PEPES TELUR IKAN
1. BAHAN
1) Telur ikan 1 gls
2) Daun pisang secukupnya
2. BUMBU
1) Bawang merah 3 bh
2) Kunyit ½ rsj
3) Bawang putih 2 siung
4) Jahe ½ rsj
5) Kemiri 2 bj
6) Asam 2 mata
7) Lada ¼ sdt
8) Garam 1 sdt
3. CARA PEMBUATAN
1) Telur ikan dibersihkan, dicuci.
2) Semua bumbu dihaluskan dicampurkan rata dengan telur ikan.
3) Dibungkusi daun pisang, dikukus sampai masak.
Keterangan :
Supaya lebih enak setelah dikukus, dipanggang sampai kering.
Jakarta, Maret 2001
Sumber : Buku Kumpulan Masakan Indonesia
Disadur oleh : Ika Budiawati, Kemal
Rabu, 16 Desember 2009
Selasa, 15 Desember 2009
pakan buatan untuk udang
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, pakan buatan bagi udang dapat diartikan sebagai pakan yang dibuat dalam skala industri dengan komposisi nutrisi dan gizi sesuai dengan kebutuhan udang dan diberikan untuk menyuplai makanan pada tambak dengan tingkat ketersediaan pakan alaminya telah menipis/habis sama sekali. Tingkat penggunaan pakan buatan relatif berbeda berdasarkan skala budidaya udang yang diterapkan, seperti akan diuraikan di bawah ini:
1. Pada budidaya udang skala tradisional, penggunaan pakan buatan tidak/jarang sekali digunakan pada pola pemberian pakan yang diterapkannya. Penggunaan pakan buatan hanya terbatas pada pakan yang dibuat berdasarkan kemampuan pengelola tambak secara perorangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan pakan buatan antara lain : dedak (bekatul), jagung, tepung dan ikan rucah sebagai campuran. Pakan jenis ini biasanya digunakan setelah udang mencapai usia panen dengan estimasi populasi udang yang relatif banyak.
2. Pada budidaya udang skala semi intensif, penggunaan pakan buatan lebih diarahkan pada upaya antisipasi terjadinya kekurangan pakan alami berdasarkan estimasi populasi udang yang ada pada saat itu. Pemberian pakan buatan yang diterapkan tidak bersifat mutlak dan lebih cenderung insidental.
3. Pada budidaya udang skala intensif, penggunaan pakan buatan terutama yang berskala industri bersifat mutlak sebagai salah satu syarat pengelolaan budidaya udang. Padat penebaran udang yang relatif tinggi merupakan salah satu dasar pemikiran yang perlu dipertimbangkan. Selain itu penerapan pakan buatan yang benar pada budidaya udang skala intensif dapat membantu dalam estimasi kondisi dan pertumbuhan udang di dalam tambak
Jika dibandingkan dengan jenis pakan udang lainnya, maka pakan buatan skala industri mempunyai karakteristik ditinjau dari segi ukuran dan komposisi nilai gizi yang dikandungnya. Karakteristik tersebut dibuat dan ditentukan oleh industri pembuatnya berdasarkan sifat dan kebutuhan udang yang ada di dalam tambak.
Ukuran pakan buatan bagi udang merupakan ukuran besar kecilnya butiran-butiran pakan yang sesuai dengan kebutuhan udang pada saat dan kondisi tertentu. Berdasarkan ukurannya, pakan buatan secara garis besar biasanya dapat digolongkan ke dalam jenis:
1. Crumble, yaitu butiran pakan yang berupa serbuk/butiran halus dan biasa digunakan pada udang usia tebar (benur).
2. Pellet, yaitu pakan buatan yang berupa butiran-butiran kecil sampai butiran kasar dan biasa digunakan pada udang dewasa sampai udang usia panen.
Selain ukuran, ditinjau berdasarkan komposisi kandungan nutrisinya pakan buatan mempunyai formulasi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Nutrisi yang biasanya terdapat dalam pakan buatan antara lain : karbohidrat, protein, lemak, serat dan beberapa zat esensial lain yang dibutuhkan udang. Komposisi nutrisi tersebut dapat berbeda tergantung dari ukuran pakan dan industri pembuatannya. Dalam kondisi tertentu pakan buatan tersebut dikombinasikan dengan zat-zat suplemen (antara lain vitamin) untuk mengatasi kekurangan zat tersebut dan dibutuhkan oleh udang dalam keadaan sangat diperlukan.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com
1. Pada budidaya udang skala tradisional, penggunaan pakan buatan tidak/jarang sekali digunakan pada pola pemberian pakan yang diterapkannya. Penggunaan pakan buatan hanya terbatas pada pakan yang dibuat berdasarkan kemampuan pengelola tambak secara perorangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan pakan buatan antara lain : dedak (bekatul), jagung, tepung dan ikan rucah sebagai campuran. Pakan jenis ini biasanya digunakan setelah udang mencapai usia panen dengan estimasi populasi udang yang relatif banyak.
2. Pada budidaya udang skala semi intensif, penggunaan pakan buatan lebih diarahkan pada upaya antisipasi terjadinya kekurangan pakan alami berdasarkan estimasi populasi udang yang ada pada saat itu. Pemberian pakan buatan yang diterapkan tidak bersifat mutlak dan lebih cenderung insidental.
3. Pada budidaya udang skala intensif, penggunaan pakan buatan terutama yang berskala industri bersifat mutlak sebagai salah satu syarat pengelolaan budidaya udang. Padat penebaran udang yang relatif tinggi merupakan salah satu dasar pemikiran yang perlu dipertimbangkan. Selain itu penerapan pakan buatan yang benar pada budidaya udang skala intensif dapat membantu dalam estimasi kondisi dan pertumbuhan udang di dalam tambak
Jika dibandingkan dengan jenis pakan udang lainnya, maka pakan buatan skala industri mempunyai karakteristik ditinjau dari segi ukuran dan komposisi nilai gizi yang dikandungnya. Karakteristik tersebut dibuat dan ditentukan oleh industri pembuatnya berdasarkan sifat dan kebutuhan udang yang ada di dalam tambak.
Ukuran pakan buatan bagi udang merupakan ukuran besar kecilnya butiran-butiran pakan yang sesuai dengan kebutuhan udang pada saat dan kondisi tertentu. Berdasarkan ukurannya, pakan buatan secara garis besar biasanya dapat digolongkan ke dalam jenis:
1. Crumble, yaitu butiran pakan yang berupa serbuk/butiran halus dan biasa digunakan pada udang usia tebar (benur).
2. Pellet, yaitu pakan buatan yang berupa butiran-butiran kecil sampai butiran kasar dan biasa digunakan pada udang dewasa sampai udang usia panen.
Selain ukuran, ditinjau berdasarkan komposisi kandungan nutrisinya pakan buatan mempunyai formulasi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Nutrisi yang biasanya terdapat dalam pakan buatan antara lain : karbohidrat, protein, lemak, serat dan beberapa zat esensial lain yang dibutuhkan udang. Komposisi nutrisi tersebut dapat berbeda tergantung dari ukuran pakan dan industri pembuatannya. Dalam kondisi tertentu pakan buatan tersebut dikombinasikan dengan zat-zat suplemen (antara lain vitamin) untuk mengatasi kekurangan zat tersebut dan dibutuhkan oleh udang dalam keadaan sangat diperlukan.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com
Senin, 14 Desember 2009
Pemanenan Udang
Pemanenan udang merupakan tahap akhir dari satu periode siklus budidaya, karena dengan dilaksanakannya panen udang dalam suatu tambak maka tidak ada lagi proses pemeliharaan/perawatan udang pada periode tersebut. Pemanenan udang secara sedehana dapat diartikan sebagai proses pemungutan udang di dalam sebuah petakan tambak sebagai hasil proses budidaya dalam satu periode. Keputusan dilakukannya panen pada sebuah petakan tambak mengacu pada dasar pertimbangan yang terkait dengan kondisi, ukuran dan kualitas udang yang ada di dalam tambak tersebut dibandingkan dengan variable biaya produksi lainnya.
Ditinjau dari faktor penyebabnya, panen udang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : (1) panen normal, dan (2) panen bermasalah.
Panen Normal
Panen normal adalah kegiatan panen yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan dasar pertimbangan kondisi, ukuran dan kualitas udang di dalam tambak tersebut dianggap telah memenuhi persyaratan untuk dipanen sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan finansial seperti yang diharapkan.
Panen Bermasalah
Panen bermasalah adalah kegiatan panen yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan kondisi udang terkena suatu masalah. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan panen bermasalah adalah untuk menekan tingkat kerugian financial jika tidak segera dilakukan panen. Berdasarkan jenisnya, panen bermasalah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Panen kuras, yaitu kegiatan pemanenan yang dilakukan dengan cara membuang populasi udang di dalam suatu petakan tambak melalui saluran pembuangan melalui proses pembuangan air secara total. Panen kuras biasanya dilakukan pada udang bermasalah dengan ukuran yang masih relative kecil (phase bulan pertama) dan populasinya menurun drastis, sehingga jika kondisi seperti ini dilanjutkan hanya akan memperbesar tingkat kerugian yang akan diperoleh).
2. Panen dini, yaitu kegiatan pemanenan yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan kondisi udang bermasalah sebelum dianggap layak untuk dipanen secara normal. Panen dini dilakukan dengan dasar pertimbangan untuk menekan tingkat kerugian financial jika kondisi tersebut dipertahankan. Cara melakukan panen dini adalah sama dengan cara panen normal, yaitu melalui tahapan-tahapan tertentu dan peralatan yang diperlukan (akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri).
Panen dini, jika ditinjau dari tingkat keuntungannya tidak semuanya merugikan secara financial, karena pada kondisi, ukuran dan kualitas udang tertentu meskipun terkena masalah jika pengambilan keputusan yang diambil adalah tepat, maka pada kondisi seperti ini masih dapat mendatangkan keuntungan financial (meskipun tidak optimal).
Secara garis besar pengambilan keputusan terkait dengan kegiatan panen bermasalah haruslah cepat berdasarkan pertimbangan dua variable yaitu:
1. Tingkat permasalahan pada udang. Seperti telah diketahui permasalahan udang pada dasarnya dapat muncul karena factor kondisi udang itu sendiri maupun karena terjangkitnya suatu jenis penyakit. Panen bermasalah lebih banyak dilakukan pada petakan tambak dengan udang terkena masalah, sehingga pengambilan keputusan terkait pemanenan perlu dilakukan secara cepat dan cermat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
2. Tingkat keuntungan financial, yaitu perbandingan antara harga jual udang yang dipanen karena bermasalah dibandingkan dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan sampai saat pelaksanaan panen bermasalah tersebut.
Kegiatan panen udang meskipun sebagai tahap akhir dari suatu proses budidaya udang dalam satu siklus budidaya (terutama untuk panen normal) merupakan tahapan yang sangat penting juga untuk dipahami. Kualitas udang dan sifat/tingkah laku udang merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipahami pada saat melakukan pemanenan udang. Pada kondisi tertentu (sering dijumpai di lapangan) udang mengalami penurunan kualitas yang sangat nyata pada saat dilakukan pemanenan, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap harga jual dan tingkat keuntungan yang diperoleh menjadi tidak optimal.
sumber:http://marindro-ina.blogspot.com
Ditinjau dari faktor penyebabnya, panen udang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : (1) panen normal, dan (2) panen bermasalah.
Panen Normal
Panen normal adalah kegiatan panen yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan dasar pertimbangan kondisi, ukuran dan kualitas udang di dalam tambak tersebut dianggap telah memenuhi persyaratan untuk dipanen sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan finansial seperti yang diharapkan.
Panen Bermasalah
Panen bermasalah adalah kegiatan panen yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan kondisi udang terkena suatu masalah. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan panen bermasalah adalah untuk menekan tingkat kerugian financial jika tidak segera dilakukan panen. Berdasarkan jenisnya, panen bermasalah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Panen kuras, yaitu kegiatan pemanenan yang dilakukan dengan cara membuang populasi udang di dalam suatu petakan tambak melalui saluran pembuangan melalui proses pembuangan air secara total. Panen kuras biasanya dilakukan pada udang bermasalah dengan ukuran yang masih relative kecil (phase bulan pertama) dan populasinya menurun drastis, sehingga jika kondisi seperti ini dilanjutkan hanya akan memperbesar tingkat kerugian yang akan diperoleh).
2. Panen dini, yaitu kegiatan pemanenan yang dilakukan pada suatu petakan tambak dengan kondisi udang bermasalah sebelum dianggap layak untuk dipanen secara normal. Panen dini dilakukan dengan dasar pertimbangan untuk menekan tingkat kerugian financial jika kondisi tersebut dipertahankan. Cara melakukan panen dini adalah sama dengan cara panen normal, yaitu melalui tahapan-tahapan tertentu dan peralatan yang diperlukan (akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri).
Panen dini, jika ditinjau dari tingkat keuntungannya tidak semuanya merugikan secara financial, karena pada kondisi, ukuran dan kualitas udang tertentu meskipun terkena masalah jika pengambilan keputusan yang diambil adalah tepat, maka pada kondisi seperti ini masih dapat mendatangkan keuntungan financial (meskipun tidak optimal).
Secara garis besar pengambilan keputusan terkait dengan kegiatan panen bermasalah haruslah cepat berdasarkan pertimbangan dua variable yaitu:
1. Tingkat permasalahan pada udang. Seperti telah diketahui permasalahan udang pada dasarnya dapat muncul karena factor kondisi udang itu sendiri maupun karena terjangkitnya suatu jenis penyakit. Panen bermasalah lebih banyak dilakukan pada petakan tambak dengan udang terkena masalah, sehingga pengambilan keputusan terkait pemanenan perlu dilakukan secara cepat dan cermat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
2. Tingkat keuntungan financial, yaitu perbandingan antara harga jual udang yang dipanen karena bermasalah dibandingkan dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan sampai saat pelaksanaan panen bermasalah tersebut.
Kegiatan panen udang meskipun sebagai tahap akhir dari suatu proses budidaya udang dalam satu siklus budidaya (terutama untuk panen normal) merupakan tahapan yang sangat penting juga untuk dipahami. Kualitas udang dan sifat/tingkah laku udang merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipahami pada saat melakukan pemanenan udang. Pada kondisi tertentu (sering dijumpai di lapangan) udang mengalami penurunan kualitas yang sangat nyata pada saat dilakukan pemanenan, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap harga jual dan tingkat keuntungan yang diperoleh menjadi tidak optimal.
sumber:http://marindro-ina.blogspot.com
Jangan Terperangkap Target FCR (Food Conversion Ratio)
Jangan Terperangkap Target FCR (Food Conversion Ratio)
Pada pembahasan-pembahasan terdahulu telah dijelaskan mengenai FCR (Food Convertion Ratio) yaitu perbandingan (rasio) antara berat pakan yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total (biomass) udang yang dihasilkan pada saat itu. Sebagai contoh : pada suatu periode budidaya telah berhasil dipanen udang dengan biomass 2 ton sedangkan berat pakan total yang telah digunakan seberat 3 ton, maka besaran FCR pada saat itu adalah sebesar 3 ton / 2 ton = 1.5.
Pada suatu usaha budidaya udang pada umumnya nilai FCR dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan baik secara teknis budidaya maupun secara finansial. Ditinjau dari segi teknis budidaya, nilai FCR terkait dengan parameter keberhasilan pengelolaan program pakan udang yang secara tidak langsung juga terkait dengan pengelolaan kualitas air dan kondisi/kualitas udang. Sedangkan secara finansial nilai FCR akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh pada satu periode budidaya karena pakan udang merupakan penyumbang biaya terbesar pada suatu usaha budidaya udang. Nilai FCR yang paling ideal biasanya berada pada kisaran 1.5 – 2.5 (tergantung dari media/kondisi lahan tambak yang digunakan).
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, maka kondisi yang sering terjadi adalah pada saat memulai kegiatan budidaya udang biasanya telah ditetapkan target nilai FCR yang harus dicapai. Hal seperti ini pada akhirnya dapat membuat kondisi dimana pengelolaan program pakan udang lebih mengacu pada target FCR daripada tingkat kebutuhan udang terhadap pakan pada saat itu. Secara psikologis, target FCR dapat mengakibatkan rasa khawatir jika nilai FCR akan membengkak atau dengan kata lain telah terjadi pemborosan pakan udang (tentu saja biaya produksi juga membengkak). Faktor psikologis seperti ini biasanya juga berpengaruh pada penyusunan program pemberian pakan udang yang kurang optimal karena lebih cenderung pada prinsip pengiritan pakan.
Program pemberian pakan yang mengacu pada target FCR tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan udang pada umumnya dapat mengakibatkan kondisi sebagai berikut:
1. Terlambat dalam pemberian pakan (terutama pakan buatan) pada phase bulan pertama, meskipun telah terindikasi ketersediaan pakan alami pada saat itu mulai berkurang/habis. Kondisi ini dapat mempengaruhi terhadap kondisi, populasi dan tingkat keseragaman udang yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada program pemberian pakan berikutnya.
2. Berat pakan per hari (pakan harian) yang diberikan ditentukan oleh estimasi populasi dan biomass udang yang mengacu pada target FCR yang telah ditentukan. Perubahan berat pakan per hari lebih cenderung mengarah pada perubahan konstan dan tidak berfluktuatif sesuai dengan tingkat kebutuhan udang pada saat-saat tertentu.
3. Adanya persepsi yang kurang benar terhadap frekuensi pemberian pakan, yaitu semakin banyak frekuensi pemberian pakan maka akan mengakibatkan FCR membengkak.
Pada kondisi tersebut di atas frekuensi pemberian pakan harian lebih mengarah pada kuantitas total pakan harian yang terdistribusi pada tiap-tiap frekuensi pakan dan tidak mengacu kemampuan udang dalam mengkonsumsi pakan serta seberapa lama/sering udang akan membutuhkan pakan lagi.
Sebagai contoh: Populasi udang dalam suatu petakan tambak membutuhkan total pakan per hari adalah 20 kg. Pada saat itu misalnya kemampuan populasi udang tersebut rata-rata hanya 4 kg, maka secara ideal frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali sehari. Jika frekuensi pakan harian hanya dilakukan 4 kali, meskipun berat total pakan per hari adalah sama yaitu 20 kg, maka setiap kali pemberian pakan rata-rata adalah 5 kg dan ini berarti ada 1 kg pakan yang tidak terkonsumsi setiap kalinya atau 4 kg per hari.
4. Terkait dengan penjelasan no 1, 2 dan 3 tersebut di atas maka hasil panen udang pada akhirnya juga tidak dapat optimal baik dari segi kualitas, kuantitas (biomass) sekaligus tingkat keuntugan yang diperoleh, meskipun secara target FCR dapat terpenuhi.
Berdasarkan penjelasan dan ilustrasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan usaha budidaya udang terutama pengelolaan program pakan sebaiknya kita tidak terperangkap oleh target FCR tanpa memperhatikan kondisi dan tingkat kebutuhan udang. Memang target FCR memiliki peranan yang penting sebagai pedoman program pakan, dan jangan sampai hal ini membuat suatu kondisi bahwa udang harus mengikuti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus mengikuti kebutuhan udang.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com
Pada pembahasan-pembahasan terdahulu telah dijelaskan mengenai FCR (Food Convertion Ratio) yaitu perbandingan (rasio) antara berat pakan yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total (biomass) udang yang dihasilkan pada saat itu. Sebagai contoh : pada suatu periode budidaya telah berhasil dipanen udang dengan biomass 2 ton sedangkan berat pakan total yang telah digunakan seberat 3 ton, maka besaran FCR pada saat itu adalah sebesar 3 ton / 2 ton = 1.5.
Pada suatu usaha budidaya udang pada umumnya nilai FCR dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan baik secara teknis budidaya maupun secara finansial. Ditinjau dari segi teknis budidaya, nilai FCR terkait dengan parameter keberhasilan pengelolaan program pakan udang yang secara tidak langsung juga terkait dengan pengelolaan kualitas air dan kondisi/kualitas udang. Sedangkan secara finansial nilai FCR akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh pada satu periode budidaya karena pakan udang merupakan penyumbang biaya terbesar pada suatu usaha budidaya udang. Nilai FCR yang paling ideal biasanya berada pada kisaran 1.5 – 2.5 (tergantung dari media/kondisi lahan tambak yang digunakan).
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, maka kondisi yang sering terjadi adalah pada saat memulai kegiatan budidaya udang biasanya telah ditetapkan target nilai FCR yang harus dicapai. Hal seperti ini pada akhirnya dapat membuat kondisi dimana pengelolaan program pakan udang lebih mengacu pada target FCR daripada tingkat kebutuhan udang terhadap pakan pada saat itu. Secara psikologis, target FCR dapat mengakibatkan rasa khawatir jika nilai FCR akan membengkak atau dengan kata lain telah terjadi pemborosan pakan udang (tentu saja biaya produksi juga membengkak). Faktor psikologis seperti ini biasanya juga berpengaruh pada penyusunan program pemberian pakan udang yang kurang optimal karena lebih cenderung pada prinsip pengiritan pakan.
Program pemberian pakan yang mengacu pada target FCR tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan udang pada umumnya dapat mengakibatkan kondisi sebagai berikut:
1. Terlambat dalam pemberian pakan (terutama pakan buatan) pada phase bulan pertama, meskipun telah terindikasi ketersediaan pakan alami pada saat itu mulai berkurang/habis. Kondisi ini dapat mempengaruhi terhadap kondisi, populasi dan tingkat keseragaman udang yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada program pemberian pakan berikutnya.
2. Berat pakan per hari (pakan harian) yang diberikan ditentukan oleh estimasi populasi dan biomass udang yang mengacu pada target FCR yang telah ditentukan. Perubahan berat pakan per hari lebih cenderung mengarah pada perubahan konstan dan tidak berfluktuatif sesuai dengan tingkat kebutuhan udang pada saat-saat tertentu.
3. Adanya persepsi yang kurang benar terhadap frekuensi pemberian pakan, yaitu semakin banyak frekuensi pemberian pakan maka akan mengakibatkan FCR membengkak.
Pada kondisi tersebut di atas frekuensi pemberian pakan harian lebih mengarah pada kuantitas total pakan harian yang terdistribusi pada tiap-tiap frekuensi pakan dan tidak mengacu kemampuan udang dalam mengkonsumsi pakan serta seberapa lama/sering udang akan membutuhkan pakan lagi.
Sebagai contoh: Populasi udang dalam suatu petakan tambak membutuhkan total pakan per hari adalah 20 kg. Pada saat itu misalnya kemampuan populasi udang tersebut rata-rata hanya 4 kg, maka secara ideal frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali sehari. Jika frekuensi pakan harian hanya dilakukan 4 kali, meskipun berat total pakan per hari adalah sama yaitu 20 kg, maka setiap kali pemberian pakan rata-rata adalah 5 kg dan ini berarti ada 1 kg pakan yang tidak terkonsumsi setiap kalinya atau 4 kg per hari.
4. Terkait dengan penjelasan no 1, 2 dan 3 tersebut di atas maka hasil panen udang pada akhirnya juga tidak dapat optimal baik dari segi kualitas, kuantitas (biomass) sekaligus tingkat keuntugan yang diperoleh, meskipun secara target FCR dapat terpenuhi.
Berdasarkan penjelasan dan ilustrasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan usaha budidaya udang terutama pengelolaan program pakan sebaiknya kita tidak terperangkap oleh target FCR tanpa memperhatikan kondisi dan tingkat kebutuhan udang. Memang target FCR memiliki peranan yang penting sebagai pedoman program pakan, dan jangan sampai hal ini membuat suatu kondisi bahwa udang harus mengikuti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus mengikuti kebutuhan udang.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com
Bagaimana mencapai Nilai FCR (Food Conversion Ratio) Secara Optimal
Bagaimana mencapai Nilai FCR (Food Conversion Ratio) Secara Optimal
Nilai FCR optimal dapat diartikan sebagai FCR yang memiliki nilai keuntungan (profit value) yang optimal baik secara teknis budidaya maupun financial yang diperoleh melalui pengelolaan program pakan sesuai dengan tingkat kebutuhan udang dalam satu siklus periode budidaya udang.
Upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal dapat dilakukan melalui beberapa alternative kegiatan sebagai berikut:
1. Lakukan pengamatan secara cermat terhadap tingkah laku benur/udang kecil pada saat fase bulan pertama (awal tebar – sub fase minggu ke 4) untuk mengetahui kebutuhan udang terhadap suplai pakan dari luar (pakan buatan) yang disebabkan oleh kurangnya/habisnya stok pakan alami di dalam perairan tambak. Jika benur/udang kecil sudah menunjukkan tingkah laku (konvoi, merayap di dinding tambak, dsb), segera mulai dilakukan pemberian pakan dengan system “blind feeding”.
2. Pada saat melakukan “blind feeding” sebaiknya sudah mulai dilakukan cek pakan di anco secara kasar untuk melakukan estimasi kebutuhan populasi udang terhadap pakan per harinya.
3. Jika berdasarkan cek pakan di anco tersebut di atas telah dapat diestimasikan kebutuhan pakan hariannya, maka sebaiknya program pakan sudah mulai terukur. Pada kondisi ini, frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 3 kali sehari.
4. Lakukan sampling udang pada saat awal bulan kedua atau pada saat udang berukuran sekitar 2.5 gram – 5 gram (bisa dilakukan melalui sampling anco maupun sampling jala). Kegiatan sampling awal ini bertujuan untuk mengestimasi tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.
Hasil sampling awal ini dapat digunakan untuk menentukan program pakan yang lebih terukur dan terarah. Jika populasi dan kondisi udang relative bagus maka frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali.
Penjelasan terkait dengan frekuensi dan simulasi program pakan sudah diuraikan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.
5. Pada saat program pakan yang telah disusun secara terukur dan terarah hal yang mendasar yang perlu diperhatikan adalah lakukan penyesuaian program pakan tersebut berdasarkan hasil pengamatan/cek pakan di anco agar sesuai dengan tingkat kebutuhan udang yang cenderung berfluktuasi tergantung dari kondisi dan kualitas udang. Keberadaan jumlah pakan dianco pada saat cek anco dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu (i) pakan habis, (ii) pakan masih tersisa dan (iii) pakan utuh.
Jika pakan dianco habis pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang relative bagus, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan jumlah pakan harian. Lakukan hal yang sama pada kondisi yang sama pula.
Jika pakan dianco masih tersisa pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang mengalami penurunan, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan jumlah pakan harian. Jika kondisi ini terjadi selama beberapa hari maka dapat dilakukan pemberian pakan segar untuk mengembalikan nafsu makan udang. Lakukan penyesuaian program pakan lagi jika nafsu makan udang sudah normal kembali.
Jika pakan di anco ternyata masih utuh, maka kondisi seperti ini menandakan bahwa pakan tidak terkonsumsi sama sekali oleh udang. Kondisi ini dapat mengindikasikan telah terjadi masalah yang serius bagi udang. Lakukan pengurangan pakan secara drastis, selain itu lakukan pula pengecekan dasar tambak untuk mengetahui apakah telah terjadi kematian massal udang di dalam tambak. Keputusan yang perlu diambil terhadap kondisi seperti ini tergantung pada hasil cek dasar tambak dan perkembangan kondisi udang.
6. Lakukan sampling udang (menggunakan jala) secara rutin dan periodik (10 harian – 2 mingguan) untuk mengestimasi perkembangan tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.
Hasil sampling secara periodik ini dapat digunakan sebagai alat kontrol untuk mengestimasikan perkembangan nilai FCR (Food Conversion Ratio) secara optimal.
Beberapa upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal seperti tersebut di atas merupakan upaya secara umum yang dapat dilakukan, dalam implementasinya upaya-upaya tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan media tambak yang digunakan. Sekali lagi prinsip utama yang perlu digunakan adalah jangan sampai udang menuruti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus menuruti kebutuhan udang.
sumber: http://marindro-ina.blogspot.com
Nilai FCR optimal dapat diartikan sebagai FCR yang memiliki nilai keuntungan (profit value) yang optimal baik secara teknis budidaya maupun financial yang diperoleh melalui pengelolaan program pakan sesuai dengan tingkat kebutuhan udang dalam satu siklus periode budidaya udang.
Upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal dapat dilakukan melalui beberapa alternative kegiatan sebagai berikut:
1. Lakukan pengamatan secara cermat terhadap tingkah laku benur/udang kecil pada saat fase bulan pertama (awal tebar – sub fase minggu ke 4) untuk mengetahui kebutuhan udang terhadap suplai pakan dari luar (pakan buatan) yang disebabkan oleh kurangnya/habisnya stok pakan alami di dalam perairan tambak. Jika benur/udang kecil sudah menunjukkan tingkah laku (konvoi, merayap di dinding tambak, dsb), segera mulai dilakukan pemberian pakan dengan system “blind feeding”.
2. Pada saat melakukan “blind feeding” sebaiknya sudah mulai dilakukan cek pakan di anco secara kasar untuk melakukan estimasi kebutuhan populasi udang terhadap pakan per harinya.
3. Jika berdasarkan cek pakan di anco tersebut di atas telah dapat diestimasikan kebutuhan pakan hariannya, maka sebaiknya program pakan sudah mulai terukur. Pada kondisi ini, frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 3 kali sehari.
4. Lakukan sampling udang pada saat awal bulan kedua atau pada saat udang berukuran sekitar 2.5 gram – 5 gram (bisa dilakukan melalui sampling anco maupun sampling jala). Kegiatan sampling awal ini bertujuan untuk mengestimasi tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.
Hasil sampling awal ini dapat digunakan untuk menentukan program pakan yang lebih terukur dan terarah. Jika populasi dan kondisi udang relative bagus maka frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali.
Penjelasan terkait dengan frekuensi dan simulasi program pakan sudah diuraikan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.
5. Pada saat program pakan yang telah disusun secara terukur dan terarah hal yang mendasar yang perlu diperhatikan adalah lakukan penyesuaian program pakan tersebut berdasarkan hasil pengamatan/cek pakan di anco agar sesuai dengan tingkat kebutuhan udang yang cenderung berfluktuasi tergantung dari kondisi dan kualitas udang. Keberadaan jumlah pakan dianco pada saat cek anco dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu (i) pakan habis, (ii) pakan masih tersisa dan (iii) pakan utuh.
Jika pakan dianco habis pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang relative bagus, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan jumlah pakan harian. Lakukan hal yang sama pada kondisi yang sama pula.
Jika pakan dianco masih tersisa pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang mengalami penurunan, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan jumlah pakan harian. Jika kondisi ini terjadi selama beberapa hari maka dapat dilakukan pemberian pakan segar untuk mengembalikan nafsu makan udang. Lakukan penyesuaian program pakan lagi jika nafsu makan udang sudah normal kembali.
Jika pakan di anco ternyata masih utuh, maka kondisi seperti ini menandakan bahwa pakan tidak terkonsumsi sama sekali oleh udang. Kondisi ini dapat mengindikasikan telah terjadi masalah yang serius bagi udang. Lakukan pengurangan pakan secara drastis, selain itu lakukan pula pengecekan dasar tambak untuk mengetahui apakah telah terjadi kematian massal udang di dalam tambak. Keputusan yang perlu diambil terhadap kondisi seperti ini tergantung pada hasil cek dasar tambak dan perkembangan kondisi udang.
6. Lakukan sampling udang (menggunakan jala) secara rutin dan periodik (10 harian – 2 mingguan) untuk mengestimasi perkembangan tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.
Hasil sampling secara periodik ini dapat digunakan sebagai alat kontrol untuk mengestimasikan perkembangan nilai FCR (Food Conversion Ratio) secara optimal.
Beberapa upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal seperti tersebut di atas merupakan upaya secara umum yang dapat dilakukan, dalam implementasinya upaya-upaya tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan media tambak yang digunakan. Sekali lagi prinsip utama yang perlu digunakan adalah jangan sampai udang menuruti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus menuruti kebutuhan udang.
sumber: http://marindro-ina.blogspot.com
ACAR IKAN BANDENG
ACAR IKAN BANDENG
(Rembang)
1. BAHAN
Ikan bandeng 3 ekor
2. BUMBU
1) Bawang merah 4 buah
2) Kunyit ½ rsj
3) Bawang putih 2 siung
4) Gula merah 1 sendok teh
5) Lombok rawit 2 ons
6) Cuka 1 sendok makan
7) Kemiri 5 biji
8) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Ikan dibersihkan, digoreng.
2) Lombok rawit dibelah dua.
3) Semua bumbu dihaluskan, ditumis, sesudah masak diberi air ± 1
cangkir, cuka dimasukkan.
4) Terakhir ikan goreng dimasukkan diaduk-aduk sampai rata, segera
diangkat setelah mendidih.
Jakarta, Maret 2001
Sumber : Buku Kumpulan Masakan Indonesia
Disadur oleh : Ika Budiawati, Kemal
(Rembang)
1. BAHAN
Ikan bandeng 3 ekor
2. BUMBU
1) Bawang merah 4 buah
2) Kunyit ½ rsj
3) Bawang putih 2 siung
4) Gula merah 1 sendok teh
5) Lombok rawit 2 ons
6) Cuka 1 sendok makan
7) Kemiri 5 biji
8) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Ikan dibersihkan, digoreng.
2) Lombok rawit dibelah dua.
3) Semua bumbu dihaluskan, ditumis, sesudah masak diberi air ± 1
cangkir, cuka dimasukkan.
4) Terakhir ikan goreng dimasukkan diaduk-aduk sampai rata, segera
diangkat setelah mendidih.
Jakarta, Maret 2001
Sumber : Buku Kumpulan Masakan Indonesia
Disadur oleh : Ika Budiawati, Kemal
LODEH IKAN TJUTJUT
LODEH IKAN TJUTJUT
(Rembang)
1. BAHAN
1) Ikan tjutjut ½ kg
2) Kelapa ½ butir
2. BUMBU
1) Bawang merah 3 buah
2) Kemiri 2 biji
3) Bawang putih 1 siung
4) Daun salam 4 lembar
5) Lombok merah 4 buah
6) Kayu manis 1 jari
7) Jahe 1 rsj
8) Gula merah 1 sendok makan
9) Laos 1 potong
10) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Ikan tjutjut dibersihkan.
2) Kelapa dikupas diparut, dibuat santan.
3) Bumbu-bumbu ditumbuk halus, kecuali daun salam, lombok, bawang
merah, bawang putih diiris-iris.
4) Lombok, bawang merah, bawang putih digoreng sampai kering,
kemudian bumbu ditambahkan.
5) Santan dituangkan, sambil diaduk-aduk sampai mendidih.
6) Diberi garam dan daun salam, dibiarkan sampai masak.
Jakarta, Maret 2001
Sumber : Buku Kumpulan Masakan Indonesia
Disadur oleh : Ika Budiawati, Kemal
(Rembang)
1. BAHAN
1) Ikan tjutjut ½ kg
2) Kelapa ½ butir
2. BUMBU
1) Bawang merah 3 buah
2) Kemiri 2 biji
3) Bawang putih 1 siung
4) Daun salam 4 lembar
5) Lombok merah 4 buah
6) Kayu manis 1 jari
7) Jahe 1 rsj
8) Gula merah 1 sendok makan
9) Laos 1 potong
10) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Ikan tjutjut dibersihkan.
2) Kelapa dikupas diparut, dibuat santan.
3) Bumbu-bumbu ditumbuk halus, kecuali daun salam, lombok, bawang
merah, bawang putih diiris-iris.
4) Lombok, bawang merah, bawang putih digoreng sampai kering,
kemudian bumbu ditambahkan.
5) Santan dituangkan, sambil diaduk-aduk sampai mendidih.
6) Diberi garam dan daun salam, dibiarkan sampai masak.
Jakarta, Maret 2001
Sumber : Buku Kumpulan Masakan Indonesia
Disadur oleh : Ika Budiawati, Kemal
Langganan:
Postingan (Atom)