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-3-1959 No. 393 K/Siv/1958 mengenai perkara dari daerah Blitar.
23. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Purworedjo.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan barang-barang gono¬gini, pembagian gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dad pada anak atau isteri (suami) dan yang meninggalkan gono-gini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-8-1959 No. 258 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Ramelan dkk lawan Bok Partodimedjo alias Marijam dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H 2. Sutan Kali Malikul Adil. 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
24. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Jakarta.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Menurut Hukum Adat semua harta yang diperoleh selama perkawinan termasuk gono-gini meskipun mungkin harta yang bersangkutan adalah hasil kegiatan suami sendiri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-11-1956 No. 51 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Pr. Cijem lawan Samidjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Sutan Kali Malikul Adil. 3. Mr. R. Soekardono.
25. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Blitar.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadiian Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Menurut hukurn adat di Jawa dan Madura isteri ke II, ke III dan seterusnya tidak berhak atas barang gono-gini isteri pertama.
Tanah asal almarhum seharusnya kembali keasal dan dalam hal ini keseluruhan anak-anak dari almarhum Haji Soeleman yang berhak mewarisi tanah itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-3-1976 No. 1062 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Damanhuri, 2. Tamah alias Bok Haji Soeleman lawan Ichwanoedin.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata S.H.
26. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Bekasi.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Bahwa dari seluruh pemeriksaan perkara tidak ternyata bahwa sawah sengketa adalah hasil gono-gini almarhum Peking bin Biun dengan isterinya yang kedua yang menurunkan penggugat untuk kasasi/tergugat asal dan menurut jurisprudensi Mahkamah Agung apabila tidak terbukti bahwa ada dua harta gono-gini maka harta¬-harta itu dianggap satu gono-gini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-10-1975 No. 932 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Panjul bin Peking dkk lawan 1. Pr. Kinah binti Peking 2. Pr. Dimah binti Peking dkk. dan 1. Mada bin PanjuI dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. D.H. Lumbanradja S.H. 3. Samsudin Abubakar S.H.
27. Vl1.5.4. Hukum Adat di daerah Singaradja.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Barang-barang sub I dibeli semasa perkawinan tergugat I - pembanding dengan penggugat-terbanding, maka barang-barang tersebut merupakan guna kaya (milik bersama) mereka berdua: penggugat-terbanding berhak atas ½ bagian dari barang-barang itu.
Barang-barang sub 2 dibeli semasa tergugat I - pembanding dalam perkawinan dengan penggugat-terbanding dan tergugat II - pembanding maka barang-barang ini merupakan guna kaya antara mereka bertiga dan penggugat-terbanding berhak atas 1/3 bagian dari barang-barang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-6-1976 No. 175 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: 1. Nyoman Rai, 2. Wayan Sasih lawan Ni Nengah Tjinta.
Dengan Susunan Majelis : 1.D.H. Lumhanradja S.H. 2. R. Djoko Soegianto S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
28. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Gorontalo.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa menurut hukum Adat semua harta (kekayaan) yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan dianggap harta pendapatan bersama sekalipun harta itu semata-mata hasil pencaharian sisuami sendiri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-2-1976 No. 985 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Alexander Mamahit lawan Lintje Walangitan.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H. 3. Achmad Soelaiman SH.
29. VII.5.4. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Isteri kedua dan ketiga serta anak-anak mereka tidak berhak mewaris harta pencaharian almarhum suami dengan isteri pertama.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-2-1976 No. 901 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: 1. Gempang. Brahmana, 2. Dr. Perentehan Purba lawan Titik br. Sembiring dkk. dan 1. Butitan br. Girsang dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo S.H. 2. Achmad Soelaiman S.H. 3. D.H. Lumbanradja S.H.
30. VII.5.5. Hukum Adat di daerah Banyuwangi.
Harta bawaan dalam perkawinan.
Barang-barang yang dituntut bukanlah barang gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang-barang tersebut dibeli dari harta-harta bawaan/asal milik Fatimah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-12-1975 No. 151 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Sapi-i lawan 1. Fatimah, 2. Soetrisno.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo S.H. 2. Syamsudin Aboebakar SH. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadj; S.H.
31. VII.5.7. Hukum Adat di daerah Madiun.
Tanggung-jawab atas hutang suami/isteri selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Semua hutang yang dibuat salah satu pihak selama dalam perkawinan harus diperhitungkan dari barang-barang gono-gini.
Putusan Mahkamah Agung :;tgl. 20-11-1975 No. 306 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Ny. Soeminah lawan Oemar.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. Bustanul Arifm S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
32. VII.5.7. Hukum Adat di daerah Denpasar.
Tanggung-jawab terhadap hutang-hutang selama perkawinan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut hukum adat setelah perkawinan berlangsung lima tahun lamanya telah timbul pembaharuan harta benda yang dinamakan “awar pangomah-omah” dan timbul kewajiban tanggung menanggung, ialah utang isteri dijamin oleh harta suami dan sebaliknya.
Oleh Pengadilan Negeri pensitaan yang diadakan terhadap barang-barang sengketa, yang merupakan harta peninggalan mendiang I Made Mara, untuk menjamin pembayaran hutang dari pada jandanya, dikuatkan;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-8-1975 No. 177 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: I Wayan Nengah lawan 1. Made Regeg, 2. Ni Made Numbereg, dan 1. I Wayan Gina, 2. I Wayan Gerebeg dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. Samsudin Abubakar S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
33. Vll.5.8. Hukum Adat di daerah Jawa Tengah.
Jual beli antara suami-isteri.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Hukum Adat di Jawa tidak mengenal jual beli antara suami isteri dalam perkawinan maka jual beli yang demikian itu adalah batal demi hukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-8-1974 No. 1055 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Gapur, 2. Misian dkk. lawan 1. Tamar, 2. Salikin dkk. dan Sakur, 2. Sisup dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. Indroharto S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
34. VII.6. Hukum Adat di daerab Balige.
“Anak tapang boru tapang”.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibesarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa arti “anak tapang boru tapang” adalah sebagai berikut:
Perjanjian antara A dengan B bahwa apabila A nanti mempunyai anak perem¬puan dan B mempunyai anak laki-Iaki, anak-anak ini akan dikawinkan setelah dewasa;
pada umumnya pihak A memberikan sawah kepada pihak B, dinamakan “hundulan ni boru” sedang pihak B memberikan sejumlah uang sebagai panjar “sinamot” (jujuran); - bila salah satu pihak ternyata tidak mendapatkan anak atau mungkir, perjanjiannya menjadi batal dan sawah termaksud harus dikembalikan kepada pihak A dengan pemberian “ulos” kepada pihak B.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-11-1975 No. 1408 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Sanggul boru Sinaga lawan Aman Sombaguru Sinaga.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindjapoetro Sosropranoto S.H. 2. R. Saldiman Wirjatmo S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
P E R C E R A I A N
35. VIII. 1. Hukum Adat Minangkabau.
Hukum yang berIaku.
Karena Dalam Perkara ini yang berisi sengketa tentang kepada siapa seorang anak harus diserahkan setelah kedua orang tuanya bercerai, kedua pihak adalah orang Minangkabau, maka Hukum yang harus diperlakukan adalah Hukum Adat Minangkabau.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1951 No. 8 K/Sip/1950.
Dalam Perkara :: Ny. Dahniar binti Soetan Batoeah lawan Djamaloes.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, 2. Mr. R. Satochid Kartanegara. 3. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro.
36. VIII.2. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Alasan-alasan perceraian.
Menurut Hukum Adat pada umumnya dan juga menurut Hukum Adat setempat (Kabanjahe) perceraian karena tidak dapat hidup rukun diperbolehkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-1-1960 No. 438 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Numbur Ginting lawan Rem boru Karo.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. 2. Sutan Abdul Hakim S.H. 3. M. Abdurrachman S.H.
37. VIII.2. Hukum Adat di daerah Singaradja.
Alasan perceraian.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa penggugat terbanding sebagai isteri dan tergugat I pembanding telah meninggalkan tempat kediaman bersama karena telah dianiaya dan tidak mau memenuhi permintaan suaminya untuk kembali lagi;
bahwa hal itu berarti ia sudah tidak cinta lagi kepada dan tidak mau Iagi hidup bersama tergugat I-pembanding; hal-hal mana menurut hukum adat yang berlaku di Bali sudahlah cukup untuk menentukan bahwa perkawinan antara kedua pihak telah pecah karena perceraian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-6-1976 No. 175 K/Sip,/1974.
Dalam Perkara :: 1. Nyoman Rai; 2. Wayan Sasih lawan Ni Nengah Tjinta.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja S.H; 2. R. Djoko Soegianto SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
38. VIII.4. Hukum Adat di daerah Bojonegoro.
Pembagian harta perkawinan setelah perceraian.
Menurut jurisrudensi Mahkamah Agung dalam hal terjadi perceraian barang gono-gini harus dibagi antara suami dan isteri dengan masing-masing mendapat separoh (diterapkan terhadap perkara antar bekas suami-isteri dari daerah Bojonegoro).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1959 No. 424 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Iskak lawan Mamlukah.
dengan Susunan Majelis 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. R. Wirjono Kusumo SH.
Kaidah/Pertimbangan Hukum diatas diterapkan pula antara lain dalam
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-4-1960 No. 120 K/Sip/1960
mengenai perkara dari daerah Tebing Tinggi; Putusan tgl. 14-11-1962 No. 290 K/Sip/1962 mengenai perkara dari daerah Semarang ; Putusan tgl. 19-4-1961 No. 64 K/Sip/1961 mengenai perkara dari daerah Malang.
39. VIII.4. Hukum Adat di daerah Magelang.
Pembagian harta perkawinan setelah perceraian.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena pada waktu perceraian penggugat/terbanding telah menerima pembagian barang-barang dan pembagian itu telah diterimanya dengan baik ia tidak dapat menuntut pembagian lagi mengenai barang-barang sengketa dan gugatannya harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl, 7-5-1973 No. 982 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : : H. Abdulrachman alias Aliredjo lawan Ny. H. Abdurachman alias Robijem.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. D.H. Lumbanradja S.H; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
40. VIII.4. Hukum Adat di daerah Jakarta.
Pembagian harta perkawinan setelah perceraian.
Dalam Hukum Adat tidak ada peraturan yang menentukan, bahwa seorang isyeri yang lari dari suaminya tidak berhak lagi atas gono-gini dengan suaminya itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-11-1956 No. 51 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Pr. Gijem lawan Samidjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. R. Soekardono.
41. VIII.4. Hukum Adat di daerah Tondano.
Pembagian harta perkawinan setelah perceraian.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Mengenai pembagian harta pendapatan bersama antara bekas suami istri yang masih hidup, anak-anak baik yang sudah dewasa maupun yang belum tidak berhak mempersoalkannya, maka tidak perlu didengar keterangan mereka tentang perkara ini.
Adalah justru tidak adil bila seorang ayah atau seorang ibu mempunyai bagian yang sama besarnya dengan bagian seorang anak dari harta bersama ayah dan ibu tersebut; harta itu merupakan hak mutlak ayah dan ibu itu sendiri; anak-anak ha¬nyalah merupakan ahli waris ayah dan ibu itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-4-1975 No. 280 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Ny. Stans Augustina Sajom-Pioh lawan Albert Bernard Najoan.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Achmad Soelaeman SH; 3. Sri Widojati Soekito SH.
42. VlII.5. Hukum Adat di daerah Klaten.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anak setelah perceraian.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah, kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa tidak semata-mata dibe-bankan kepada ayahnya saja, tetapi juga kepada ibunya;
Dalam hal salah seorang dari orang tua tidak memenuhi kewajibannya, ia dapat dituntut mengenai pembiayaan termaksud, akan tetapi tuntutan itu haruslah diajukan dalam masa anak membutuhkan perawatan dan pendidikan, ialah semasa anak masih belum dewasa.
Karena Dalam Perkara : ini gugatan diajukan sewaktu anak telah berumur 20 tahun, jadi pada waktu ia sudah dianggap dewasa, gugatan itu tidaklah beralasan lagi maka harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-8-1958 no. 216 K/Sip/1958.
Dalam Perkara : : Wignyosukarso alias Sukarso lawan Sumarsono.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R.S. Kartanegara; 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. R. Soekardono.
43. VIII.5. Hukum Adat di daerah Tegal.
Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Tanpa mengingat sebab musabab perceraian pemberian uang nafkah dan sandang adalah tetap merupakan kewajiban seorang ayah terhadap anaknya. (i.c. si anak tinggal bersama ibunya; oleh Pengadilan Tinggi tergugat pembanding dihukum untuk membayar nafkah sebesar Rp. 1.000,- setiap bulannya terhitung mulai tanggal 2 Pebruari 1970 (tanggal keputusan Pengadilan Negeri) hingga penggugat asli dewasa berumur 18 tahun).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-7-1975 No. 480 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : : Ni’mah binti Abubakar Baudjir lawan Abdurachman bin Abdullah Baudjir.
dengan Susunan Majelis : 1. lndroharto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH.
44. VIII.9. Hukum Adat di daerah Balige.
Akibat-akibat perceraian.
Akibat dari pada “mahiolong”’ yang mengharuskan si isteri yang meminta cerai mengembalikan dua kali lipat uang jujuran dan pengeluaran-pengeluaran lain sewaktu perkawinan dilangsungkan tidak dapat lagi dipertahankan sesuai dengan perkembangan zaman.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-11-1975 No. 499 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : 1. Sulaeman Pangaribuan; 2. Wesly Pangaribuan lawan Isak Butarbutar.
dengan Susunan Majelis 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
W A R I S A N
45. IX. 1. Hukum Adat di daerah Klungkung.
Sistim kekeluargaan dalam waris malwaris.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Penggugat adalah satu-satunya ahli waris dari marhum Bagus Putu Kedisan (meninggal dengan tidak mempunyai anak) karena penggugat adalah anak laki-laki dari pihak kepurusa (keturunan pancar laki-laki).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-11-1975 No. 210 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Dewa Made Suwetja lawan Bagus Putu Win.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindjapoetro Sosropranoto SH; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
46. IX. 2.1. Hukum Adat di daerah Depasar.
Pengentian ahli waris.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
SoaI pengabenan dan penyekahan adalah soal moral, bukan soal hukum yang menimbulkan suatu hak, dalam hal ini hak waris; maka pengabenan dan penyekahan yang telah dilakukan tergugat-tergugat terhadap jenazah-jenazah I Runia dan I Genjeng tidaklah melenyapkan hak waris dan pada penggugat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27 - 11 - 1975 No. 230 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : 1 Rugig, 2. I Rapeng lawan I Wajan Turun.
dengan Susunan Majelis 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. Indroharto SH. 3. Bustanul Arifin SH.
47. IX. 2.1. Hukum Adat di daerah Negara. (Bali)
Akhli Waris.
Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3 –12-1958 No. 200 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: I Gandra dkk..lawan Pan Gari dkk.
48. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Cilacap:
Kedudukan janda/balu terhadap warisan suami/istri.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Wangsasemita selaku duda dari Nyi Astijah hanya berhak untuk menikmati hasil dari tanah-tanah sengketa (yang merupakan barang-barang asal almarhum Nyi Astijah) selama ia masih hidup dan tidak berhak untuk menjuai atau memberikan tanah-tanah tersebut kepada orang lain; dengan demikian penghibahan tanah-tanah itu kepada tergugat adalah tidak sah dan harus dibatalkan.
Akan tetapi karena tergugat adalah janda dan almarhum Wangsasemita, Pengadilan Negeri menganggap adil apabila tergugat mendapat bagian sekedar untuk penghasilan selama hidup.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-4-1976 No. 988 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : Ny Iroh alias Nyi Wangsasemita Iawan 1. Sastra bin Bayar 2. Rasta bin Tardjan dkk.
dengan Susunan Majelis 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. R.Z. Asikin Kusumah Armadja SH; 3. D.H. Lumbanradja SH.
49. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Bojonegoro.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat di seluruh Indonesia, seorang janda perempuan merupakan akhli waris terhadap barang asal dari suaminya dalam arti, bahwa sekurang-kurangnya dari barang-barang asal itu sebagian harus tetap di tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah Indonesia di samping ketentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan amat banyak harganya, janda berhak atas bagian warisan seperti seorang anak kandung.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-1-1960 No. 302 K/Sip/1960.
Dalam Perkara : : Asih lawan Tami.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. Wirjo Kusumo.
Kaidah/Pertimbangan Hukum di atas diterapkan pula antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-11-1968 No. 359 K/Sip/1960 mengenai perkara dari daerah Klaten.
50. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Jogyakarta.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Dalam hal seorang yang tidak mempunyai anak meninggal, barang-barang tinggalannya diwaris oleh jandanya; maka janda itu berwenang untuk menjual barang-barang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5 - 3 - 1963 No. 70 K/Sip/1963.
Dalam Perkara : : Bok Karijopawiro alias Triginah lawan Bok Suposentono alias Karsinah.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. M. Abdurrachman SH.
51. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Kudus.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Bahwa di daenah Kudus, meskipun pada umumnya penduduk memeluk
Agama Islam, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa penduduk itu tunduk seluruhnya pada Hukum Islam, sebab hukum Adat masih mempunyai pengaruh yang amat besar; di daerah Kudus pengaruh hukum Adat dalam pembagian harta peningalan ternyata Dalam Perkara ini dari besarnya bagian-bagian yang disediakan untuk janda Chajati dan satu-satunya akhli waris, Masjuni.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-5-1963 No. 163 K/Sip/1963.
Dalam Perkara :: Abdulhadi dkk. lawan Yausi dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. R. Soekardono SH; 3. R. Wirjono Kusuma SH.
52. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Banjarnegara.
Kedudukan balu terhadap warisan isteri.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Pengadilan Negeri telah dengan tepat memutuskan: bahwa penggugat, turut tergugat I dan turut tergugat II (kalau masih hidup) bersama adalah ahli waris dari alm. Bok Soepinah; menghukum tergugat untuk menyerahkan kepada penggugat: seluruh barang-barang asalnya Soepinah dan ½ bagian daripada barang-barang gono-gini. (tergugat adalah janda laki-laki daripada alm. yang kini sudah beristri lagi; penggugat dan turut tergugat I adalah bibi-bibi daripada alm; turut tergugat II, -kalau masih hidup-, adalah adik dari alm.)
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-9-1975 No. 829 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : Martanom lawan Ratem al. B. Moertama dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
53. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Purbalingga:
Kedudukan balu terhadap warisan istri.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Oleh karena Ki Madardji kini telah kawin lagi, seharusnya barang-barang sengketa dipecah menjadi dua bagian, yaitu: barang asal almarhum isterinya Ni Kamsijah dikembalikan kepada orang tua Ni Kamsijah, sedang barang-barang gono-gini dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak menerimanya dengan masing-masing mendapatkan bagian sebagai berikut:
a. Ki Madardji (tergugat-pembanding) mendapat ½ bagian;
b. sedang yang ½ bagian lagi untuk para ahli waris dari almarhum Ni Kamsijah (i.c. saudara-saudara almarhum).
Oleh Pengadilan Negeri dipertimbangkan mengenai barang-barang gono¬-gini itu sebagai berikut:
bahwa pada saat ini tergugat dengan keluarganya yang baru hanya bertempat tinggal dalam rumah tersengketa dan tidak ada rumah tempat tinggal yang lain.
bahwa tidak layak atau tidak adil kalau rumah tersengketa (gono-gini) sekarang harus dibagi waris, kecuali kalau tergugat telah meninggal dunia atau telah memiiki rumah tinggal yang lain.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-11-1975 No. 627 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : : Ki Madardji alias Samsi lawan 1. Mantaredja alias Bawin; 2. Martawirodji alias Blaur dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. D.H. Lumbanradja SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
54. IX. .5.1. Hukum Adat di daerah BIitar.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Seorang janda bila ia memerlukan untuk penghidupannya dapat menguasai barang-barang tinggalan mendiang suaminya selama hidup dan tidak kawin lagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-10-1960 No. 307 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Sukinah alias Bok Modo Wongsokarim lawan Tono dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. R. Wirjono Kusumo SH.
55. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Temanggung.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Janda cerai mempunyai hak sama dengan janda mati terhadap barang¬barang peninggalan suaminya yang belum dibagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-8-1972 No. 140 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: 1. Mertowidjojo, 2. Parawi, 3. Bok Manisi lawan 1. Bok Mertoduijo nik Gandik, 2. Soedar dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. D.H. Lumbanradja SH; 3. Indroharto SH.
56. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Tulungagung.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda dengan 5 orang anak, yang menjadi akhli warisnya adalah janda dan kelima orang anak itu dengan masing-masing berhak atas bagian yang sama dari harta warisan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-6-1961 No. 140 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Mukajat lawan Katijan.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. R. Soekardo¬no SH; 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
57. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Demak.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah, dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan janda tanpa ada anak, janda itu berhak mempunyai seluruh harta gono-gini dengan tidak perlu dipertimbangkan hal cukup tidaknya harta tersebut bagi kehidupan janda.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-10-1958 No. 298 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Surani dkk. lawan Bok Moeminah dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH.; 2. R. Soekardo¬no S.H.; 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
58. IX. 5.1. Hukum Adat Orang-orang Sunda di daerah Jakarta.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat Sunda dalam hal seorang isteri suaminya meninggal, ia berhak atas separoh dari harga gono-gininya dengan almarhum suaminya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-1-1959 No. 2 K/Sip./1959.
Dalam Perkara :: Nyi Djuminah Iawan Tuty Murtikah dkk.
59. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Pekalongan.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah, janda dan anak-anak sebagai keseluruhan berhak akan harta peninggalan almarhum suami/orang tua; maka Jan¬da adalah akhli waris dari marhum suaminya, walaupun janda itu tidak selalu mendapat bagian tertentu dari harta warisan, melainkan hanya sekedar cukup untuk melanjutkan hidup.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-4-1960 No. 110 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Sinuh lawan Bok SUkijah dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro S.; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. Mr. M. Abdurrachman.
60. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Jombang.
Kedudukan Janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat selama janda masih hidup dan belum kawin lagi barang-barang gono-gini yang dipegangnya serta perlu guna untuk menjamin pengbidupannya, tidak dapat dibagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-6-1959 No. 187 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Noerjati dkk. lawan Djati alias Bok Somodihardjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, 2. Mr. Abdul Hakim; 3. Mr. M. Abdurrachman.
61. IX. 5.1. Hukum Adat di daerah Tuban.
Kedudukan balu terhadap warisan isteri.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Penghibahan tanah gono-gini yang dilakukan oleh janda laki-laki menurut cara-cara yang ditentukan oleh hukum adat adalah sah.
Terhadap barang-barang asal almarhum isterinya janda laki-laki hanya ada hak menguasai dan menikmati hasilnya selama hidup atau sampai ia kawin lagi; Ãa tidak berhak untuk mengoperkan hak atas barang-barang tersebut kepada orang lain.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-11-1975 No. 214 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Djoenari 2. Chaeroeman lawan 1. Isminah, 2. Kindar.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH.; 2. DH. Lumbanradja SH.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
62. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Bandung.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda dan tiga orang anak, keempat-empatnya berhak atas harta warisan almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-11-1957 No. 130 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: 1. Dokter Raden Mas Soehirman Erwinn, 2. Drs. R. M.E. Soeratman Erwin lawan R.M.G. Husni Erwin.
63. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Kediri.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan dua orang isteri yang dengan isteri pertama ia mempunyai seorang anak laki-laki, dengan isteri kedua seorang anak perempuan, barang-barang peninggalannya yang merupakan barang asal dibagi antara kedua janda dan kedua anak tersebut dengan masing-masing mendapat ¼ bagian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-7-1963 No. 26 K/Sip/1963.
Dalam Perkara :: Dinen alias Bok Hartoredjo lawan Srinatoen.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. M. Abdurrachman SH.
64. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Klaten.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Bahwa barang-barang gono-gini yang dipegang oleh seorang janda tidak dapat dibagi-bagi guna menjamin kehidupannya selama dia belum kawin lagi tidak berlaku secara mutlak tetapi dapat di kesampingkan atas persetujuan pihak-pihak (janda dan akhli waris lainnya) sebagaimana Dalam Perkara ini, dalam mana tidak terbukti adanya paksaan tetapi dilakukan dengan suka rela.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3 Januari 1973 No. 441 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: Ny. Martosoehardjo al. Sitidjoewarsih lawan 1. Ny. Mardjosoewignya, 2. Slamet Wirjohardjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH.; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
65. IX.5.l. Hukum Adat di daerah Klaten.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan dua orang isteri dengan masing-masing seorang anak, harta gono¬-gininya dengan isteri kedua jatuh pada isteri ini beserta anaknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-9-1958 No. 248 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Mitrohardjono lawan Bok Gunowirjono alias Sinijem.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Sutan Kali Malikul Alil; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
66. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat Batak di daerah Padangsidempuan, janda mempunyai “hak memakai” seumur hidup terhadap harta mendiang suaminya selama harta itu diperlukan untuk kehidupannya (vruchtgebruik).
Dengan adanya hak memakai itu, janda itu ada hak “menuntut” terhadap barang-barang mendiang suaminya yang dikuasai orang lain agar diserahkan kembali kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-10-1958 No. 54 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Rawijah Dalimunthe lawan Bulan Dalimunthe (pr.).
67. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan
Kedudukan janda terhadap warisan suami
Hukum Adat di daerah Tapanuli mengenai hak mewaris dari pada janda dan pengampuan atas anak-anak yang belum dewasa pada waktu sekarang ini dapat dikatakan sebagai berikut :
1. Bahwa setelah suami meninggal yang berhak mewaris harta pencaharian ialah isteri beserta anak-anak;
2. Bahwa oleh karena ibu dipandang dapat lebih baik mengurus kepentingan--kepentingan anaknya dari pada siapapun juga, maka setelah bapak meninggal lebih tepat kalau anak-anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu.
3. Oleh karena anak-anak ada dalam pengampuan ibu, maka berhaklah ibu itu untuk menguasai dan mengurusi harta kekayaan sianak yang diperoleh sebagai warisan dari mendiang ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-1-1959 No. 320 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Nisnan lawan Tamar Gelar Djamanis dkk.
68. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju kearah persamaan kedudukan antara peria dan wanita dan pengakuan janda sebagai akhli waris, Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami . dengan meninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, janda berhak atas separoh dari harta bersama sedang sisanya dibagi sama antara janda dan kedua anaknya, masing-masing mendapat sepertiga bagian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-6-1968 No. 100 K/Sip/1967.
Dalam Perkara :: Tangsi Bukit lawan Pengidahen br. Beliala dkk.
69. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Cakranegara / Mataram.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat Bali, dalam hal seseorang yang tidak mempunyai keturunan meninggal dengan meninggalkan dua orang janda dan seorang kakak perempuan yang belum kawin; kakak perempuan tersebut adalah satu-satunya akhli warisnya terhadap barang-barang aslinya dengan ketentuan, bahwa kepada janda-janda itu harus diberi “pesangu” sebanyak sepertiga dari harta warisan untuk “pengabenan” jenazah suaminya serta untuk memelihara dan membereskan keselu¬ruhan harta warisan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-11-1955 No. 90 K/Sip/1952.
Dalam Perkara :: Gusti Aju Wajan Rat Serbi lawan Gusti Aju Rentah dkk.
70. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Menado.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut adat kebiasaan daerah Minahasa apabila salah seorang dari suami¬isteri meninggal dunia, yang masih hidup berhak untuk memakai segala harta yang ada dan kalau Ia berkehendak untuk membagi-bagikannya kepada anak-anaknya, anak-anak yang mendapat bagian itu harus secara bergiliran menjamin nafkah hidup orang tua mereka (“kasih makan’).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-2-1976 No. 652 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Nende Pangetnanan Iawan Emma Rorah.
dengan Susunan Majelis : 1. lndroharto SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
71. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Cilacap.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah, seorang janda berhak untuk membagi-bagikan harta keluarga antara semua anak, asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-9-1959 No. 263 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Mardiardjo alias Sairun dkk. lawan Bok Sumustap alias Ngadinem dkk.
72. IX.5.1. Hukum Adat di daerah G a r u t.
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Aung:
Karena penjualan sawah tinggalan almarhum Sapii dilakukan oleh jandanya pada waktu anak-anaknya masih dibawah umur, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penjualan sawah tersebut dilakukan untuk keperluan pemeliharà an anak-anak ter-sebut sehingga jual beli yang bersangkutan dianggap sah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-1-1974 No. 622 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Bandi, Muhdi, dkk. lawan Adis (Haji Idris), Miharja (Hardjawidjaja) dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Indroharto SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
73. IX.5.1. Hukum Adat di daerah T a b a n a n.
Kedudukan balu terhadap warisan isteri.
Menurut hukum Adat di Bali (Tabanan) seorang laki-laki yang kawin “nyebu¬rin” yang setelah isterinya meninggal kawin lagi tanpa persetujuan akhli waris mendiang isterinya, dianggap telah menyalahi darmanya sebagai balu dan tidak berhak atas barang-barang peninggalan mendiang isterinya dan harus meninggalkan rumah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-7-1971 No. 358 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: I. Ketut Mindereg dkk. lawan Nang Rendi dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof R. Subekti SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
74. IX.5.1. Hukum Adat di daerah Negara (Bali).
Kedudukan janda terhadap warisan suami.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Penggugat I tidak dapat dinyatakan sebagai ahli waris harta warisan yang sah dari pada mendiang Pan Gandra, karena penggugat I adalah jandanya, sedang janda adalah bukan ahli waris.
Mendiang Pan Gandra berhak atas 1/6 bagian dari harta warisan mendiang Pan Rinten; bagian tersebut dipegang/dikuasai oleh jandanya (penggugat) I selama jandanya itu melakukan darmanya sebagai janda.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1975 No. 696 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Pan Norden lawam 1. Ni Nyoman Westi; 2. I. Ketut Mutren dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. Indroharto SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
75. IX.5.1. Hukum Adat di daerah B l i t a r.
Kedudukan balu terhadap warisan isterinya.
Jurisprudensi Mahkamah Agung tentang hak mewaris dari pada jandaitu adalah mengenai janda perempuan dan tidak ada judsprudensi Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa janda lelaki adalah akhli waris dari isterinya yang mening¬gal tanpa keturunan yang dilahirkan dalam perkawinannya dengan mendiang isterinya dan tanpa mempunyai keluarga keatas (orang tua) yang hidup.
Menurut judsprudensi Mahkamah Agung seorang isteri merupakan waris dari mendiang sauaminya itu dalam arti bahwa untuk keperluan hidupnya seorang isteri Iayak memperoleh bagian dari harta peninggalan suaminya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-7-1963 No. 45 K/Sip/1963.
Dalam Perkara :: Haji Achmad lawan Rukayah dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodukoro SH; 2. R. Soekardono SH; 3. R. Subekti SH.
76. IX. 6.5. Hukum Adat di daerah B I i t a r.
Pembatalan penentuan harta dengan wasiat.
Dalam hal seseorang sebelum meninggal telah membagikan barang-barang gawannya kepada anak-anak tertentu saja dengan tidak memberi bagian kepada anak-anaknya yang lain. dipandang pantas untuk ditetapkan agar barang-barang mendiang ayah tersebut dibagikan kepada semua anak, tetapi sebagai penghargaan atas hak seseorang terhadap barang-barang miliknya, bagian kepada anak-anak yang kurang disayangi, ialah mereka yang oleh mendiang tidak diberi bagian, ditetapkan separoh dari bagian anak-anak yang lebih disayangi, yaitu mereka yang telah diberi bagian oleh mendiang ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-3-1959 No. 393 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Masijan dkk. lawan Siroes alias Roesmi alias Bok Wagimin dkk.
77. IX.7. Hukum Adat di daerah Padang Panjang.
Kedudukan anak terhadap warisan orang twa.
Dalam perkembangan hukum Adat Minangkabau sekarang, harta kekayaan dibedakan dalam dua jenis, ialah harta pusaka dan harta pencaharian.
Harta pusaka tetap menjadi miik kaum masing-masing pihak; sedang harta pencaharian diturunkan kepada anak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-2-1969 No. 39 K/Sip/1968.
Dalam Perkara :: Pr. Kalek lawan Abdul flachman Gelar Datuk Mudo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sardjono SH; 3. Bustanul Arifin SH.
78. IX.7. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Kedudukan anak terhadap warisan ayah.
Kepada seorang anak perempuan patut diberikan bagian dari harta warisan peninggalan ayahnya berdasarkan adat Batak “Holeng ate” dengan memperhatikan kemajuan kedudukan dan hak-hak wanita ditanah Batak. (I.c. penggugat sebagai anak perempuan oleh Pengadilan Negeri ditetapkan mendapatkan bagian 1 pintu rumah berikut tanahnya; oleh Pengadilan Tinggi bagian penggugat ditambah menjadi 2½ pintu rumah beserta tanahnya).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-1-1968 No. 136 K/Sip/1967.
Dalam Perkara :: Salman (pr) lawan Haji Fahri dkk.
79. IX.7. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Kedudukan anak (laki-laki - perempuan) terhadap warisan orang tua.
Di daerah Tapanuli “pemberian dan penyerahan” kepada seorang anak perempuan merupakan “serah-lepas” dengan maksud memperlunak hukum Adat setempat di masa sebelum Perang Dunia II yang tidak mengakui hak mewaris bagi anak perempuan.
Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telah berkembang kearah pembedan hak yang sama kepada anak perempuan dan anak laki-laki.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-6-1971 No. 415 K/Sip/1970.
Dalam Perkara :: Usman dkk. lawan Marah Iman Nasution dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Z. Asikin Kusuma Atmadja SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
80. IX.7. Hukum Adat di daerah Pangkajene.
Kedudukan anak terhadap warisan ayah.
Harta bawaan seorang yang meninggal dengam meninggalkan 3 orang anak: seorang anak perempuan dari isteri pertama dan dua orang anak laki-laki dari isteri kedua, adilnya dibagi sama banyak antara ketiga anak tersebut.
Menurut putusan Pengadilan Tinggi anak dari isteri pertama mendapat ½ bagian sedang anak-anak dari isteri kedua masing-masing mendapat ¼ bagian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1973 No. 1164 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: Ni Ning lawan 1. Salihu; 2. Supu dan 1. Suara; 2. Sjamsi dan Genda.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH; 3. Bustanul Arifin SH
81. IX.7. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukan anak perempuan terhadap warisan orang tuanya.
Mahkamah Agung atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, menganggap sebagai hukum yang hidup diseluruh Indonesia, jadi juga ditanah Karo, bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai akhli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-10-1961 No. 179 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Langtewas dkk. lawan Benih Ginting.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. M. Mockandar.
82. IX.7. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukaa anak perempuan terhadap warisan orang tua.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena Ngesah Sembiring meninggal pada zaman Belanda, berdasarkan hukum waris yang berlaku pada saat itu tergugat I sebagai anak perempuan tidak merupakan ahli waris dan tanah-tanah terperkara harus diwaris oleh Matjak Sembiring sebagai anak Iaki-laki.
Setelah Matjak Sembiring meninggal pada tahun 1965, tanah-tanah tersebut, berdasarkan hukum waris baru, diwaris oleh janda dan anak kandungnya. (penggugat-penggugat).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-11-1975 No. 527 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Rumah br. Sembiring dkk. lawan Kema br. Karo dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
83. IX.7. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukaa soak perempuan terhadap warisan orang tua.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa seandainya terbukti bahwa kebun-kebun terperkara adalah milik ayah penggugat I Kema br. Purba, penggugat tidak berhak mewarisinya sebagai ahli waris, sebab Malem Purba meninggal sebelum perang dunia kedua, dimana pada waktu itu masih berlaku hukum waris adat lama yang belum memberi hak mewaris kepada anak perempuan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-1-1976 No. 485 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Djangka br. Ginting. Permal Ginting dkk. lawan Nekke Purba, Ngalih Purba dkk. dan Kema br. Purba.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. DR. Lumbanradja SH; 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH.
84. IX.7. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukan soal perempuan terhadap warisan orang tua.
Karena tidak dapat dibuktikan bahwa sawah sengketa diperoleh dalam perkawinan kesatu atau kedua, maka harus dianggap sebagai warisan dari almarhum ibu penggugat-asal dan tergugat asal yang belum dibagi. (penggugat-asal dan tergugat -asal adalah dari satu ibu lain bapak).
Pembagian warisan dalam penkara ini sekarang hams menurut hukum yang mengakui hak wanita sama dengan hak Ielaki dalam hukum warisan.
(peninggal warisan ialah ibu penggugat-asal/ibu tergugat-asal; meninggal pada zaman Jepang).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-3-1976 No. 707 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Inganmalem br Ginting lawan Timbangen Ginting Suka.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. Bustanul Arffin SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
85. IX.7. Hukum Adat di daerah Pematang Siantar.
Kedudukan soal perempuan terhadap warisan orang tua.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang anak perempuan, anak perempuan inilah yang merupakan satu-satunya akhli warisnya dan yang ber-hak atas harta yang ditinggalkannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-7-1973 No. Reg.1037K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: Rokkon Situmorang lawan ZeUs br Situmorang.
dengan susunan majeis: 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Indroharto SH; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
86. IX.7. Hukum Adat di daerah Denpasar.
Kedudukan anak perempuan terhadap warisan orang tua.
Hukum Adat wajib dipertahankan selama hukum itu tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusionil seorang warga negara Indonesia;
Karena U.U.D.R.I. menjamin kedudukan yang sama dalam hukum untuk semua warga negaranya, seorang wanita Bali berhak untuk menjual tanah hak warisannya tampa persetujuan saudaranya laki-laki.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-8-1973 No. 404 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: I. Gusti Ngurah Gde Kaleran lawan I. Güsti Made Gde Sepleg.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Bustanul Arifin SH.
87. IX.7. Hukum Adat di daerah Denpasar.
Kedudukan anak perempuan terhadap warisan orang tua.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi Denpasar (“seorang dehe tue tidak boleh memindah tangankan harta warisan tanpa persetujuan ahli waris kepurusa walaupun untuk tujuan yang luhur yaitu untuk mengabenkan leluhurnya”) hanya berlaku sebagai ketentuan umum, sedang kejadian dan penggugat untuk kasasi I/tergugat asal I ini adalah suatu pengecualian dari ketentuan itu yang dapat dibenarkan, lebih-leblh mengingat perkembangan zaman sekarang;
bahwa kenyataannya ialah
1. barang yang dljual telah atas namanya;
2. dilakukan dalam keadaan-keadaan yang dapat dibenarkan, yaitu untuk keperluan hidup dan untuk “ngaben” leluhur;
3. transaksi sudah terjadi, sehingga bagi pembeli yang tidak ternyata mempunyai itikad tidak baik akan sangat dirugikan kalau penjualan itu dianggap tldak sah dan tidak dilindungi hukum;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-5-1976 No. 405 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. I. Gusti Aju Made Oka Sepleng; 2. I Djedug lawan I Gusti Ngurah Gede Kaleran dan 1. I Budal; 2. I Kunen dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Indroharto SH; 3. Bustanul Arifin SH.
88. IX.7. Hukum Adat di daerah Tabanan.
Kedudukan soal terhadap warisan ayah.
Pertlmbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena terbukti tergugat tidak kawin nyentana kerumah Pan Rasa, hubungan waris antara tergugat dengan alm. Nang Bugi (ayah tergugat) tidak putus, tergugat berhak penuh mewarisi harta warisan almarhum.
Karena terbukti bahwa penggugat sudah sah menurut Adat “pekidih”/diangkat sentana oleh Men Sember, menurut hukum Adat waris Bali sudah putus hubungan waris antara penggugat dengan alm. Mang Budi.,
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-9-1975 No. 757 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Nang Kersi lawan Nang Suweta.
dengan Susunan Majelis : 1. DR. Lumbanradja SH; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH; 3. Indroharto SH.
89. IX.7. Hukum Adat di daerah M a t a r a m.
Kedudukan soal perempuan terhadap warisan orang tuanya.
Menurut hukum Adat Sasak (Lombok) seorang anak perempuan berhak atas pesangu maka oleh karenanya ia berhak untuk menebus sawah yang digadaikan oleh mendiang ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1958 No. 149 K/Sip/1954.
Dalam Perkara :: Inaq Minder lawan Amaq Mirai.
90. IX.7. Hukum Adat di daerah Singaraja.
Kedudukan anak laki-laki terhadap warisan ayahnya.
Menurut hukum Adat di Bali dalam hal seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah satu-satunya akhli warisnya dan oleh karena itu setelah ayah tersebut meninggal, hanya anak laki-laki itulah yang kalau ia sudah dewasa, berhak mengajukan gugatan mengenai warisan ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-6-1955 No. 53 K/Sip/1952.
Dalam Perkara :: I Wajan Ruma lawan Ni Ketut Kartini.
91. IX.7. Hukum Adat di daerah Pasemah Palembaog.
Kedudukan anak Iaki-laki tertua terhadap warisan orang tua.
Untuk menentukan bahwa hukum Adat setempat telah berubah dibutuhkan bukti berdasarkan kejadian dan keadaan, yang dari bukti tersebut tampak dengan nyata adanya perubahan yang bersangkutan, sepertinya hal warisan bagi anak laki¬-laki tertua ditanah Pasemah: Menurut Adat setempat anak laki-laki tertua itu bagian warisannya lebih banyak dari anak Iaki-laki yang lain; mungkin disana-sini ada terjadi pembagian warisan dengan tidak melebihkan anak laki-laki tertua, tetapi keadaan itu belumlah menunjukkan bahwa hukum Adat setempat perihal ini telah berubah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-1-1955 No. 7 K/Sip/1953.
Dalam Perkara :: Rohi bin Selakir lawan Tjlk Amin bin Djenakir.
92. IX.7. Hukum Adat di daerah Tanjungkarang.
Kedudukan anak terhadap warisan orang tua.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Meskipun almarhum Djuragan kawin semendo dengan ibu tergugat, penggugat adalah ahli waris maka berhak atas harta peninggalan almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-1-1976 No. 455 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Munasir; 2. Dali lawan Zaini bin Djuragan.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
93. IX.7. Hukum Adat di daerah Karangasem.
Kedudukan anak perempuan terhadap warisan orang tua.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Andaikatapun terbukti tergugat I-terbanding telah “mulih daha”, hal ini tidak¬lah berarti bahwa tergugat I-terbanding berhak mewaris dari ayahnya mendiang I Payu tersebut.
(Pertimbangan Pengadilan Negeri dalam hal ini: - Menurut adat “mulih daha” dikabupaten Karangasem, perempuan yang cerai, lalu diterima kembali oleh orang tuanya/keturunan purusa dari orang tuanya, is berhak menerima bagian warisan orang tuanya sebagai layaknya ketika belum kawin. Terhadap kandungan yang dibawanya, apabila dilahirkan hidup memperoleh hak bagian ibunya).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-1-1976 No. 140 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: 1. Ni Tanjung al.Ni Bukit; 2. Bukit al I Dana lawan INgayus
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. Samsudini Aboebakar SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
94. IX.8. Hukum Adat di daerah Klaten.
Kedudukan anak angkat mengenai warisan orang tua angkat.
Menurut hukum Adat yang berlaku seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak waris pada saudara orang tua angkatnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-1-1973 No. 441 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: Ny. Martosoehardjo al Sitidjoewarsih lawan I. Ny. Hardjosoewignya; 2. Slamet Wirjorahardjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Indroharto SH; 3. DH. Lum-banradja SH.
95. IX.8. Hukum Adat di daerah Surakarta.
Kedudukan anak angkat terhadap warisan orang tua angkatnya.
Menurut hukum Adat di Jawa Tengah seorang anak angkat tidak berhak atas barang tinggalan orang tua angkatnya yang bukan gono-gini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-7-1961 No. 384 K/Sip/1961.
Dalam Perkara: Ny. Soedinem Wignyosoesastro lawan Sastrowirono.
dengan Susunan Majelis : I. Mr. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Subekti; 3. Mr. Wirjono Kusumo.
Kaidah/Pertimbangan Hukum diatas diterapkan pula a.l. dalam Putusan Mahkamah Agung tgl 15-7-1959 No. 182 K/Sip/1959 mengenai perkara, dari daerah Bojonegoro; Putusan tgl.18-3-1959 No. 37 K/Sip/1959 mengenai perkara dari daerah Bojonegoro.
96. IX.8. Hukum Adat di daerah Temangguag.
Kedudukan anak angkat mengenai warisan ayah angkat.
Harta peninggalan seorang yang meninggalkan dua orang janda dan seorang anak angkat adilnya dibagi antara ketiga akhli waris tersebut dengan masing-masing mendapat 1/3 bagian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-8-1972 No. 140 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: 1. Mertowidjojo; 2. Patawi; 3. Bok Manisi lawan 1. Bok Mertodirjo nk Gandik; 2. Soedar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. DR. Lumbanradja SH; 3. Indroharto SH.
97. IX.8. Hukum Adat di daerah Banyuwangi.
Kedudukan anak angkat mengenai warisan orang tua angkatnya.
Tergugat-tergugat sebagai anak angkat almarhum Pak Djajadi berhak atas harta bersama suami-isteri Pak Djajadi (dengan Aspoepah) dan berhak pula atas barang bawaan almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-7-1973 No. 997 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: 1. Djamalah; 2. Soewardi Harijanto Iawan Oesman.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Soebekti SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Indroharto SH.
98. IX.8. Hukum Adat didaerah Temanggung.
Kedudukan anak angkat terhadap warisan oraag tua angkatnya.
Seorang anak angkat berhak mewaris barang asal orang tua angkatnya yang diperoleh karena usahanya sendiri, dengan tidak perlu dibagi dengan (mengikut sertakan) akhli-akhli waris kesamping.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-9-1969 No. 679 K/Sip/1968.
Dalam Perkara :: Akhli waris alm. Hardjohoedojo uk Dulah Si’in lawan R. Prawoto.
99. IX.8. Hukum Adat di daerah B a n d u n g.
Kedudukan anak angkat terhadap warisan orang tua angkat.
Menurut hukum Adat Periangan seorang anak kukut atau anak angkat tidak dapat mewarisi barang-barang pusaka (asli) dari orang tua angkatnya; barang-barang pusaka itu hanya dapat diwaris oleh akhli waris keturunan darah (Dalam Perkara ini saudara-saudara) dan yang meninggal.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-5-1958 No. 82 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: Nyi Mas Rockmini alias Epon lawan Nyi Mas Umara dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. H.M. Tirtaamidjaja; 3. Mr. R. Soekardono.
100. IX.8. Hukum Adat di daerah Tebing Tinggi Deli.
Kedudukan anak angkat terhadap warisan orang tua angkatnya.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut hukum Adat di Sumatera Tirnur, anak angkat tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. ia hanya berhak atas barang-barang yang telah dihadiahkan/dihibahkan kepadanya oleh orang tua angkatnya semasa hidup.
Putusan Mahkamah Agung : No. 416 K/Sip/1968.
Dalam Perkara :: Wan Matniah lawan Pr. Saidah.
dengan susunan majeis: 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sardjono SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H..
101. IX.14. Hukum Adat Bali.
Hak waris dari saudara.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung :
bahwa mendiang I Ketut Rai terbukti sah sentana mendiang Pan Sutri;
bahwa penggugat, Ni Kompiang, terbukti adalah anak kandung mendiang Fan Sutri. yang dikawin keceburin oleh Pan Rudji dan adalah sentana rajeg;
bahwa dengan demlkian penggugat adalah satu-satunya akhli waris dari mendiang I Ketut Rai;
bahwa terbukti tanah cidera adalah harta guna kaya antara tergugat dan mendang I Ketut Rai;
bahwa dengan meninggalnya I Ketut Rai separoh dari harta guna kaya, yaitu tanah cidera, yang menjadi hak mendiang harus diwaris oleh saudaranya, yaitu penggugat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-1-1974 No. 930 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Pupang lawan Ni Kompiang alias Men Rudji.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Bustanul Arifin SH.
102. IX.14. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Kedudukan saudara dalam hal warisan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Tergugat-tergugat sebagai anak dari Rehullina, lebih berhak menerima warisan Malap Ginting dari pada penggugat-penggugat, sebab:
Rehullina adalah saudara perempuan dari pada Malap Ginting (yang tidak mempunyai anak); Penggugat-penggugat benar semarga dengan Malap Ginting, tetapi perhubungan darahnya sudah jauh, yaitu tidak kurang dari 7 drajat;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-2-1975 No. 186 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Pagit Ginting lawan Munthe br Kano; Gading Bangun; Kampung Bangun.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
103. IX.14. Hukum Adat di daerah Sungai Penuh.
Hak mewarisi dari keturunan tingkat 3.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa harta sengketa adalah asal dari Pr. Selang;
bahwa sekiranya almarhum Mat Ganja (soak ketiga dari Selang dan kakek para tergugat) ikut berhak atas harta sengketa karena diterima dari ibunya;
para tergugat masih belum dapat menuntutnya karena akhli waris yang leblh dekat masih hidup, ialah penggugat-penggugat (penggugat I adalah anak dari Pr. Ti¬mah Hitam, anak perempuan dari Selang; penggugat II adalah anak dari Meh Zang¬guh, juga anak dari Selang).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-3-1973 No. 1122 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: 1. Sapi bin Haji Seman; 2. Kodrat dkk. lawan 1. Mat Pintak gelar Iman Gedung; 2. Mat Kandung dkk.
dengan susunan majeiis: 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. Indroharto SH; 3. Bustanul Arifin SH.
104. IX.14. Hukum Adat di daerah M a k a s s a r.
Hukum waris yang berlaku.
Mahkamah Agung menganggap sebagai hal yang nyata diseluruh Indonesia bahwa dalam hal warisan pada hakekatnya berlaku Hukum Adat, yang didaerah dengan pengaruh Agarna Islam yang kuat sedikit banyak mengandung unsur-unsur hukum Islam.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-9-1960 No. 190 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Haji Junus Daeng Ngopp dkk. lawan Hamzah Daeng Tarku dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr.R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr.R. Soekardono; 3. Mr. M. Abdurrachman.
105. IX.14. Hukum Adat di daerah J a k a r t a.
Hukum waris yang berlaku.
Karena tidak terbukti bahwa dalam hal warisan disini (daerah Jakarta) hukum Islam telah diterima dalam hukum Adat, dalam hal ini harus diperlakukan hukum Adat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-11-1956 No. 51 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Pr. Gijem lawan Samidjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Mn. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Sutan Kali Malikul Adil 3. Mr. R. Soekardono.
106. IX.14. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Hukum Adat yang diperlakukan.
Hukum Adat yang harus diperlakukan adalah hukum Adat yang berlaku pada saat dilakukan pembagian warisan jadi hukum Adat yang berlaku pada dewasa ini, bukannya hukum Adat yang berlaku sewaktu meninggalnya orang yang meninggalkan warisan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-2-1971 No. 782 K/Sip/1970.
Dalam Perkara :: Ndjajam br Sinulingga lawan Mujung br Meliala.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Busthanul Arifin SH.
107. IX.14. Hukum Adat di daerah Aceh.
Hukum waris yang berlaku.
Di daerah Aceh sebelum perkara mengenai hak milk antara para akhli waris dapat diperiksa oleh Pengadilan Umum haruslah diputus terlebih dahulu ke akhli warisannya serta bagian-bagian yang menjadi hak dan masing-masing akhli waris oleh Pengadilan Agama (berdasarkan P.P. No. 45/1957).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-11-1974 No. 1130 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: 1. Pr. Tjut Meurah; 2. Said Kasim; 3. Pr. Sjarifah bt. Said Husam lawan 1. Habib Muhammad; 2. Pr. Tjut Adja Poetri.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
108. IX.14. Hukum Adat di daerah Nias.
Hukum waris yang berlaku.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dldengar tentang hukum/kebiasaan yang berlaku, maka apabila seorang pewaris meninggal dunia di kampung Hinako kabupaten Nias, untuk menentukan cara pembagian harta warisannya, hukum warisan yang dipakai adalah bertitik tolak kepada Agama yang dianut oleh sipewaris yang meninggalkan harta warisan tersebut, yakni apabila sipewaris yang meninggal beragama Islam, maka pembagian hartanya dilakukan menurut hukum Islam dan apabila sipewaris yang meninggal beragama Kristen, maka pembagian hartanya dilakukan menurut Adat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-2-1975 No. 172 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: 1. Asainudin Marunduri; 2. Fangoya Marunduri dkk. lawan 1. Asali Maruhawan; 2. Zamalia Marunduri.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Samsudin Abubakar SH; 3. Sri Widojati Wiratino Soekito SH.
109. IX.14. Hukum Adat di daerah Watampone.
Hukum waris yang berlaku.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena petitum ke-2 dari surat gugat mengenai waris malwaris yang tidak termasuk wewenang Pengadilan Umum untuk menentukannya, permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1975 No. 295 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Abd. Hamid lawan 1. Katile; 2. Madolanggeng dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. Indroharto SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
110. IX.14. Hukum Adat di daerah Pare-pare.
Hukum waris yang berlaku.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung
Karena di daerah Kabupaten Pare-pare, khususnya di daerah tempat tinggal kedua pihak, perihal warisan Hukum Islam sangat kuat dan nyata pengaruhnya dikalangan mereka yang beragama Islam, berdasarkan P.P. No. 45/1957 penentuan siapa-siapa yang menjadi akhli waris dan beberapa bagian masing-masing akhli waris adalah wewenang Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-10-1972 No. 360 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: La Ibu lawan Mampe Cs.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH; 2. Bustanul Adfin SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
111. IX.14. Hukum Adat di daerah T u b a n.
Penuntutan Warisan
Tuntutan mengenai warisan tidak dapat kadaluwarsa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-3-1960 No. 6 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Soedjak dkk. lawan Muslimah dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
112. IX.14. Hukum Adat di daerah Blitar.
Cara pembagian warisan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Orang yang hendak memberi bagian harta kepada ahli warisnya dapat melakukannya secara lesan ataupun secara tertulis; tidak ada bentuk yang tertentu untuk itu; pembedan bagian itu harus diberitahukan kepada yang akan menerimanya dengan dihadiri oleh saksi-saksi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 817 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Rabijo lawan 1. Djokarmidi; 2. Tumiran dan 1. Somo Saimin; 2. Karnoto dkk.
dcngan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH: 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Bustanul Arifin SH.
113. IX.14. Hukum Adat di daerah Malang.
Cara pembagian warisan.
Dalam hukum Adat pada pembagian warisan tidak perlu bagian masing-masing akhli waris ditetapkan dalam imbangan-imbangan yang tertentu, diutarakan dengan angka-angka pecahan (breuken), seperti halnya pada pembagian warisan menurut hukum Eropah berdasarkan B.W.
Selain itu Pengadilan dapat memutuskan supaya pembagian itu dilakukan in natura.
Putusan Mahkamah Agung : tgl., 19-4-1961 No. 64 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Tasmoer Djokosoedarmo dkk. lawan Johmat alias Pak Kartinah dkk.
114. IX.14. Hukum Adat di daerah Tondano.
Cara pembagian warisan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Mengenai pembagian warisan almarhum pada tahun 1942 itu, sebelumnnya telah diumumkan oleh Pemerlntah Desa (plakat) beberapa hari berturut-turut dan tidak ada yang menyatakan keberatannya, sehingga dengan demikian pembagian tersebut dapat dinyatakan sah adanya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 783 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :; Hanoeh Liju lawan Herman Terok qq, Gerson Terok, dan Feky Liju, Weini Liju dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DR. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. Samsudin Aboebakar SH.
115. IX.14. Hukum Adat di daerah Yogyakarta.
Pemberian-pemberian semasa hidup.
Menurut hukum Adat, pemberian-pemberian yang merugikan akhli waris tidak diperkenankan, kecuali dengan persetujuan lebih dulu dari akhli waris yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-1-1963 No. 291 K/Sip/1962.
Dalam Perkara :: Bak Pudjosiswojo lawan Jatiman.
dengan susunan majeis: 1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. R. Soekardono SH; 3. Sutan Abdul Hakim SH.
116. IX.14. Hukum Adat di daerah L a m o n g a n.
Penghibahan kepada bukan akhli waris.
Menurut hukum Adat di Jawa penghibahan kepada orang lain bukan akhli waris dibolehkan asal penghibahan tersebut tidak merupakan pencabutan hak mewaris bagi akhli waris yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-3-1959 No. 391 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Karnadi lawan Klumpuk dkk.
117. IX.14. Hukum Adat di daerah Blitar.
Pencabutan hak waris.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Saudara laki-laki boleh dicabut hak warisnya tetapi keturunan dari yang meninggal tidak (i.e. yang meninggal mempunyai dua orang saudara dan seorang anak tiri; tidak mempunyai anak sendiri; barang-barang tersengketa A dan B telah dihibahkan kepada penggugat-penggugat, ialah - seorang keponakan dan anak tiri tersebut; penghibahan ini oleh Pengadilan Negeri dianggap sah).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 817 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Rabijo lawan 1. Djokarmidi; 2. Tumiran dan 1. Somo Saimin; 2. Karnoto dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH; 3. Bustanul Arifin SH.
118. IX.14. Hukum Adat di daerah L a an o n g a n.
Penggantian kedudukan akhli waris yang telah meninggal Iebih dulu.
Menurut hukum Adat di Jawa yang berhak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan (plaats-vervulling) seorang akhli waris yang lebih dulu meninggal dunia dan pada orang yang meninggalkan warisan hanya keturunannya dalam garis menurun (afstammelingen in de nederdalende linie), sedang isteri/suaminya tidak berhak menggantikannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-3-1959 No. 391 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Karnadi lawan Klumpuk dkk.
119. IX.14. Hukum Adat di daerah D e m a k.
Bagian akhli waris yang meninggal sebelum pembagian warisan.
Dalam hal seorang anak yang telah beristeri meninggal sebelum harta warisan mendiang orang tuanya dibagi waris, janda dari pada anak tersebut, selama hidup dan tidak kawin lagi, berhak atas barang-barang warisan yang menjadi bagian mendiang suaminya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-12-196 1 No. 301 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Soeripah dkk. lawan Kasmilah.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Subekti SH; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
120. IX.14. Hukum Adat di daerah P e m a I a n g.
Pembagian warisan antara janda dan anak tiri.
Dalam hal seorang lelaki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang janda dan seorang anak perempuan dari perkawinan dengan isteri lain, janda dan anak itu bersama-sama berhak atas barang-barang warisan yang merupakan barang-barang asal (bukan gono-gini) masing-masing untuk separoh dengan pengertian bahwa si anak tidak boleh minta pembagian barang-barang warisan itu selama janda masih hidup dan belum kawin Iagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1 -2- 1961 No. 13 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Raden Aju Soekirman lawan Raden Aju Suwiknyo.
dengan Susunan Majelis :1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. Sutan Abdul hakim SH; 3. R. Wirjono Kusumo SH.
121. IX.14. Hukum Adat daerah Praya, L o m b o k.
Pembagian warisan antara janda, anak laki-laki dan anak perempuan.
Menurut hukum Adat Sasak di Lombok, dalam hal seorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda, tiga anak laki-laki dan enam anak perempuan;
Janda tersebut berhak atas sepertiga bagian dari barang gono-gini ditambah seperdelapan dan sisanya.
Sisanya dibagi antara anak-anak dengan imbangan anak laki-laki mendapat dua kali anak perempuan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14 - 4 - 1956 No. 24 K/Sip/1953.
Dalam Perkara :: Haji Siradjudin lawan haji Halimah.
122. IX.14. Hukum Adat di daerah B a n g i l.
Pernbagian warisan antara janda dan anak-anak tirinya.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda (isteri yang kedua) dan tiga orang anak (satu orang anak Iaki-laki dan dua orang anak perempuan) yang lahir dari mendiang isteri yang pertama;
Barang-barang gono-gininya dengan isteri kedua ini dibagi sebagai berikut:
yang separoh adalah untuk janda tersebut sebagai haknya atas barang gono-gini sisanya dibagi sama rata antara janda dan ketiga anak tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23 - 5 - 1962 No. 97 K/Sip/1962.
Dalam Perkara :: Mohammad Supardi dkk. lawan Murti.
dengan Susunan Majelis ; 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
123. IX.14. Hukum Adat di daerah P e m a l a n g.
Hak mewaris daripada akhli waris dalam garis ke atas.
Tentang pembagian warisan kepada akhli waris dalam garis keatas tergantung kepada keyakinan hukum anggauta-anggauta masyarakat yang bersangkutan, yang hal ini dapat dilihat dari adat kebiasaan mereka itu.
i.e. Penggugat-penggugat menuntut rumah dan sewa rumah tinggalan mendiang cucu mereka yang didapatkan oleh cucu itu dan mendiang ayahnya, ialah anak para penggugat, yang kini dihaki sendiri oleh tergugat, yaitu ibu cucu tersebut;
Oleh Mahkamah Agung diputuskan bahwa barang-barang tersebut harus dibagi dua separo untuk tergugat (ibu yang meninggal) dan separo untuk para penggugat (kakek dan nenek yang meninggal).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10 - 10 -1 959 No. 141 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: haji Kusen, Bok Haji Patmah, lawan Bok Witri.
124. IX.14. Hukum Adat di daerah Bukittinggi.
Harta pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi tidak dapat diwakafkan tanpa persetujuan semua akhli waris.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23 -4 -1973 No. 1045 K/Sip/1971.
Dalam Perkara : : Jasfinur gelar Datuk Maradjo Nani lawan Muchtar Said gelar Sutan Radja Kumbang/ Sykur gelar Dato Mangkuto Maradja dkk.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti SH.; 2. D.H. Lumbanradja SH.; 3. Busthanul Arifin S.H.
HAK - HAK ATAS TANAH.
125. X.1. Hukum Adat di daerah Tapanuli Utara.
Hak membuka tanah.
Menurut hukum Adat di Tapanuli Utara, dalam hak bendar berpindah aliran sehingga mengalini sawah seseorang, orang ini berhak untuk terlebih dulu mendapat ganti tanah dan bekas bendar lama seluas tanahnya yang terkena aliran bendar baru/ selanjutnya tanah bekas bendar lama dibagi sama antara pemilik¬pemilik sawah yang berdampingan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 - 10 - 1958 No. 5 K/Sip/1058.
Dalam Perkara : : Alexander marga Pandjaitan lawan Soning marga Sitorus.
126. X.2. Hukum Adat di daerah Purbalingga.
hak desa atas tanah.
Penunjukan “pekulen” adalah hak semata-mata dari Rapat Desa yang diberikan kepadanya oleh hukum Adat; Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk meninjau benar tidaknya putusan Desa mengenai tanah pekulen.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18 - 10 - 1958 No. 301 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: 1. Saminah; 2. Lurah Desa lawan Buang alias Setrawiradji.
127. X2. Hukum Adat di daerah K l a t e n.
Hak desa atas tanah.
Menurut hukum Adat setempat untuk sahnya pemindahan tangan mengena tanah “sanggan” diperlukan adanya keputusan desa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-3-1960 No. 65 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Ngirhanto lawan Bok Kromotaruno alias Ngadiyah.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. M.H. Tirtaamidjaja S.H.; 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
128. X.2. Hukum Adat di daerah Klaten.
Hak desa atas tanah.
Di daerah Klaten sawah sanggan yang kulinya meninggal, jatuh kembali pada desa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-9-1958 No. 248 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Mitrohardjono lawan Bok GoenoWirjono alias Sanijem.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
129. X.2. Hukum Adat di daerah Lamongan.
Hak desa atas tanah.
Orang yang rnendapat tanah dan desa atas dasar meminjam, dapat mengalih¬kan hak meminjam ini kepada orang lain apabila ada perstujuan dan desa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-9-1956 No. 39 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Desa Sukorejo Iawan Narjo alias Pak Moehamad.
130. X.2. Hukum Adat di daerah Tapanuli Utara.
Hak desa atas tanah.
Yang berhak atas huta (kampung) adalah penduduk huta seluruhnya dalam bentuk persekutuan hukum dan dalam hal terjadi perampasan hak atas tanah huta, huta inilah yang berhak menuntut, bukannya penduduk perorangan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-8-1960 No. 239 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Rasian marga Sihaloho Parhambing lawan Gompul alias Abaginda marga Sihaloho Parlombu.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim SH.; 3. R. Subekti S.H.
131. X.2. Hukum Adat di daerah Ambon.
Hak persekutuan hukum atas tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Menurut peraturan hukum adat di daerah ini seorang bukan anak dati tidak berhak “makan dati” dari suatu dusun dati kecuali dengan persetujuan ke¬pala dati dan anak-anak dati dari dati yang bersangkutan.
Tanaman yang juga disebut pusaka dati diwariskan kepada anak-cucu dati anak dati yang mengusahakannya, akan tetapi jika ia tidak mempunyai keturunan, bi¬la Ia meninggal tanaman tersebut diwariskan kepada anak-anak dati lainnya, selaku akhli warisnya yang sah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-12-1975 No. 361 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Everadus Tuhumena lawan 1. Kurinus Kakisina; dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH.; 2. D.H. Lumbanra¬dja SH.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
132. X.2. Hukum Adat di daerah Ambon.
Hak desa atas tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut hukum Adat di Portho bila seorang Kepala Dati meninggal dengan tldak mempunyai anak (keturunan), dusun-dusun dati tinggalannya jatuh/dikuasai kembali kepada negeri; kemudian Pemerintah Negeri dapat menyerahkan dusun-dusun itu kepada orang lain yang mengajukan permohonan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-5-1975 No. 1143 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Johanis Latuihamallo. 2. Agusthinus Latuihamallo, dkk lawan 1. Jacobis Latuihamallo. 2. Johan Latuihamallo. dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr R. Santoso Poedjosoebroto SH.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.; 3. BRM. NG. Hanindyopoetro Sosropranoto SH.
133. X.3. Hak milik atas tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung:
Dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak hapus.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-8-1973 No. 79 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Satawi alias Bok Sitti. 2. Ahliwaris-ahliwaris alm. Sitti al. Bok Manilem lawan Sarkajan alias Pak Sarnanten.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti S.H. 2. Indroharto SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
134. X.3. Hukum Adat di daerah Boyolali:
Hak milik atas tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena ternyata bahwa sejak dulu hingga sekarang yang menggarap dan membayar pajak tanah tersebut adalah penggugat dan tergugat hanyalah semata-mata yang memikul stat, tergugat bukanlah pemilik dari pada tanah itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-11-1975 No. 252 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Martodikromo alias Senen lawan B. Martosetiko al. Surip.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santaso Poodjosoebroto SH. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Bustanul Arifin SH..
135. X.3. Hukum Adat di daerah Batak Karo.
Hak milik atas tanah.
Orang yang termasuk golongan “bangsa tanah” (i.c. tergugat dalam kasasi Se-bagai penghulu termasuk “bangsa tanah’) yang menguasai sebidang tanah “kesain” yang semula merupakan tanah kosong, setelah tanah tersebut tidak kosong lagi menjadi pemiik dart tanah “kesain” tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-2-1959 No. 59 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Hadji Husin, P. Tambun, lawan Lewas Purba.
136. X.5. Hukum Adat di daerah Lamongan.
Hak menggarap tanah desa.
Hak memakai tanah desa yang oleh desa dipinjamkan kepada seseorang dengan kewajiban mengembalikan apabila desa memerlukannya, dapat diwaris oleh akhli warisnya dengan kewajiban yang sama.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-1-1957 No. 30 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Desa Soekoredjo Iawan Redjo alias Pak Srijani.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
137. Hukum Adat di daerah Lamongan.
Tanah “gogolan”.
Tanah “gogolan” di desa Sukoredjo hanya dapat dihaki oleh orang-orang yang berdiam di desa itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-10-1956 No. 32 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Desa Sukoredjo lawan Kasim alias Pak Kasih.
138. X.5. Hukum Adat di daerah Klaten.
Hak “gaduh”.
Orang yang “menggaduh” (memakai) tanah desa berhak untuk menghibahkan hak gaduhnya itu semasa hidupnya; setelah orang tersebut mening¬gal tanah harus kembali kepada desa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1958 No. 340 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: R.A. Darmosewojo alias Soedjinah, lawan R.M. Brotodir¬djo.
139. X.5. Hukum Adat di daerah Kuningan:
Hak “kasikepan’
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
bahwa sawah-sawah sengketa asalnya sawah-sawah dengan hak “kasikepan”; hak “kasikepan” ini dikenal di daerah kabupaten Cirebon dan Kuningan yang di Ciamis dikenal dengan nama “kanomeran” dan di daerah Majalengka dengan nama “kecacahan”;
bahwa setelah matinya Suranata dalam tahun 1944, Raad Desa belum menunjuk siapa yang menggantikannya sebagai “sikep” sehingga tanah sengketa menjadi tanah kasikepan gantung;
karena tergugat pembanding tidak dapat membuktikan bahwa ia telah ditunjuk sebagai “sikep” dan karenanya berhak atas sawah sengketa, maka yang berhak atas tanah kasikepan gantung tersebut adalah segenap ahliwaris dari Suranata.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-12-1975 No. 430 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Natawilastro lawan 1. Sumawikarta, 2. Ny. Sarem dkk.
dengan susunan majelis: 1. BRM. Hanindjapoetro Sosropranoto SH. 2. Bustanul Arifin SH; 3. Indroharto SH.
140. X.5. Hukum Adat di daerah Klaten.
Sawah “sanggan”.
Di daerah Klaten orang tidak diperkenankan memiiki dua sawah ‘sanggan”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-9-196 1 No. 200 K.Sip/1961.
Dalam Perkara :: Resodimedjo alias Sajid dkk. lawan Prawirosoemarto alias Kinun dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
141. X.5. Hukum Adat di daerah Tarakan.
Hak orang yang pertama menemukan/menggarap.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi diri Mahkamah Agung:
Menurut hukum adat, bagi orang yang menemukan suatu baring yang tidak bergerak atau bermaksud menggarapnya, cukup dengan rnemberi tanda-¬tanda sebagai penemu pertama pada barang tersebut atau memberitahukannya kepada pejabat desa atau pemerintah setempat.
i.c. tergugat-tergugat menunjukkan bahwa nenek moyang mereka yang menemukan goa-goa sarang burung tersebut dan membuat piagam dengan huruf Arab di depan goa; juga mereka menunjukkan bahwa hak mereka atas goa-goa tersebut telah terdaftar dalam buku pemerintahan di daerah itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-3-1976 No. 834 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Jantji, 2. Jantjur, 3. Nanang dkk lawan 1. Jukung Sulaiman Penambahan; 2. Adji. Muhamad Said 3. A. Nurbeck dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. DH. Lumbanradja SH;3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
142. X.5. Hukum Adat di daerah Pematangsiantar.
Tanah “parmangmang”
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa tanah parmangmang adalah tanah yang dihadiahkan raja-raja kepada seorang datu/dukun untuk dipergunakan sebagai tempat upacara-upacara diparbiusan, yaitu untuk tempat berdoa kepada Sombaon (kramat) seperti meminta agar dijauhkan dari penyakit, diberi hasil panen yang baik dll. dan yang menentukan tanah parmangmang adalah raja-raja bius, yaitu pertemuan dari marga yang ada di kampung itu; - bahwa tanah permangmang turun-temurun kepada keturunan yang laki-laki dan tidak boleh dikuasai oleh keturunan yang perempuan, karena yang dapat diangkat sebagai datu/dukun adalah keturunan yang laki-laki.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-11-1975 No. 833 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Bonaiman br. Sinaga lawan Abel Sinaga.
dengan susunan malelis: 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. DR. Lumbanradja SH; 3. Achmad Soelaeman SH.
143. X.5. Hukum Adat di daerah S a p a r u a.
Tanah-tanah “dati”
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Yang berhak menikmati hasil-hasil dusun-dusun dati hanyalah mereka yang berdomisili tetap di negeri di mana dusun-dusun dati tersebut berada.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-5-1975 No. 362 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Jaconas Latupeirissa lawan 1. Junus Leupatty, 2. Melkeanus Loupatty, dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
144. X.5. Hukum Adat di daerah Saparua.
Tanah-tanah “dati”.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena para tergugat adalah dari keturunan wanita (anak dari Petronella Loupatty atau cucu dari Philipus Loupatty), mereka tidak berhak atas dusun¬-dusun dari tersengketa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-5-1975 No 362 K/Sip/1973.
145. X.5. Hukum Adat di daerah Istlmewa Jogyakarta.
Kewajiban-kewajiban yang melekat pada tanah.
Meskipuan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan-pertimbangan yang jadi dasar putusannya mempergunakan pasal-pasal tentang erfdienst-baarheid dari B.W., yang hal itu adalah keliru, karena Dalam Perkara : ini B.W. tidak berlaku sebab yang menjadi sengketa adalah tanah adat dalam kota Jogyakarta, namun jalan pikiran dalam pertimbangan-pertiinbangan tersebut adalah tepat karena dalam lingkungan hukum adatpun berlaku apa yang diutarakan dalam pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-8-1973 No. 129 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Ny. Lio Ruing Tik lawan Ny. C. Yap Pik Tjiang.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. D.H. Lumbanradja SH: 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH.
146. X. 5. Hukum Adat di daerah Yogyakarta:
Hak bertempat tinggal atas tanah orang lain.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
bahwa alm. Nrimokarijo, alm. Kasanredjo dan alm. Kertoidjojo Se¬masa hidupnya hanya mendapat izin bertempat tinggai dari alm. Hadji Imani Tafsir, jadi. sebagai indung tlosor saja; - bahwa izin bertempat tinggal itu adalah karena jasa-jasa para orang tua tersebut kepada alm. Haji Tafsir; - bahwa putusan Hakim pertama mengenai balas jasa yang berupa pemberian tanah kepada para tergugat sebagai ahli waris orang-orang tersebut adaiah kurang tepat dan sesuai dengan jasa-jasa yang bersangkutan; Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa sudah cukup adil kalau balas jasa untuk para tergugat itu berupa hak yang pernah di peroleh oleh orang-orang tua mereka, yaitu hak sebagai indung tlosor; - bahwa hak ini perlu dibatasi sampai selama hidup para tergugat saja.
Putusan Mahkamah Agung : tgi. 13 - 5 - 1975 No. 756 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : Martodimedjo, Kromokamari, Mbok Atmabadir dkk. lawan Ny. Imam Tafsir alias Tojibah, M.T. Roohiman dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Indroharto SH.
147. X. 5. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Hapusnya hak atas tanah.
Pertimbangan Pengadiian Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung di¬berikan kepada orang lain yang memerlukannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgi. 27 -3 - 1975 No. 1192 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : Ali Basya Glr. Jatunggal Siregar, untuk diri sendiri dan sebagai kuasa dari (empat orang), lawan 1. Fajar Harahap, 2. Zulkifli (Pill) Harahap.
dengan Susunan Majelis :1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Poerwoto Soehadi Gandasoebroto S.H.
148. X.5. Hukum Adat di daerah Enrekang.
Hapusnya hak atas tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadiian Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa ternyata sawah-sawah sengketa adalah kepunyaan penggugat yang dibukanya pada tahun 1911, kémudiah pada tahun 1921 diduduki dengan tanpa hal oleh ayah tergugat;
bahwa walaupun tanah-tanah tersebut telah diduduki pihak tergugat sejak tahun 1921, namun hal itu tidaklah berarti bahwa hak penggugat atas tanah-tanahnya dengan sendirinya menjadi hapus atau hilang; rnenurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-12-1975 No. 590 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Madjdja lawan Doko al. Ambe Basa.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
PERJANJIAN PADA UMUMNYA
149. XI.6. Hukum Adat di daerah Gorontalo.
Jual beli antara orang tua dan anak.
Pertimbangan Pengadilan Tinggl bahwa jual beli dan hibah antara ayah dan anak tidak boleh tanpa persetujuan ahli waris lainnya adalah tidak tepat/salah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-1-1975 No. 1099 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: 1. Masuda Durachim dkk. lawan 1. Kisman Durachim; 2. Hasbullah Durachim dan 1. Lien Durachim dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Busthanul Arifin SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
PERJANJIAN MENGENAI TANAH
150. XII.1. Sahnya perjanjian mengenai tanah.
Fungsi Pejabat-pejabat Daerah dalam jual beli menurut hukum Adat bersifat complementair,: tidak mutlak dan adanya pengesahan dari Pamong Praja saja tidak menentukan sahnya jual beli.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-7-1973 No. 663 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: Soeparman al Slamet lawan Notodiwirjo al Ngatman.
dengan susunan majdis: 1. Prof. R. Subekti SH; 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
151. XII.1. Sahnya perjanjian mengenai tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa surat penyerahan tanah sengketa baik dari Paino kepada Nai Posma br Tompul maupun dari Nai Posma br Tompul kepada penggugat, nyatanya tidak dituruti dengan penyerahan tanah sengketa secara riil, tegasnya kalaupun ada serah menyerah tanah sengketa secara tertulis namun penyerahan de facto (levering) belum terjadi, sehingga jual beli tersebut belum tercipta.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1975 No. 1151 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Delmina br Naiborhu lawan 1. N. Meliala; 2. Roley Seba¬jang.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. Achmad Soelaiman SH.
152. XII.1. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Sahnya perjanjian mengenai tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Dalam perkembangan hukum adat sesuai dengan proses sosiologis dan ekono-mis yang tidak tertutup lagi, dalam hal jual beli tanah ikut sertanya anak- boru -senina tidak lagi relevant.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 532 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Ningeti br. Sembiring lawan Biasa Perangin-angin.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. NG. Hanindyopoetro Sosropranoto SH 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Bustanul Arffin SH.
153. XII.1. Hukum Adat di daerah Semarang.
Sahnya perjanjian mengenai tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut hukum Adat tindakan yang menyebabkan pemindahan hak bersifat contant sedang pendaftaran menurut U.U.P.A. dan Peraturan pelaksanaannya bersifat administrasief belaka.
Dengan telah terjadinya persetujuan jual beli antara penjual dan pembeli yang diketehui oleh Lurah serta Camat; telah diterimanya harga pembelian oleh penjual dan telah dikuasainya sepenuhnya rumah dan tanah tersebut oleh pembeli; jual beli itu telah sah menurut hukum, sekalipun belum didaftarkan ke K.P.T.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-12-1975 No. 765 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: PT. Bank Gemari Cabang Semarang lawan R. Soetarno dan Hadi Soekarno.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3 .Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
154. XII.3. Jual beli tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung;
Menurut hukum Adat, dalam hal jual beli tanah tidak dapatnya pembeli melunasi sisa uang pembelian pada waktu yang dijanjikan, tidak dapat merupakan alasan untuk menuntut pembatalan jual beli; yang dapat dituntut oleh penjual adalah pembayaran sisa uang pembelian tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14 - 4 - 1973 No. 122 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Ny. R. neno Aminah lawan Ahja Karso dan Nyi R. Enok Supiah.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. Busthanul Arifin SH.
155. XII.3. Jual beli tanah.
Pembeli sawah yang dengan itikad baik membeli sawah tersebut dan seorang akhli waris dan pemiliknya harus dilindungi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10 - 1 - 1957 No. 210 K/Sip/1955.
Dalam Perkara : : Nyi haji Ami dan Nyi Siti lawan Ahud dkk.
156. XII.3. Hukum Adat di daerah S e m a r a n g.
Jual beli tanah.
Ikut sertanya kepala desa dalam hal jual beli tanah bukanlah syarat mutlak dalam hukum adat, tetapi hanya suatu faktor yang meyakinkan bahwa jual beli yang bersangkutan adalah syah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13 - 12 - 1958 No. 4 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :; Moehati alias Djaroh lawan Gustaaf dkk.
157. XX.3. Hukum Adat di daerah Bengkulu.
JuaI beli tanah.
Menurut hukum Adat bukanlah syarat mutlak untuk syahnya jual beli tanah dan rumah bahwa jual beli itu dilakukan dihadapan Datuk Wilayah dan bahwa harga pembelian sudah dibayar lunas.
Putusan Mahkamah Agug tgl. 21 - 6 - 1958 No. 226 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Djemana lawan Salik (sebenarnya Mohamad Salik Ginda).
158. X1I.3. Hukum Adat di daerah Klaten.
Jual beli tanah.
Dalam pandangan Mahkamah Agung suatu putusan Desa perihal jual beli tanah, meskipun tidak merupakan syarat mutlak untuk sahnya jual beli, merupakan suatu bukti yang amat kuat bahwa oleh masyarakat desa itu jual beli yang bersangkutan dianggap syah; dan bukti yang amat kuat ini hanya dapat diruntuhkan dengan pembuktian tawan yang sangat kuat pula.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 - 1 - 1958 No. 307 K/Sip/1956.
Dalam Perkara : hardjokarjo, lawan 1. Mangunsandjojo; 2. Soerdirdjo alias Petruk.
159. XI1.3. Hukum Adat di daerah Klaten.
JuaI beli tanah.
Orang yang membeli tanah dan rumah yang terletak di lain Kelurahan atas syarat bahwa Ia harus menetap di Kelurahan ini, tidak dapat menjadi pemilik dan barang-barang tersebut kalau syarat tadi tidak dipenuhi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 - 1 - 1958 No. 221 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: 1. Resodimedjo alias Pardi dan 2. Bok Resodimedjo lawan Kartodikromo.
160. XII.3. Hukum Adat di daerah Pematang Siantar.
Jual beli tanah.
Menurut hukum Adat Batak seorang perempuan juga mampu untuk menjual sendiri tanahnya tanpa ikut serta keluarganya, sedang ikut sertanya pengetua kampung bukanlah syarat mutlak bagi sahnya penjualan tanah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21 - 5 - 1963 No. 156 K/Sip/1963.
Dalam Perkara : Nai usman (Dima) boru Tampubolon dkk. lawan Binoni Pardede dkk.
dengan Susunan Majelis :1. R. Wirjono Prodjodikoro SH; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. M. Abdurrachman SH;
161. XII.3. Hukum Adat di daerah Istimewa Jogyakarta.
Jual beli tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Jogyakarta No. 11/1954 pengalihan hak atas tanah turun-temurun yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut adalah tidak sah menurut hukum (van rechswege nietig).
Kanena jual beli tanah sengketa diiakukan oleh pihak-pihak dengan menyimpang dan ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah tersebut, sedang hal itu telah diperingatkan kepada mereka oleh Pamong Desa yang bersangkutan, jual beli tersebut haruslah dianggap tidak sah (i.c. “letter C” tanah tersebut tidak atas nama penjual).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11 - 2 - 1975 No. 629 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : : Mbok Prawirosuwarto lawan 1. Bok Pawironadi; 2. Ny. Ngadijem dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
162. XII.3. Hukum Adat di daerah Tnjungraja, Palembang.
Jual beli tanah.
Tanah yang masih merupakan budel yang belum terbagi tidak dapat dijual dan jual beli yang telah terjadi mengenai tanah itu adalah batal, sekalipun jual beli itu dilakukan dimuka Pasirah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-1-1956 No. 201 K/Sip/1955.
Dalam Perkara :: Hodari bin Haji Taba lawan Rohman bin Achmad dkk.
163. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Pegagan Ilir, Palembang.
Jual - gadai tanah.
Menurut hukum yang hidup di dusun Suka Hati Marga Pegagan Hilir, tanah yang digadaikan dapat sewaktu-waktu ditebus dan tidaklah dikenal tenggang waktu penebusan yang tertentu, yang kalau waktu ini sudah lampau tanah tidak dapat lagi ditebus.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-9-1955 No. 33 K/Sip/1952.
Dalam Perkara :: Hadji Iljas bin Saridin lawan Pr. Solidah binti Belewa.
164. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Lahat, Palembang.
Gadai tanah.
Kitab “Simbur Tjahaja” isinya banyak bertentangan dengan hukum adat yang hidup di daerah Palembang (lihat van Vollenhoven Adatrecht II halaman 824) maka tidak dapat diperlakukan Dalam Perkara ini.
Menurut hukum Adat tanah yang digadaikan selalu dapat ditebus kembali.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-2-1956 No. 107 K/Sip/1955.
Dalam Perkara :: Sarim bin Masaguri lawan Perempuan Majuna binti Sedeman.
165. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Penggadaian tanah.
Berdasarkan syarat-syarat perjanjian “dondon Ionop” yang telah diadakan antara kedua pihak, setelah waktu tertentu, dalam hal ini 15 tahun dan jatuh pada tgl. 1 September 1955, dondon menjadi lonop, yang di Tapanuli berarti bahwa sawah sengketa dalam keadaan apapun tidak dapat diambil lagi dari pihak kedua.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-6-1975 No. 777 K/Sip/1976.
Dalam Perkara :: Binanga Siregar gelar Sutan Mangaradja lawan 1. Nagari Siregar dkk. dan Abdul Somad Siregar. Mulkan Siregar dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Achmad Soelaiman SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
166. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Jombang.
Penggadaian tanah.
Meskipun jangka waktu untuk menebus tanah seperti yang dijanjikan sudah lama lewat, kepada pemberi gadai oleh Hakim harus diberi waktu sekedarnya untuk melaksanakan haknya untuk menebus itu (i.c. oleh Mahkamah Agung diberikan waktu tiga bulan sesudah putusan diberitahukan).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-1-1958 No. 11 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: Masoed dan Chamdanah lawan Astroredjo.
167. XII.3.2. Hukum Adat daerah Padang.
Gadai tanah.
Walaupun dalam perjanjian ditentukan tenggang waktu 10 tahun untuk menebus rumah dan tanah yang digadaikan, tetapi setelah lampau waktu tersebut, tidaklah dengan sendirinya rumah dan tanah itu merupakan milik pemegang gadai;
untuk itu diperlukan adanya tindakan yang konkrit sepertinya suatu usaha untuk mengadakan balik nama.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-5-1961 No. 38 K/Sip/1961.
Dalam Perkara :: Saanah (perempuan) lawan Maimunah (perempuan).
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Soebekti; 3. Mr. R Soekardono.
Kaidah/Pertimbangan Hukum diatas diterapkan pula a.1. dalam Putusan Mahkamah Agung tgl 9-3-1960 No. 45 K/Sip/1960 mengenai perkara dari ¬daerah Padangsidempuan
168. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Painan.
Gadai tanah.
Pagang gadai dalam jangka waktu satu tahun dan perjanjian bahwa sawah yang digadaikan akan diserahkan apabila dalam jangka waktu itu hutang tidak dibayar, tidaklah lazim. Menurut Pengadilan yang terjadi dalam hal ini adalah hutang piutang dimana tergugat berhutang kepada penggugat 143 karung padi yang harus dibayar pada tahun 1951 dengan borg swah sebanyak 10 piring, yang apabila hutang tidak dibayar pada panen tahun 1951 penguasaan atas sawah tersebut harus diserahkan kepada penggugat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-2-1976 No. 973 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Jung Gadang glr. Radjo Lelo lawan 1. Djata Dt. Radjo Palawan dan Sariah.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. Indroharto SH.
169. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Bandung.
Penggadaian tanah.
Menurut hukum Adat diseluruh Indonesia hak menebus dalam gadai tanah tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-1-1957 No. 187 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Darhim Iawan Nyi Wita.
Kaidah/Pertimbangan Hukum diatas diterapkan pula a.l. dalam Putusan Mahkamah Agung No. 4 K/Sip/1961 mengenai perkara dari daerah Cianjur;
Putusan No. 420 K/Sip/1968 mengenai perkara dari daerah Kabanjahe;
Putusan No. 116 K/Sip/1962 mengenai perkara dari daerah Bangkalan;
170. XII.3.2. Hukum Adat di daerah Bondowoso.
Penggadaian tanah.
Meskipun benar bahwa “Putusan Petinggi” (Kepala Desa) tidak dapat membatalkan perjanjian gadai tanah yang telah diadakan oleh pihak-pihak, tetapi karena kedua pihak telah menyetujui isi putusan Petinggi tersebut yang maksudnya agar tergugat asli menukar tanah yang telah digadainya dan penggugat asli dengan dokar dan seekor kuda, tanah yang bersangkutan tidak dapat dituntut kembaii lagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-4-1960 No. 105 K/Sip/1960.
Dalam Perkara : : Bo Lijas alias Nadi lawan Bo Esu alias Sahrina.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. M.H. Tirtaamidjaja; 3. Mr. R Subekti.
171. XII.4. Hukum Adat di daerah Padangsidempuan.
Sewa-menyewa tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena kebun tersebut tidak pernah ditanami dengan padi, hanya sebagai kebun durian saja, gugatan mengenai sewa kebun tidak dapat dikabulkan. (i.c. peng-gugat menuntut sewa tanah terperkara sejumlah 15 kl. padi setahun sejak 1959 sampai tanah diserahkan kepada penggugat).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-2-1976 No. 835 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Pudung glr. Djapinajungan lawan 1. Maj. Pontas Harahap; 2. Tahalak Harahap dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DR. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
172. XII.6. Hukum Adat di daerah Solok.
Perjanjian bagi hasil.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Hak penggugat-terbanding atas pohon-pohon cengkeh sengketa adalah 2/3 bagian sedang hak ahli waris dari Alamsurdin gelar Datuk Putih sebagai pemilik tanah yang ditanami adalah 1/3 bagian, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-3-1976 No. 1215 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Suki gelar Malin Putih; 2. Syarif gelar Datuk Gadang lawan Basir gelar Pakih Sati dan 1. Sum; 2. Hasan Basni gelar Datuk Gadang dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DR. Lumbanradja SH; 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH; 3. Achmad Solaiman SH.
173. XII.6. Hukum Adat di daerah banda Aceh.
Perjanjian bagi hasil.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa transaksi seperti yang diadakan antara mendiang ayah penggugat-penggugat dengan mendiang ayah tergugat itu, ialah tanah kebun ayah penggugat diserahkan kepada ayah tergugat untuk ditanami pohon kelapa dengan ketentuan; tanah tetap milik ayah penggugat sedang pohon-pohon kelapa yang ditanam dibagi menurut adat, dua bagian untuk yang menanarn dan satu bagian untuk pemilik tanah; menurut adat kebiasaan hanya untuk satu termijn pohon kelapa saja; bi¬la pohon-pohon kelapa itu telah mati/musnah tidak bisa ditanami lagi dengah pohon-pohon kelapa muda dan tanah kebun harus dikembalikan kepada pemilik.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-4-1976 No. 165 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: M. Jahja Bintang Tjut alias Agam lawan 1. M. Jahja Sjech 2. Ibrahim Sjech.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. A. Soelaiman SH.
174. XII.6. Hukum Adat di daerah Padang Panjang.
Perjanjian bagi hasil.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena penggugat-terbanding dari tahun 1963 sampai saat gugatan diajukan masih ada hal menguasai atas sawah terperkara (selaku penggadai) dan penguasaan tergugat-pembanding atas sawah tersebut adalah tanpa hak berdasarkan tindakan sepihak saja, maka penggugat-terbanding berhak atas seperdua dari hasil sawah ter¬sebut selama itu.
(i.c - Pengadilan Negeri rnenetapkan hak penggugat atas hasil sawah tersebut adalah sepertiga).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-1-1976 No. 496 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Idris gelar Panduko Radjo lawan 1. Aisyah Pr.; 2. Hindun pr. 3. Puti Saribanun pr.
dengan Susunan Majelis : BRM. Hanindjapoetro Sosropranoto SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. DR. Lumbanradja SH.
175. XII.7. Penghibahan tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadihan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Penghibahan rumah dan tanah harus dibuat dihadapan Pegawai Umum yang berwenang dan dihadiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 26-9-1973 No.] 13 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Djemangin lawan 1. Mbok Ginung alias Mbok Tokarijo; 2. Mbok IkuI alias Mbok Mustari dkk.
dengan Susunan Majelis : 1,. Prof. R. Subekti SH; 2. DH. Lumbanradja SH;
176. XII.8. Wakaf.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Penukaran ataupun penjualan sebagian dari tanah-tanah wakaf tersengketa demikian pula usaha untuk merobah status tanah-tanah tersebut yang dilakukan oleh H. Idris dan anak-anak keturunannya (tanah-tanah tersebut adalah wakaf dari almarhum H. Marzuki sedang H. ldris almarhum adalah salah seorang anak dari H. Marzuki) adalah bertentangan dengan hukum dan fungsi wakaf dan adalah tidak sah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-5-1975 No. 560 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Tukri; 2. Mashuri lawan Kiyai Djazuri. Kamsidi, Dam¬zuri dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
177. XII.10. Perjanjian menggarap tanah.
Tergugat sebagai pemiik baru sawah sengketa dihukum untuk menaati perjanjian-perjanjian yang perah diadakan antara almarhum Bok Hadji Siti Ngaisah sebagai pihak pemilik dan para penggugat sebagai pihak magersari, yaitu mengizinkan para penggugat sebagai magersari tetap mengerjakan (menggarap) dan menempati sawah tersebut seperti waktu sawah masih dimiliki oleh almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-6-1974 No. 581 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Ardjo lawan Imam Mohamad alias Pak Koos, Pak Ponimin, Bari dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
178. XII.10. Hukum Adat di daerah Jepara.
Pembeli tanah yang beritikad baik.
Orang yang telah membeli tanah dengan itikad baik, i.c. jual-beli dilakukan dimuka Pamong Desa, harus dilindungi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-2-1960 No. 34 K/Sip/1960.
Dalam Perkara :: Towikromo lawan Pak Simbrah.
dengan Susunan Majelis : .1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
179. XII.10. Hukum Adat di daerah Rejang Lebong, Curup.
Pembeli tanah yang beritikad baik.
Pembeli tanah yang beritikad baik harus dilindungi; i.c. pembelian dilakukan dengan terang di muka yang berwajib, sedang Dalam Perkara ini memang benar susah untuk mengetahui siapa pemilik tanah itu yang sebenarnya, karena pemilik ini tidak menguasai tanahnya sejak tahun 1932, sedangkan tanah tersebut sebelum dibeli oleh pembeli termaksud sudah dua kali diperjual belikan oleh orang lain dari pemiliknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-8-1956 No. 34 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Jacub bin Rais lawan Pr. Raisin.
180. XII.10. Hukum Adat di daerah Pematang Siantar.
Pembeli tanah yang beritikad baik.
Jual beli tanah di Pematang Siantar yang dilakukan secara umum, dengan ditanda tangani serta oleh Kepala Suku Distrik harus dilindungi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-1-1957 No. 157 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Jacobus Saragih lawan Jihan Sinaga dkk. Kaidah/Pertimbangan Hukum di atas diterapkan pula a.1. dalam Putusan Mahkaman Agung tgl. 5-11-1958 No. 242 K/Sip/1958 mengenai perkara dari daerah Pematang Siantar.
181. XII.10. Hukum Adat di daerah Negara.
“Menandu” sawah.
Seseorang yang “menandu’ sawah orang lain tidak dapat hanya karena telah lampau waktu tertentu menjadi pemilik dari pada sawah yang ditandu itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgi. 3-12-1958 No. 200 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: I Gendra lawan I Wenda.
PERJANJIAN MENGENAI BARANG (BUKAN TANAH)
182. XIII.1. Jual Beli.
Bahwa menurut adat perjanjian itu bersifat riil hanyalah berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi transaksi;
tetapi i.e. jual beli dilakukan secara tertulis di muka kepala kampung dengan penerimaan harga barangnya oleh penjual, dengan mana Ia telah secara rill menyatakan pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli, walaupun pindah namanya belum dilaksanakan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-12-1957 Np. 271 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Pak Amah alias Sartimin lawan Abdulrachman alias Mangun.
183. XIII.1. Hukum Adat di daerah Surabaya.
Jual beli dengan cicilan.
Dalam suasana hukum Adat jual beli dengan angsuran dianggap telah terjadi setelah ada pembayaran angsuran.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-5-1970 No. 475 K/Sip/1967.
Dalam Perkara :: Jatimah (Fatimah) lawan R. Koesbandi dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Z. Asikin Kusuma Atmadja S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
184. XIII.3. Hukum Adat di daerah Takengon.
Sewa menyewa rumah.
Hukum Adat tidak formalistis dan karenanya tidak mengharuskan adanya tuntutan pengakhiran sewa lebih dulu sebelum dapat diadakan tuntutan penyerahan rumah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1962 No. 199 K/Sip/1962.
Dalam Perkara :: Moch. Taib lawan Jie Kung Kiu/ Leng Long.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
185. XIII.3. Hukum Adat di daerah Takengon.
Sewa menyewa rumah.
Hukum Adat yang dianggap berlaku Dalam Perkara ini, tidak mengenal ketentuan seperti pasal 1579 B.W. yang tak memperbolehkan perjanjian sewa menyewa rumah dihentikan dengan alasan akan memakai sendiri rumah itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1962 No. 199 K/Sip/1962.
Dalam Perkara :: Moch. Taib lawan Jie Fung Kin / Lang Long.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. R. Wirjono Kusumo S.H.
186. XIII.4. Hukum Adat di daerah Sengkang.
G a d a i
Menurut hukum Adat pemilik barang selalu berhak untuk menuntut kembali barang yang digadaikannya, sekalipun barang yang bersangkutan ada pada pemegang gadai bukan karena digadaikan secara langsung kepadanya oleh pemiliknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-7-1962 No. 214 K/Sip/1962.
Dalam Perkara :: Huseng lawan Saade.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. R. Wirjono Kusumo S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
187. XIlI.6.3. Hukum Adat di daerah Tapanuli Selatan.
Perjanjian pemeliharaan kerbau di daerah Tapanuli Selatan.
Perjanjian pemeliharaan kerbau di daerah Tapanuli Selatan (Hupistak) sebenarnya amat sedlkit bersifat pemeliharaan; di waktu kemarau kerbau-kerbau itu dibiarkan saja siang dan malam mengembara di padang-padang dan pemelihara hanya diwajibkan untuk sekali seminggu menengok binatang-binatangnya. Maka dalam hal terjadi ada kerbau yang hilang atau inati, amat sulit, bahkan hampir tak mungkin untuk membuktikan adanya kesalahan pada sipemelihara.
Berhubung dengan itu resiko atas terjadinya hal-hal tersebut patut ditanggung secara sama berat oleh kedua pihak, kecuali kalau mengenai resiko itu ada ditegaskan dalam perjanjian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-4-1958 No. 348 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: Sutan Batara Guru marga Harahap lawan Dollan marga Siregar.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. Wirjono Prodjodikoro, 2. Sutan Kali Malikul Adil, 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
188. XIII.6.3. Hukum Adat di daerah Madiun:
Perjanjian penitipan hewan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Menurut hukum Adat, pihak pemelihara atau pemaro hanya dapat dipertanggung jawabkan untuk mengganti seluruh kerugian atas hilang atau matinya sapi yang dipeliharanya apabila ternyata bahwa ia telah lalai dalam melakukan pemeliharaannya dan hilang atau matinya sapi itu disebabkan karena kelalaiannya itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-12-1975 No. 1313 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Mochtar lawan Sastro Kadiran.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH; 3. Indroharto SH.
189. XIII.7. Hukum Adat di daerah B l i t a r
H i b a h.
Kesimpulan Pengadilan Tinggi yang diambil dari keterangan-keterangan saksi ahli:
bahwa pada prinsipnya anak-anak dari orang yang meninggalkan warisan menerima sama rata dari barang-barang warisan dan jika salah seorang anak menerima lebih banyak, anak-anak yang lain harus menyetujui setidak-tidaknya mengetahui bagian yang diterimakan kepada anak tersebut:
bahwa penghibahan barang-barang yang akan merupakan warisan, jika tak disetujui oleh para waris adalah tidak sah
bahwa untuk terangnya, penghibahan harus dilakukan di muka Pamong Dosa sudahlah tepat dan benar.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-10-1962 No. 191 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Surur bin Haji Mohamad Dulmadjid lawan Bok Aisyah dkk.
dengan Susunan Majelis :1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
190. XIII.7. Hukum Adat di daerah Blitar:
H i b a h.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Suatu pemberian bagian harta dapat dicabut kembali asal barang-barang yang telah diberikan itu masih berada di tangan yang mendapatkannya. (i.c. rumah yang oleh Rabijo dulu diberikan kepada dan kini ditempati oleh anaknya, Djokarmidi, dituntut kembali karena anaknya bersikap menentang kepadanya; tuntutan ini dikabulkan).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 817. K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Rabijo lawan 1. Djokarmidi, 2. Tumiran dan 1. Somo Saimin, 2. Karnoto dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito; SH; 3. Bustanul Arifin.
191. XIII.7. Hukum Adat di daerah Klaten.
H i b a h.
Penghibahan tidak boteh melanggar hak warisan dari anak-anak lainnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1958 No. 340 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: R.A. Darmosewojo alias Soedjinah, lawan RM. Brotodirdjo.
192. XIII.7. Hukum Adat di daerah Krawang.
H i b a h
“Hisab” tidaklah sama dengan “hibah”; hisab dapatlah diartikan sebagai hak untuk memungut hasil dari barang-barang tertentu selama hidup penghisab dan setelah ia meninggal barang-barang tersebut haruslah dikembalikan kepada akhli warisnya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-2-1959 No. 57 K/Sip/1950.
Dalam Perkara :: Nyi Emin Aminah lawan Tjetjeng Hanapi.
193. XIII.7. Hukum Adat di daerah Tjakranegara.
H i b a h.
Menurut hukum Adat Hindu Bali, suatu pemberian kepada seorang anak perempuan menjadi gugur dalam hal yang diberi itu kemudian melakukan kejahatan adat yang menyebabkan gugurnya kastanya (i.c. yang bersangkutan telah melakukan kejahatan adat “amumpang laku aninggalkan kajaten’ sehingga kastanya gugur dan tidak berhak lagi memakai sebutan “ldayu”).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-1-1957 No. 98 K/Sip/1956.
Dalam Perkara :: Ni Komang (Nyoman) Tjandra lawan Pedanda Isteri Wajan Oka.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
194. XlIl.7. Hukum Adat di daerah Banda Aceh.
H i b a h
Berdasarkan pasal 4 (1) P.P. No. 45 tahun 1957 gugatan mengenai hibah termasuk wewenang Pengadilan Agama/Mahkamah Sjariah dan Pengadilan Umum tidak berwenang mengadilinya. (i.c. penggugat menuntut pengesyahan penghibahan sawah-sawah dan kebun tersengketa serta menuntut penyerahan tanah-tanah itu kepadanya).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-2-1970 No. 552 K/Sip/1968.
Dalam Perkara :: Pr. Haji Nya’ Ubit binti Abu lawan Pr. Katidjan binti Nyak Neh.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.; 3. Sardjono SH.
195. XIII.8. Pemberian kuasa.
- bahwa judex-fasti mengupas/menilai surat kuasa tersebut dari hukum B.W. adalah salah sebab sipemberi dan sipenerima kuasa adalah orang Indonesia yang tidak tunduk kepada B.W.;
- bahwa curat kuasa sudah dicabut, tidak bisa dipertanggungkan kepada pihak ke-3, sebab pencabutan secara intern saja;
- bahwa surat kuasa dipergunakan untuk 3 orang, tidak ada salahnya, terutama dalam suasana hukum adat;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-10-1976 No. 1225 K/Sip/1976.
Dalam Perkara :: Hong Kong Heng lawan K.H: Moh. Muchtar bin H. Abdul Mutholib dan 1. Sadiman, 2. Nyonya Andjajani, 3. Agus Tanzil.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. R. Djoko Soegianto SH. 3. Achmad Soeleiman SH.
KEDUDUKAN DESA/PERSEKUTUAN HUKUM.
196. XV.3. Hukum Adat di daerah Lihat.
Peranan Kepala Desa dalam perjanjian-perjanjian mengenal tanah.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Ikut sertanya Kepala Desa dalam jual beli tanah menurut hukum adat membuat jual beli itu bersifat terang (resmi);
Untuk masyarakat hukum di daerah-daerah Sumatera bagian selatan yang dimaksud dengan Kepala Desa di sini adalah justru Pasirah sebagai Kepala Marga, karena Pasirahlah yang dianggap sebagai pemegang adat, yang mengetahui segala adat istiadat dan hukum adat positif di dalam lingkungan marganya, sedangkan Kerio sebagai Kepala Dusun merupakan pembantu-pembantu dari Pasirah sebagai Kepala Marga tersebut; - Maka jual beli tanah yang dibuat di hadapan Pasirah sebagai Kepala Marga lebih terang sifatnya dari pada yang dibuat di hadapan Kerio sebagai Kepala Dusun/Kampung.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 690 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Abdul Azis bin Kebat, dkk. lawan Mohamad Kallani bin Meskat.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Sn Widojati Wiratmo Soekito SH.
197. XV.5. Hukum Adat di daerah Gianyar:
“Banjar-2 - patus”
Soal keanggotaan dalam “pepatusan” bukan merupakan keharusan adat, sehingga desa adat yang berpokok pada tiga lembaga, yaitu pure dalam, pure puseh dan pure desa itu tidak dapat turut campur dalam soal kehidupan papatusan; lagi pula yang diperselisihkan merupakan barang-barang yang diakui oleh kedua pihak sebagai milik bersama yang dituntut untuk dibagi, maka desa adat tidak berwenang Dalam Perkara : ini.
Putusan Mahkamah Agung : No. 1056 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: I Made Ledang, I Lemuh, I Radjig dkk.. lawan I Lemuh Keramas, I Pitja Pasek, I Lasija, dKk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono SH.; 2. Indroharto S.H.; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
198. XV.5. Hukum Adat di daerah Ambon:
Kedudukan “Kepala Pusaka”.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa ternyata dusun sengketa Dalam Perkara ini adalah sama dengan dusun sengketa Dalam Perkara antara Abdul Samad Kaplale lawan Haji Abdul Sjukur Kaplale dan Muhammad Kaplale yang telah diputus oleh Landraad Saparua pada tahun 1936 dan Lad van Justitie Makassar 1938;
bahwa keputusan yang mengikat Kepala Pusaka dengan sendirinya turut pula mengikat Anak-anak Pusaka dan Kepala Pusaka selanjutnya, serta ahli-ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya, sehingga keputusan¬-keputusan yang mengikat Haji Abdul Samad Kaplale turut pula mengikat para penggugat Dalam Perkara ini dan keputusan yang mengikat Haji Abdul Sjukur Kaplale dan Muhammad Kaplale turut pula mengikat pan tergugat Dalam Perkara ini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-12-1975 No. 941 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Haji Idris Kaplale (mewakili 15 orang) lawan 1. Haji Achmad Kaplale, 2. Haji Djuain Kaplale, dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Saldiman Wirjatmo S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
D A L U W A R S A.
199. XVI. Daluwarsa.
Walaupun gugatan mengenai pekarangan dan rumah tersengketa baru diajukan oleh pemiliknya, ialah penggugat asli/terbanding/tergugat dalam kasasi, 22 ta¬hun setelah pekarangan dan rumah itu dikuasai dengan tiada hak oleh tergugat asli/pembanding/penggugat untuk kasasi.
hak pemiik untuk menuntut penyerahan pekarangan dan rumah itu tidaklah kedaluwarsa;
karena sebelum itu Ia telah berulang kali meminta penyerahan kembali pekarangan dan rumahnya itu, sehingga oleh karenanya daluwarsa telah tertahan (gestuit).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-3-1959 No. 70 K/Sip/1959.
Dalam Perkara :: Doerrachim alias P. Patonah lawan Saditoen alias Nitiardjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro; 2. Sutan Kali Malikul Adil; 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
200. XVI. Daluwarsa.
Tidak ada batas waktu dalam menggugat harta warisan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-2-1975 No. 7 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Nyi Haji Aminah bt Kartu; 2. Para ahli waris almarhum Wiranta dkk. lawan 1. Madaohja bin Etje; 2. Nyi Umin binti Kartu.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
201. XVI. Daluwarsa.
Dalam hukum Adat dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak hapus.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-12-1973 No. 916 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Soehirdjan lawan 1. Amat Tamsir; 2. Sarip; 3. Gini dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. DH. Lumbanradja SH.
202. XVI. Daluwarsa.
Waktu yang dilewatkan oleh penggugat-penggugat untuk menuntut tergugat-tergugat mengembalikan tanah sengketa sesungguhnya baru 8 tahun sehingga belum dapat dianggap bahwa penggugat-penggugat telah melepaskan haknya atas tanah sengketa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-8-1973 No. 598 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: 1. Madja bin Arhaji; 2. Ardi bin Arhaji dkk. lawan Rohaya, Nyi Anis dkk.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Soebekti S.H. .2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H. 3. Indroharto S.H.
203. XVI. Daluwarsa.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung Selain penggugat-penggugat-terbanding tidak berhasil membuktikan dalil-dalil¬nya sebagai diuraikan pada sub I dan II diatas, juga mereka telah membiarkan haknya berlalu sampai tidak kurang dari 20 tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa sedang tergugat-pembhanding dapat dianggap sudah memperoleh hak milik atas sawah sengketa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1975 No. 295 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Abd. Hamid lawan 1. Katille; 2.. Madolanggeng dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatno SH;’; 2. Indroharto SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
204. XVI. Daluwarsa.
Keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi: bahwa hukum adat tidak mengenal daluwarsa dalam hal warisan;
tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah ditolak bukan atas alasan kedaluwarsanya gugatan, tetapi karena dengan berdiam diri selama 30 tahun lebih para penggugat asal dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-12-1975 No. 200 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: 1. Moh. Sarjono; 2. Sjafi’i Hasanudin dkk. lawan Arso dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH; 2. R. Poerwoto Soehadi Ganda Soebrata SH; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH..
205. XVI. Hukum Adat di daerah Lubuk Linggau.
Daluwarsa.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung
Menurut hukum Adat yang berlaku pada waktu itu (antara 1937-1945) terhadap bekas Iadang yang telah ditinggalkan dan tidak dikerjakan berturut-tutut sampai 5 tahun hak utama dari orang semula untuk mengerjakan tanah tersebut gugur dan tanah kembali lagi kepada marga.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-12-1975 No. 367 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Kadun bin Pangadjat lawan Adjisamin bin Copar.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH; 2. Indroharto SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
206. XVI. Hukum Adat di daerah Tapanuli Selatan.
Daluwarsa.
Orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan haknya atas tanah tersebut (“rechtsver¬werking”).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-9-1958 No. 329 K/Sip/1957.
Dalam Perkara :: Baginda Palaun Iawan Sutan Nabuntu dkk.
207. XVI. Hukum Adat di daerah Pematang Siantar.
Daluwarsa.
Keberatan yang diajukan oleh penggugat untuk kasasi: bahwa gugatan penggugat asal harus dibatalkan karena telah daluwarsa 30 tahun lebih sebab sawah terperkara sudah 48 tahun dikuasai oleh Hokkom Situmorang tanpa gangguan siapapun;
tidak dibenarkan, karena Iampau waktu saja tidak mempunyai akibat hilangnya suatu hak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-7-1973 No. 1037 K/Sip/1971.
Dalam Perkara :: 1. Hokkom Situmorang; 2. Marhalam Simbolon lawan Sella br Situmorang.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti SH; 2. Indroharto SH; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
208. XVI. Hukum Adat di daerah Tondano.
DaIuwarsa.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa penggugat-terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terus-menerus selama 27 tahun tanpa digugat;
bahwa benar hukum adat yang berlaku bagi kedua pihak tidak mengenal lembaga “verjaning”, tetapi hukum adat mengenal lembaga “pengaruh lampau waktu”;
bahwa seandainya memang penggugat-terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat-tergugat sampai sekian lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 783 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Hanoch Liju lawan Herman Terok qq Gerson Terok dan Teky Liju, Weinie Liju dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. Samsoedin Aboebakar SH.
209. XVI. Hukum Adat di daerah Tondano.
Tentang Daluwarsa.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung
Penggugat-terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu, yang lama tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtheb -bende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-1-1976 No. 783 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Hanoch Liju lawan Herman Terok qq Gerson Terok dan Teky Liju, Weinie .Liju dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH; 2. Bustanul Arifin SH; 3. Samsudin Aboebakar SH.
PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM
210. XVII. Perbuatan yang melawan hukum.
Menurut hukum Adat dalam hal perbuatan melawan hukum, tidak selalu seluruh kerugian harus diganti.
(i.c. resiko atas kerugian yang ditimbulkan oleh persitaan yang bersifat melawan hukum, ialah persitaan conservatoir atas sebuah truck untuk menjalankan perusahaan, dibebankan kepada kedua pihak secara sama-sama, sehingga pensita diharuskan mengganti separoh dari kerugian termaksud).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-1-1957 No. 206 K/Sip/1955.
Dalam Perkara :: Tan Bun Pong lawan Ali bin Dahlan.
211. XVII. Hukum Adat di daerah Kabanjahe.
Akibat-akibat perbuatan yang melawan hukum yang mengenai harta.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa hubungan kekeluargaan antara penggugat-penggugat dengan tergugat masih dekat yaitu beripar kandung;
bahwa anak kandung tergugat telah melakukan pembunuhan terhadap anak kandung penggugat I;
bahwa atas kesalahan besar dari pihak tergugat tersebut, pihak tergugat tidak mau melaksanakan suatu kewajibannya selaku “anak-boru” yaitu meminta maaf atas perbuatan anaknya tersebut (“nabei”) kepada pihak kalimbubu (penggugat-penggugat) yang mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan antara penggugat¬-penggugat dengan pihak tergugat (“cabur pinang”);
bahwa akibat putusnya hubungan kekeluargaan tersebut, semua tanah-tanah yang dulunya kepunyaan penggugat yang dipakai oleh pihak tergugat harus beralih kembali kepada pihak penggugat sebagai pemilik tanah-tanah tersebut;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-1-1976 No. 706 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Teran Ginting Manik lawan 1. Naksaki Sinulingga. dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
212. XVII. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Menurut hukum Adat di Jawa tiap perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian, mewajibkan orang yang bersalah untuk membayar ganti rugi atau untuk memperbaiki kerugian itu.
Dalam hal orang yang menimbulkan kerugian ltu telah berbuat dengan itikad baik, ia harus dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-11-1958 No. 212 K/Sip/1958.
Dalam Perkara :: Patonah lawan Dekar dkk.
213. XVII. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Pendapat Pengadilan Negeri bahwa Mahkamah Agung membatasi jangka waktu untuk perhitungan hasil sampai 5 tahun adalah tidak tepat dan karena Dalam Perkara : ini jangka waktu termaksud terbukti adalah 22 tahun, tergugat harus dihukum untuk mengganti hasil sawah terperkara selama 22 tahun itu.
(Tergugat dihukum untuk membayar hasil bolapinang dari sawah terperkara sebanyak 22 x 25 kaleng padi = 550 kaleng padi atau dengan uang menurut harga pasaran padi sewaktu membayarnya).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-8-1975 No. 521 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: Christian Hutapea lawan Han Djuara br Simandjuntak.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH; 2. DH. Lumbanradja SH; 3. Indroharto SH.
HUKUM ADAT
214. III.4.2. Acara pengangkatan anak di daerah Denpasar.
Menurut adat Bali pengangkatan anak harus disertai upacara “pemerasan” tersendiri dan penyiaran di banjar merupakan sarat mutlak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-12-1976 No. 1461 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : 1. Gusti/A.A. Alit Ketut Ampeg melawan I Gusti/A.A. Ngurah Made Yasa dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH. 2. Samsuddin Abubakar SH. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH.
215. III.4.12. Anak angkat yang durhaka di daerah Gianyar.
Seorang sentana nyeburin yang menyalahi darmanya sebagai sentana dapat diberhentikan sebagai sentana nyeburin.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1976 No. 1131 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: I Gusti Made Raos melawan I Gusti Ketut Rai.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Indroharto SH. 3. Achmad Soeleiman SH.
216. IV.1. Orang yang belum dewasa di daerah Jakarta.
Menurut hukum adat seorang laki-laki dianggap telah dewasa kalau ia sudah cakap bekerja (kuat gawe): terbantah yang sudah berumur 20 tahun pantas diangap telah cakap bekerja sehingga harus dianggap telah dewasa. Maka Ia harus ber¬tanggungjawab atas perbuatannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-11-1976 No. 601 K/Sip/1976.
Dalam Perkara :: Moch. Eddy Ichsan dk. melawan F.P.M. Panggabean dan Edward S.P. Panggabean.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
217. VII.1. Syarat-syarat perkawinan di daerah Tabanan.
Menurut hukum adat di Bali, untuk syahnya perkawinan disyaratkan adanya upacara “mesakapan”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9 April 1979 No. 1401 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : : Ni Putu Sukedani melawan I Nengah Sulendra dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. R. Poerwo to Soehadi Gandasoebrata SH. 3. Samsoeddin Abubakar SH.
218. VII.1.9. Pembatalan perkawinan.
Karena perkawinan tergugat I dengan almarhum R.Ng. Wignjodarsono dibatalkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Islam Tinggi Solo, maka ia bukan istri almarhum dan anaknya adalah bukan anak sah almarhum, sehingga tidak berhak atas warisan almarhum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-1-1979 No. 1300 K/Sip/1977.
Dalam Perkara :: Drs. Darmadi Djokosewojo dan R. Sri Rahardjo Hendran lawan Ny. Pudjiati dan Sri Wahjuningsih.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Hendrotomo SH.
219. VII.5.3. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan di daerah Kendal.
Karena tanah sengketa adalah warisan orang tua tergugat, yang jatuh pada tergugat dalam status “norowito matok”, tanah tersebut tetap berstatus barang asal. Hal tanah itu menjadi hak miik pada waktu perkawinan penggugat dengan tergugat, tidaklah merobah statusnya dari barang gawan menjadi harta bersama.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19 April 1979 No. 1537 K/Sip/1973.
Dalam Perkara :: B. Sarmi melawan Djumani.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. Pal¬ti Radja Siregar SH. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
220. VIII.6. Hubungan mertua, menantu setelah perceraian (Batak).
Menurut hukum adat Batak, tidaklah merupakan kewajiban mutlak bagi bekas suami untuk mengantarkan bekas istri kepada bekas mertuanya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13 Agustus 1977 No. 1710 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Rugun Boru Sanipar melawan A. Maruli Sitompul.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
221. IX.5.1. Kedudukan janda terhadap warisan suami di daerahTuban.
Dalam hal tidak ada anak, harta warisan setengah bagian untuk janda dan yang setengah bagian untuk keluarga suami atau seluruhnya dapat dinikmati janda selama hidupnya dan selama ia tidak kawin lagi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-9-1 976 No. 542 K/Sip/1972
Dalam Perkara :: Mbok Salem melawan Gaeman al. P. Soepijah.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wiijatmo SH. 2. DR. Lumbanradja SH. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
222. IX.5.1. Kedudukan janda terhadap warisan suami di daerah Tabanan.
Seorang janda yang melakukan perhubungan di luar tcawin dengan laki-laki lain hingga melahirkan anak dan keluaiga “kepurusa” dekat mengajukan keberatan atas perbuatan itu, janda tersebut telah menyalahi darmanya sebagai janda dan tidak berhak menguasai harta peninggalan mendiang suaminya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-11-1976 No. 588 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Biyang Cita melawan Ngakan Nyoman Peteng.
dengan Susunan Majelis : 1.D.H. Lumbanradja SH. 2. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH. 3. Samsuddin Abubakar SH.
223. IX.5.1. Kedudukan janda terhadap wanisan suaini di daerah Lumajang.
Tergugat II sebagai ahli waris janda berhak atas separoh dan barang gono gininya almarhum suaminya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-9-1976 No. 444 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Apijah melawan Taslim alias Tosan dan Dewi alias Muksan.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. R. Saldiman Wirjatmo SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
224. IX.5.7. Isteri dan anak perempuan sebagai ahli waris di daerah Pematang Siantar.
Menurut hukum adat waris baru, isteri dan anak-anak perempuan adalah ahli waris.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-11-1976 No. 284 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Djambi Purba kuasa dan Djagalo Purba melawan Tomuraja hr. Purba dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. DR. Lumbanradja SH. 3. Achmad Soeleiman SH.
225. IX.7. Kedudukan anak terhadap warisan orang tua di daerah Tulungagung.
Barang gono gini harus jatuh pada anak kandung, bukan kepada anak gawan;
oleh karena itu hibah tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-10-1976 No. 400 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Machfoed melawan Afifah dan Gufron dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH. 2. Samsuddin Abubakar SH. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH.
226. IX.7. Kedudukan anak terhadap warisan orang tua di daerah Kabanjahe.
Di daerah Batak Karo, wanita sekarang juga turut mewaris.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17 April 1979 No. 1701 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Kantur Surbakti melawan Mangkok Br. Ginting dk.
dengan Susunan Majelis : BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. Palti Radja Siregar SH. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
227. IX.7. Hukum waris yang berlaku di daerah Ambon.
Dalam hal warisan hukum yang hidup adalah hukum adat dan bukan hukum Islam.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-11-1976 No. 313 K/Sip/1976.
Dalam Perkara :: Nur Liem dkk melawan Ratna Malaka dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Saldiman Wirjatmo SH. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Hendrotomo SH.
228. IX.14. Hak waris dari pada cucu di daerah Lumajang.
Seorang cucu tidak merupakan ahli waris dari kakeknya apabila pada waktunya kakeknya meninggal orang tuanya masih hidup.
Maka ia tidak berhak untuk menuntut pembagian kembali warisan kakek¬nya yang telah dibagi waris oleh kakeknya itu kepada anak-anaknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-7-1976 No. 14K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Tirdjo alias Djono melawan Dirsam dkk. dan Marsum alias Suman dkk.
dengan Susunan Majelis 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH.
229. IX.14. Penggantian kedudukan sebagai ahli waris di daerah Purbalingga.
Anak menggantikan kedudukan onang tua sebagai ahli waris apabila orang tua yang bersangkutan telah meninggal lebih dahulu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19 April 1979 No. 1754 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Sanmiardja alias Kaswan melawan Sukijah alias Ny. Sandiwirja dkk. dan Kadijem alias Ni Dulmukti dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. Palti Radja Siregar SH. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
230. IX.14. Hukum yang berlaku dalam pewarisan di daerah Selayar.
Keberatan yang diajukan oleh penggugat untuk kasasi - bahwa Pengadilan telah salah menggunakan hukum Islam, sedang seharusnya memakai hukum adat yang berlaku di Sulawesi Selatan -, tidak dapat dibenarkan, karena keberatan sepenti ini hanya dapat diajukan oleh para ahli waris sendiri, sedangkan penggugat untuk kasasi adalah yang membeli tanah sengketa, bukan ahli waris.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29 Mei 1979 No. 1492 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Hadjadji melawan Baso Apu dkk. dan Baso Opu alias Andi Toto dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Samsoeddin Abubakar SH. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH.
231. IX.14. Kedudukan “juru gae” dalam pewarisan.
Seorang “juru gae” bukanlah ahli waris dan tidak berhak mewaris.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-3-1979 No. 447 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Gusti Gede Rai dk. melawan Si Luh Made Tanjung dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. DR. Lumbanradja SH. 2. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH. 3. Samsuddin Abubakar SH.
232. IX.14. Kedudukan anak perempuan terbadap warisan orang tua.
Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli, ju~ di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, se¬hingga Dalam Perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak, me¬warisi seluruh harta peninggalan dan bapaknya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-2-1973 No. 1589 K/Sip/1974.
Dalam Perkara :: Inaq Rasini lawan Imaq Atimah dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Achmad Soeleiman SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
233. X.5. Hak menggarap tanah di daerah Kabanjahe.
Judex facti tidak salah menerapkan hukum dengan mempertimbangkan:
- bahwa tanah yang telah ditinggalkan oleh pemakainya yang pertama, dengan seizin Penghulu/Kepala Kampung boleh dipakai oleh orang lain;
- bahwa tanah terperkara, setelah ditinggalkan oleh penggugat, terus dipakai oleh tergugat dengan tiada mendapat izin dan Penghulu/Kepala Kampung dan juga tidak atas persetujuan penggugat sebagai pemakai yang terdahulu:
- bahwa oleh karena itu gugatan patut diterima dan tergugat harus menye-rahkan tanah tersebut kepada penggugat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5 Mei 1979 No.46 K/Sip/1976.
Dalam Perkara :: Tokun Sembining melawan Timus Perangin Angin.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
234. X5. Hilangnya hak atas tanah di daerah Palopo.
Karena almarhum suami tergugat telah membiarkan tanah, yang semula diolahnya, menjadi hutan kembali, ia menurut hukum adat dianggap telah melepaskan haknya atas tanah tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 Mei 1979 No. 1394 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Pr. Majauni melawan Pr. Tjani.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH. 3. Palti Radja Siregar SH.
235. X.5. Hak atas tanah “dati” di daerah Ambon.
Yang berhak atas dusun dati adalah keturunan patrilineal.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-9-1 976 No. 968 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Hi. Ibrahim Anggoda dkk. melawan Pattiraja Anggoda dkk. dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Sri Wido¬jati Wiratmo Soekito SH. 3. R. Poerwoto Soehadi Gandasoebrata SH.
236. XII.1. JuaI beli di daerah Makasar.
Dengan adanya uang panjar saja, belumlah ada jual beli mengenai rumah sengketa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-10-1976 No. 86 K/Sip/1972.
Dalam Perkara :: Muchtar Abdullah melawan Matesan dan A. Ramzah T. dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH. 2. Achmad Soeleiman SH. 3. R. Djoko Soegianto SH.
237. XVI. Daluwarsa.
Lampau waktu saja tidak menyebabkan hapusnya sesuatu hak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-9-1 976 No. 457 K/Sip/1974.
dalam perkana: Aman bin Emen dk. melawan Nyi Odjah binti Suta dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH. 2. BRM Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
238. XVI. Daluwarsa di daerah Padang.
Hak penggugat untuk menggugat tanah yang telah lama dikuasai oleh tergugat tidak terkena daluwarsa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-9-1 976 No, 157 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Mohamad Nazir gelar Maiin Marajo melawan Manan gelar Rajo Indo.
dengan Susunan Majelis 1. Indroharto SH. 2. R. Saldiman Wirjatmo SH. 3. D.R: Lumbanradja SH.
239. XVI. Daluwarsa di daerah Makale.
Lamanya menguasai tanah tidak mengakibatkan hilangnya hak milik ataupun hak menggarap dan pada orang lain.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-9-1976 No.51 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Baan Tandiseru melawan W. Papajungan.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. Hanindyopoetro Sosropranoto SH. 2. R. Saldiman Wirjatmo SH. 3. D.R. Lumbanradjaa SH.
240. XVII. Pihak ketiga yang beritlkad baik.
Hak-hak pihak ketiga dilindungi bila hak-hak itu diperoleh dengan itikad
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10 Mei 1977 No. 1656 K/Sip/1975.
Dalam Perkara :: Abdul Rakhman bin Nafi dk. lawan M. Yasir bin Asmin dk.
dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Witjatmo SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
Langganan:
Postingan (Atom)