Tampilkan postingan dengan label Udang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Udang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 April 2012

Udang Kipas | Udang Lipan | Udang Ronggeng | Mantis Shirmp

Udang Lipan


Udang kipas, Atau kadang juga di sebut udang Lipan atau Udang Ronggeng ( Mantis Shirmp dalam bahasa Inggris alias Udang Belalang) itu sebutan para masyarakat pesisir pantai. bagi masyarakat pesisir pantai tidak heran lagi dengan udang kipas seperti ini. selain enak dimakan udang ini konon katanya bisa menyembuhkan penyakit yang tidak berhenti-henti buang air kecil. dan untuk mengobati ngompol  pada anak kecil. Udang ini hidup di air asin, pesisir pantai dan di tambak-tambak yang perairannya air asin, panjang udang kipas ini sekitar 15cm sampai 20cm. Sayangnya udang seperti ini tidak laku di pasaran ikan, selain peminatnya sedikit udang ini tidak banyak dagingnya untuk dikonsumsi, dan di anggap aneh bagi yang belum sama sekali melihat / mengkonsumsinya,

padahal di berbagai negara lainnya udang jenis ini sangatlah populer, seperti di Jepang, udang Kipas/udang Lipan ini merupakan bahan baku untuk membuat masakan Shasami (dalam bahasa jepang di sebut shako (蝦蛄))

di China udang ini juga populer sebagai makanan yang cukup mahal, orang Canton menyebutnya "pissing shrimp" (攋尿蝦,lài niào xiā, dalam bahasa Mandarin dan laaih liu hā dalam Bahasa Canton Modern)

Udang Jenis ini juga sangat populer di Philiphina, Thailand, juga sangat populer di negara2 mediterania sampai ke Eropa  

menurut catatan dari beberapa sumber, tidak kurang dari 400 spesies jenis udang ini di seluruh dunia, ciri khas udang ini ialah tubuhnya yang panjang dan mempunyai capit terbalik yang menghadap ke dalam seperti belalang

Minggu, 08 April 2012

Budidaya Udang


Udang merupakan makanan yang banyak digemari masyarakat. Harganya  tergolong  tidak murah, budidaya udang merupakan salah satu  bisnis yang menguntungkan. Namun keberhasilan budidaya udang dapat tercapai jika dilakukan dengan cara yang tepat. Nah berikut cara dan apa saja yang diperlukan dalam Budidaya Udang:


1. Lokasi Budidaya Udang

Lokasi yang cocok untuk tambak udang yaitu pada daerah pantai yang mempunyai tanah bertekstur liat atau liat berpasir yang mudah dipadatkan sehingga mampu menahan air dan tidak mudah pecah.
- Air yang baik yaitu air payau dengan salinitas 0-33 ppt dengan suhu optimal 26 - 300C dan bebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya.
- Mempunyai saluran air masuk/inlet dan saluran air keluar/outlet yang terpisah.
- Mudah mendapatkan sarana produksi yaitu benur, pakan, pupuk , obat-obatan dan lain-lain.

2.Bibit (benur)

Benur yang baik mempunyai tingkat kehidupan (Survival Rate/SR) yang tinggi, daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi, berwarna jelas, sehat dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu letakkan sejumlah benur dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak.

3.Pakan Udang

Pakan udang ada dua macam, yaitu pakan alami yang terdiri dari plankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk). Pakan yang lain adalah pakan buatan berupa pelet.  Karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme.
Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
a. Umur 1-10 hari pakan 01
b. Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02
c. Umur 16-30 hari pakan 02
d. Umur 30-35 campuran 02 dengan 03
e. Umur 36-50 hari pakan 03
f. Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S
(jika memakai 04S, diberikan hingga umur 70 hari).
g. Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata mencapai 50, digunakan pakan 05 hingga panen.
Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari.
Untuk meningkatkan pertumbuhan udang, perlu penambahan nutrisi lengkap dalam pakan yaitu dengan menambahkan POC NASA yang mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk umur dibwah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen.

4.Pengisian Air Kolam

Setelah dibiarkan 3 hari, air(tawar) dimasukkan ke tambak. Pemasukan air yang pertama setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari, agar bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha.

5.Penebaran Benur Udang

 Tebar benur dilakukan setelah air benar-benar siap, yaitu setelah plankton tumbuh yang ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan yang baru. Tahap penebaran benur adalah :
- Adaptasi suhu. Plastik wadah benur direndam selama 15 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik.
- Adaptasi udara. Plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya. Biarkan terbuka dan terapung selama 15 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.
- Adaptasi kadar garam/salinitas. Dilakukan dengan cara memercikkan air tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.
- Pengeluaran benur. Dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik ke air tambak. Biarkan benur keluar sendiri ke air tambak. 

6.Pemeliharaan Udang

Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan kualitas air harus selalu stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis. Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan TON dengan dosis 1 - 2 botol TON/ha untuk menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan-bahan beracun dari luar tambak.
Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui pekembanghan udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi perlakuan kapur Zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan TON.
Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap menunjukkkan kondisi air yang jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik dalam tambak yang semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, yang ditandai dengan tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, yang dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme.

7.Pemanenan Udang

Udang dipanen apabila telah tercapainya bobot panen (panen normal) dan karena terserang penyakit (panen emergency). Panen normal biasanya dilakukan pada umur kurang lebih 120 hari, dengan size normal rata-rata 40 - 50. Sedang panen emergency dilakukan jika udang terserang penyakit yang ganas dalam skala luas (misalnya SEMBV/bintik putih). Karena jika tidak segera dipanen, udang akan habis/mati.
Udang yang dipanen dengan ciri-ciri yang baik adalah yang berukuran besar, kulit keras, bersih, licin, bersinar, alat tubuh lengkap, masih hidup dan segar. Penangkapan udang pada saat panen dapat dilakukan dengan jala tebar atau jala tarik dan diambil dengan tangan. Saat panen yang baik yaitu malam atau dini hari, agar udang tidak terkena panas sinar matahari sehingga udang yang sudah mati tidak cepat  merah/rusak.

8. Penyakit dan Penanganannya

Agar budidaya Udang tidak Merugi perlu dilakukan upaya penanganan terhadap penyakit.Beberapa penyakit yang sering menyerang udang adalah ;
  •   Nekrosis. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan TON 1-2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponen atau dengan pengapuran.
  •   Insang Merah. Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya
  • Bintik Putih. Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan TON.
  •  Bintik Hitam/Black Spot. Disebabkan oleh virus Monodon Baculo Virus (MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak.
  •  Kotoran Putih/mencret. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin), juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.
Penyakit yang sering ditemukan pada budidaya udang sebagian besar disebabkan oleh penurunan kualitas kolam . Oleh karena itu perlakuan TON sangat diperlukan baik pada saat pengolahan lahan maupun saat pemasukan air baru.


Selamat Mencoba sukses berwirausaha !
Mau tau info menarik lainnya? klik disini

Jumat, 06 April 2012

Budidaya Udang Vanamei | Pengelolaan Pakan

Pemeliharaan secara intensif dewasa ini pada prinsipnya hanya mengandalkan makanan tambahan berupa pellet atau pellet yang dihancurkan menjadi bubuk dan butiran. Makanan yang diberikan akan menentukan pertumbuhan udang yang dipelihara (Deptan, 1996). Pengelolaan pakan meliputi: pemilihan jenis pakan, program pemberian pakan, pemberian pakan, waktu pemberian pakan, ancho, dan penyimpanan pakan. 

a. Pemilihan Jenis Pakan 
Pemilihan jenis pakan diperlukan sesuai dengan tingkatan umur dan berat udang. Pakan alami diperlukan udang pada awal penebaran. Dominasi plankton jenis Clorophyta dan Diatome adalah pakan alami yang baik, sedangkan pakan alami yang merugikan adalah Dinoflagellata dan Blue Green Algae. Pakan buatan (pellet) yang digunakan harus yang sesuai dengan kebutuhan tubuh udang berdasarkan berat udang. Pemberian pakan buatan dilakukan sejak penebaran (Aquaculture Division PT. Centralpertiwi Bahari, 2003). Kemudian Darmono (1991) mengatakan makanan udang dewasa dari ukuran post larva sampai panen biasanya adalah formula yang mempunyai komposisi protein, karbohidrat, lemak dan vitamin serta mineral yang tertentu. Komersialisasi makanan yang memiliki formula pakan sendiri - sendiri, dengan penganalisaan menunjukkan sebagai berikut protein kasar (5,00%), karbohidrat (3,60%), lemak (5,00%), abu (18,80%), dan air (5,00%). Penggunaan bahan protein yang bermutu sangat disarankan untuk mencegah penyakit defisiensi asam amino, sehingga dalam memilih bahan pakan protein harus memikirkan mutu kandungan asam amino essensialnya. 

b. Program Pemberian Pakan 
Aquaculture Division PT. Centralpertiwi Bahari (2003) mengatakan pemberian pakan pada udang Vannamei dibagi menjadi 2 pemberian pakan yaitu pemberian pakan pada bulan pertama (blind feeding) dan pemberian pakan pada bulan selanjutnya. Pemberian pakan pada bulan pertama dilaksanakan blind feeding mulai DOC (Day Of Culture) 1 sampai DOC 30. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian pakan pada bulan selanjutnya yang didasarkan dengan nasfu makan udang. Nafsu makan udang dilihat berdasarkan skoring anco. Sedangkan menurut Yukasano (2000), blind feeding adalah pemberian pakan terhadap udang secara maksimal. Pelaksanaan blind feeding dilakukan mulai dari DOC 1 sampai DOC 40. Pada saat blind feeding, pemberian pakan tidak mengalami pengurangan, walaupun pada kenyataannya udang tidak mau makan. Hal ini dimaksudkan untuk pembentukan air tambak dan tidak membuat FCR tinggi. Menurut Aquaculture Division PT. Centralpertiwi Bahari (2003), pemberian pakan udang setelah blind feeding, dilakukan berdasarkan nafsu makan udang. Hal yang perlu diperhatikan dalam program pemberian pakan dengan skoring anco yaitu FR, FCR dan nafsu makan udang. FR (feeding rate) yaitu presentasi yang digunakan untuk mencapai pertumbuhan optimal dan pemberian pakan yang tepat. FCR merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah biomassa udang yang dihasilkan. Nafsu udang makan sangat mempengaruhi dalam pembuatan program pemberian pakan udang. Hal yang mempengaruhi nafsu makan udang antara lain kondisi kualitas air, cuaca, kondisi dasar tambak yang kotor, suhu, kondisi pakan, periode moulting massal, penyakit, dan teknik pengoplosan pakan saat pergantian nomor pakan. 

c. Pemberian Pakan 
 Pemberian pakan ditebar di feeding area. Feeding area adalah bagian dasar tambak yang digunakan sebagai sasaran penebaran pakan dan dikondisikan selalu dalam keadaan bersih. Untuk keperluan itu dipasang kincir untuk mengumpulkan kotoran di dasar tambak agar tersentralisasi dan mudah dibersihkan/disipon. Feeding area ini memiliki lokasi yang berbeda sesuai dengan perkembangan pertumbuhan udang (Aquaculture Division PT. Centralpertiwi Bahari, 2003).

Kamis, 05 April 2012

Budidaya Udang Vanamei | Pengelolaan Kualitas Air

a. Pengisian air budidaya
Air media budidaya diambil dari air laut dengan menggunakan pompa. Kemudian air masuk dalam petakan tandon yang berukuran 0,7 ha. Petak tandon yang berjumlah satu petak digunakan untuk mengairi 3 unit yaitu unit B, unit C, dan unit D. Pada petak tandon diberikan sejenis ikan-ikanan seperti bandeng (Chanos chanos) dan tanpa ada perlakuan khusus. Pada awal pengisian air untuk budidaya dilakukan bersamaan dengan pemberantasan hama dan penyakit pada tahapan persiapan lahan. Pada saluran air dipasang saringan yang terbuat dari waring. Air dimasukkan ke dalam petakan dengan ketinggian air 120 - 150 cm dari dasar tambak. Selama pemeliharaan udang sampai DOC (Day of Culture) 30 hari, air tidak mengalami pergantian. Setelah umur 30 hari, penambahan air dilakukan seiring dengan kegiatan pembuangan lumpur dan kotoran melalui central drain dilakukan. Pengisian air akan dilakukan jika air berkurang setinggi 30 cm dari permukaan air normal. Sistem budidaya udang Vannamei yang digunakan adalah sistem pergantian air minimal (Less Water Exchange-LWE).
Mengenai pasok air media budidaya sesuai dengan pendapat DKP (2005), bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasukan air laut ke tambak antara lain adalah :
1). Penggunaan saringan halus berlapis pada setiap pipa atau pintu pasok air untuk mencegah masuknya carier ke dalam petakan tandon.
2). Penggunaan petak tandon sebagai sumber pasokan air budidaya.
3). Air di petak tandon dapat didesinfeksi biofiltrasi.
Tidak dilakukan treatment pada tandon lebih disebabkan karena dimungkinkan perairan laut selatan belum mengalami pencemaran. Tandonisasi bertujuan untuk mengendapkan air laut dan menyalurkan air ke petakan tambak.

Rabu, 04 April 2012

Budidaya Udang Vanamei | Penebaran Benur

a. Pemilihan benur

Benur yang digunakan adalah benur yang berasal dari hasil pemijahan kedua (F2) dari induk impor dan ukuran benur berkisar antara PL 9 - 14. Benur telah lulus dari tes uji PCR dengan hasil negatif dari WSSV, IHHNV, IMNV, dan TSV. Dengan tes uji PCR sudah dipastikan bahwa benur tersebut adalah benur yang berkualitas. Benur yang baik diketahui dengan cara pergerakan udang pada waskom dan shock salinity. Penilaian benur dengan pengamatan pergerakan udang dilakukan pada waskom. Pada waskom, air akan diputar sehingga membentuk arus. Benur yang baik yaitu benur yang melawan arus dan tidak menggerombol. Shock salinity dilakukan dengan cara pemindahan sampel benur pada air tawar selama 15 menit kemudian dikembalikan ke air laut. Benur dikatakan baik apabila benur pada shock salinity tidak ada benur yang mati. Pada kegiataan packing, juga dapat dilihat kualitas benur. Benur yang baik tidak akan menggerombol melainkan menyebar di seluruh kantong benur.

Packing benur menggunakan kantong plastik dan air yang bersuhu 23-240C dengan perbandingan air dan oksigen 1:2. Untuk menanggulangi stress selama perjalanan diberikan sejenis karbon ke dalam kantong benur. Setelah pemilihan benur, kemudian benur disampling dengan menghitung 2-4 kantong benur yang sudah dipacking. Hasil perhitungan tersebut akan diberikan kode, maka setiap kode akan mempunyai jumlah sendiri-sendiri sesuai dengan hitungan samplingnya. Kantong benur yang sudah dihitung dimasukan ke dalam kardus yang kemudian langsung ditata ke dalam kendaraan pengangkut benur. Sebuah kardus berisi 10 kantong benur. Setiap benur yang dikirim akan diberikan potongan 10 % dari jumlah benur tiap kode box untuk resiko dalam perjalanan. Adapun pengamatan kualitas benur melalui pergerakan benur dalam diwaskom dapat dilihat pada Gambar

Gambar. Pengamatan Benur dalam Waskom

Penebaran benur dilakukan sore hari dan malam hari. Hal tersebut dapat ditentukan dengan penjadwalan pengiriman benur. Benur yang dikirim disesuaikan dengan kualitas air tambak sehingga udang tidak terlalu strees dalam penebaran benur. Pada saat benur datang, maka akan dilakukan pengecekan dan perhitungan kembali pada kantong benur. Pengecekan dilakukan secara visual dengan mengamati kantong benur ada yang rusak atau bocor dan juga mengamati benur yang berada dalam kantong benur. Penghitungan benur kembali atau biasa disebut hitungan tambak dilakukan dengan mengambil secara acak 4 kantong dari tiap-tiap kode. Sedangkan untuk benur yang lainnya langsung dibongkar dari kardus yang kemudian kantong benur dimasukkan dalam petakan tambak untuk proses aklimatisasi. Kantong benur yang dimasukkan dalam petakan masih dalam keadaan tertutup. Hasil perhitungan dari tiap-tiap kantong kemudian dirata-rata dan kemudian dichek dengan jumlah hitungan hatchery yang sudah mengalami potongan dari perjalanan (hitungan netto). Hasil tersebut akan segera diberitahukan kepada pihak hatchery apabila ada kantong benur yang rusak atau bocor dan hitungan tambak berada dibawah hitungan netto hatchery. Pihak akan mengganti kantong benur yang bocor dan penambahan jumlah benur jika ada kesalahan dalam perhitungan hatchery. Hal tersebut dilakukan untuk melihat kualitas benur dan padat tebar yang berada dilapangan sehingga diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan.

b. Aklimatisasi

Aklimatisasi dilakukan secara konvensional. Proses aklimatisasi ada 2 yaitu aklimatisasi suhu dan aklimatisasi salinitas. Benur yang dimasukkan dalam petakan tambak dibiarkan mengapung selama 30 menit untuk penyesuaian terhadap suhu. Kemudian kantong benur dibuka dan dimasukkan air tambak sedikit demi sedikit untuk penyesuaian salinitas. Pada waktu membuka kantong benur ada 3 orang yang masuk dalam petakan tambak. Apabila kantong benur sudah terbuka semua, maka benur dapat dilepaskan ke petakan tambak. Benur ditebar dengan kepadatan 110 – 160 ekor/m2. Padat tebar pada petakan tambak CV. Daun Prima unit D ada yang mencapai 160 ekor/m2. Hal ini disebabkan karena jumlah benur hitungan tambak lebih banyak daripada jumlah benur hitungan hatchery sehingga menjadikan penebaran yang tinggi.

Selasa, 03 April 2012

Budidaya Udang Vanamei | Persiapan Budidaya Udang Vaname

1. Perbaikan Lahan
Kegiatan perbaikan lahan pada tambak meliputi perbaikan konstruksi dan peralatan tambak, pengeringan tambak, pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit dan penumbuhan plankton.
a. Perbaikan konstruksi dan peralatan tambak
Selama kegiatan budidaya, kontruksi dan peralatan pasti mengalami perubahan-perubahan fisik. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan konstruksi dan peralatan tambak sebelum kegiatan budidaya dimulai kembali. Konstruksi tambak yang rusak meliputi karpet yang berlubang dan karpet yang terbuka jahitanya. Untuk mengatasi karpet yang berlubang, karpet akan ditambal dan dijahit. Sedangkan yang terbuka jahitannya dilakukan penjahitan ulang. Alat yang digunakan dalam menjahit karpet adalah jarum bago dan benang nilon.
Perbaikan peralatan tambak yang rusak meliputi jembatan ancho yang rusak, ancho yang rusak, kincir, dan saluran pipa supercharge. Perbaikan peralatan dilakukan disesuaikan dengan seberapa besar kerusakannya, apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka dilakukan pengadaan kembali peralatan tambak. Setelah perbaikan peralatan maka peralatan ditempatkan di dalam tambak dan siap untuk digunakan.
Perbaikan konstruksi dan peralatan tambak. Pada proses budidaya berlangsung, pasti terjadi kerusakan pada konstruksi dan peralatan tambak. Hal tersebut harus segera diatasi agar dapat mempelancar proses budidaya. Adapun salah satu kegiatan perbaikan peralatan tambak dapat dilihat pada Gambar

b. Pengeringan lahan
Pengeringan lahan dilakukan dengan membersihkan tambak dari trisipan (Faunus sp) dan pengangkatan pasir dan lumpur. Kegiatan pembersihan tambak dilakukan dengan cara menyemprotkan air ke dasar dan dinding petakan. Alat yang digunakan untuk pembersihan tambak adalah sabit, sapu lidi, selang spiral, ember dan tempat pembuangan untuk trisipan (Faunus sp). Proses pengeringan lahan berlangsung selama 3-4 hari.

c. Pengisian air
Pengisian air pada tahap persiapan awal dilakukan sebanyak 2 kali. Pada pengisian air pertama ditujukan untuk pencucian tambak. Pencucian tambak dilakukan dengan menggunakan 1 ppm kaporit [CaCl(C03)]. Ketinggian air waktu pencucian tambak adalah 0,3 m dari dasar tambak. Waktu pemberian kaporit adalah sore hari agar reaksi berjalan optimal. Pencucian tambak dilakukan sehari semalam, kemudian air dibuang. Kegiatan pencucian tambak yang menggunakan kaporit tidak sesuai dengan pendapat Yukasano (2001), yaitu pencucian tambak menggunakan Nuvan/Booster/Saprofon. Penggunaan kaporit dirasa sudah cukup dalam proses pencucian tambak.
Pengisian air yang kedua ditujukan untuk pemberantasan hama penyakit dan air digunakan untuk media budidaya. Ketinggian air untuk pengisian yang kedua adalah sekitar 1,2 m dari dasar tambak atau sesuai kemampuan daya tampung air petakan tambak tersebut.
d. Pemberantasan hama dan penyakit
Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan setelah pencucian tambak. Pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan bestacin sebanyak 10 liter/ha. Pemberian bestacin dilakukan pada sore hari. Aplikasi Bestacin dilakukan 10 hari sebelum penebaran benur. Hal ini bertujuan agar residu dari Bestacin bisa terurai. Setelah aplikasi Bestacin, kincir dihidupkan selama 3 jam. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan selama 1 minggu dengan membiarkan air tambak. Setelah itu, air tambak ini akan dijadikan air media untuk pembesaran udang.
Penggunaan bestacin dalam tahap pemberantasan hama dapat juga digunakan saponin dan kaporit dalam tahap pemberantasan hama dan penyakit. Bestasin merupakan sejenis insektisida aktif yang dapat membunuh jenis ikan-ikanan, kepiting dan udang-udangan. Aplikasi Bestasin yang dilakukan 10 hari sebelum penebaran benur bertujuan agar residu dari bestacin bisa teruai.
e. Penumbuhan plankton
Penumbuhan plankton pada persiapan lahan dilakukan dengan cara fermentasi dan aplikasi probiotik. Penumbuhan plankton dilakukan setelah air budidaya dimasukan. Fermentasi yang dibuat dengan campuran 20 liter molase dengan 2 kg pakan udang bentuk serbuk. Penebaran hasil fermentasi dilakukan dengan aplikasi probiotik. Dosis aplikasi probiotik adalah 40 liter per 2 hari. Penebaran fermentasi dan probiotik dilakukan pada pagi hari. Pemberian fermentasi dan probiotik dilakukan 3 hari sebelum penebaran benur. Selama 3 hari kincir dinyalakan 2 buah untuk membantu pengadukan.
Penumbuhan plankton dengan menggunakan fermentasi. Hal ini diharapkan fermentasi dapat langsung diuraikan oleh probiotik sehingga menghasilkan unsur hara yang diperlukan untuk tumbuhnya plankton. Tetapi dapat juga penumbuhan plankton menggunakan pupuk buatan. Penggunaan pupuk buatan dalam tahap pemupukan ditakutkan yang tumbuh adalah lumut sutra (Enteromorpha sp). Lumut sutra (Enteromorpha sp) dapat menjerat benur udang yang mencari makan, sehingga akan mengakibatkan kematian udang

Minggu, 18 Maret 2012

Teknik Pemijahan Udang Galah | Giant Fresh Water (Macrobrachium rosenbergii de Man.)

TEKNIK PEMIJAHAN UDANG GALAH / GIANT FRESH WATER
(Macrobrachium rosenbergii de Man.)



Nama : Rahma Nuraini
NIM : 10604082

Udang galah merupakan udang air tawar yang berukuran cukup besar dan rasa yang lezat
sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Udang konsumsi ukuran 20—30 ekor/kg di pasar lokal dapat dijual dengan harga Rp35.000—
Rp50.000/kg. Maka untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut dibutuhkan suatu teknik yang dapat
memproduksi udang galah dalam skala yang cukup besar.

BIOLOGI
Udang galah termasuk famili Palamonidae. Badan udang terdiri atas 3 bagian : kepala dan
dada (Cephalothorax), badan (Abdomen) serta ekor (Uropoda). Cephalothorax dibungkus oleh kulit
keras, di bagian depan kepala terdapat tonjolan karapas yang bergerigi disebut rostrum pada bagian
atas sebanyak 11‐13 buah dan bagian bawah 8‐14 buah.
Udang galah hidup pada dua habitat, pada stadia larva hidup di air payau dan kembali ke
air tawar pada stadia juvenil hingga dewasa. Pada stadia larva perubahan metamorfose terjadi
sebanyak 11 kali dan berlangsung selama 30‐35 hari. Udang galah bersifat omnivora, cenderung aktif
pada malam hari.
Perbedaan antara udang jantan dan udang betina :
1. Udang jantan :
• Relatif lebih besar
• Pasangan kaki jalan yang kedua relatif lebih besar dan panjang (bahkan dapat mencapai 1,5
kali panjang total tubuhnya)
• Bagian perut lebih ramping
• Ukuran pleuron lebih pendek
• Alat kelamin terdapat pada basis pasangan kaki jalan kelima
• Pasangan kaki jalan terlihat lebih rapat dan lunak.
2. Udang betina :
• Tubuh lebih kecil
• Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh lebih besar, tetapi tidak sebesar dan sepanjang
udang jantan
• Bagian perut lebih besar
• Pleuron memanjang
• Alat kelamin terletak pada pangkal kaki ketiga, merupakan suatu lubang yang disebut
thelicum.

PROSES REPRODUKSI
Dalam prakteknya, kegiatan pemijahan secara alami adalah berupa memasangkan induk
jantan dan betina yang matang gonad/siap kawin ke dalam wadah pemeliharaan yang sama. Tidak
seperti pada proses perkawinan ikan budidaya lainnya ‐misalnya ikan mas‐‐, proses pemijahan dapat
terjadi dalam waktu yang relatif singkat dan hanya hanya perlu sekitar satu atau dua hari. Ikan yang
matang gonad akan memijah/kawin secara alami. Pada pemijahan udang, proses perkawinan sangat
dipengaruhi dan berkaitan erat dengan proses moulting (pergantian kulit) pada induk betina. Dalam
hal ini proses moulting dan pemijahan dipengaruhi oleh kelenjar hormon yang terdapat pada tangkai
mata.
Sebelum terjadinya proses perkawinan, udang betina berganti kulit terlebih dahulu yang
disebut premattingmoult. Setelah udang betina mengalami pergantian kulit, keadaannya menjadi
lemah. Pada saat inilah perkawinan akan terjadi. Perkawinan udang galah berlangsung secara
sederhana. Udang jantan akan mengeluarkan spermanya dan sperma tersebut akan ditampung pada
spermatheca diantara kaki jalan betina. Proses selanjutnya adalah proses pembuahan yang terjadi di
luar tubuh induknya. Kejadian ini berlangsung pada saat telur turun melalui lubang kelamin, yang
kemudian akan dipindahkan ke tempat pengeraman. Telur yang terdapat pada spermatheca akan
dibuahi oleh sperma. Setelah pembuahan berlangsung, telur diletakkan pada ruang pengeraman
yang terdapat diantara kaki renang induk betina hingga saatnya menetas.
Di alam bebas proses pemijahan umunya terjadi di muara sungai. Di daerah tropis seperti
Indonesia proses pemijahan sangat mungkin terjadi sepanjang tahun. Secara biologi proses
pemijahan ini akan terjadi di muara sungai karena larva/naupli udang galah hanya akan dapat hidup
dan berkembang pada kondisi air payau (kadar garam 8‐12 ppt).

PEMILIHAN LOKASI
Untuk menentukan lokasi backyard hatchery udang skala rumah tangga tentu saja berbeda
dengan hatchery skala besar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi adalah :
1. Mudah memperoleh air tawar yang bersih, jernih, dan bebas dari limbah
2. Tersedia aliran listrik selama 24 jam
3. Tanah dasar bak cukup stabil
4. Dekat dengan pemasok nauplius, pakan, dan daerah pemasaran.

SARANA
1. Air Tawar
Air tawar ini diperlukan untuk pengenceran dalam membuat air payau (salinitas 8‐12 ppt),
pemeliharaan larva, pencucian bak dan peralatan pembenihan lain, pemeliharaan induk,
aklimatisasi, dan juga penampungan sementara pascalarva sebelum dipasarkan.
Air tawar ini harus bersih dari endapan lumpur dan kotoran lain, terbebas dari berbagai
pencemar (pestisida, minyak, pelumas, limbah pemukiman/industri, bahan‐bahan lain yang dapat
menurunkan kualitas air), pH 7,5‐8, dan kesadahannya 40‐100 ppm.
Sumber air dapat berasal dari PAM, tetapi karena suplainya tidak selalu teptap, maka
dilakukan penampungan dalam bak, lalu dialirkan melalui pipa‐pipa ke hatchery.
2. Air Laut
Air laut ini diperlukan untuk pengenceran dalam membuat air payau. Air laut harus terbebas
dari berbagai pencemar dan memiliki pH 7,5‐8.
3. Suplai Udara / Aerasi
Aerasi ini dibutuhkan untuk mendistribusikan oksigen, mendistribusikan pakan hidup, dan
juga mendistribusikan pakan buatan menjadi bergerak seperti pakan hidup (karena udang lebih
menyukai pakan hidup/yang bergerak).
Aerasi ini dilakukan secara terus‐menerus selama pemeliharaan dan penetasan kista
artemia. Sumber udara ini dapat berasal dari blower. Udara yang dipompakan blower dialirkan
melalui pipa pralon, lalu dialirkan pada selang‐selang kecil dari plastik untuk disebarkan (ujungnya
diberi batu aerasi agar dihasilkan gelembung udara kecil), lalu batu diletakkan pada dasar bak.
Jumlah aerator yang dibutuhkan tergantung dari volume air yang tersedia.
4. Tenaga Listrik
Listrik ini dibutuhkan untuk peneranagn, menjalankan blower, pompa air, heater, dll. Listrik
dapat berasl dari PLN, tetapi karena listrik dapat terputus maka perlu disediakannya generator
pembangkit listrik.
5. Wadah Penetasan dan Pemeliharaan
Wadah pemijahan yang dapat digunakan antara lain antara lain : kolam tanah, bak beton,
bak serat kaca maupun akuarium. Penggunaan wadah tersebut sangat terkait dengan tingkat
penanganan yang akan diterapkan, sebagai contoh pemijahan induk di akuarium memerlukan
penanganan yang lebih dimana memerlukan sistem aerasi, pergantian air yang rutin bahkan
mungkin pemanas air, sementara jumlah induk yang dipeliharapun terbatas. Oleh karena itu wadah
yang banyak yang dipakai di unit‐unit pembenihan umumnya berupa kolam atau bak beton dengan
luasan yang cukup memadai sesuai jumlah induk yang dikelola. Persyaratan wadah untuk kolam
pemijahan adalah sama seperti halnya wadah pemeliharaan untuk pematangan. Kolam memiliki
pemasukan air dan pintu pengeluaran. Debit air yang masuk ke kolam kurang lebih 0,5 l/detik. Kolam
dilengkapi pula dengan dengan system kemalir dan kobakan yang akan memudahkan pada saat
panen/seleksi.
Persiapan kolam yang perlu dilakukan meliputi, pengeringan, perbaikan dasar, pematang
serta kemalir kolam, dan pengapuran dengan dosis 50 gram/m2. Hal lain yang harus dilakukan adalah
pemasangan shelter/tempat berlindung bagi udang yang sedang berganti kulit. Untuk hal ini dapat
digunakan daun kelapa dan ranting pohon. Kedalaman air di kolam yang ideal untuk pemijahan
antara 80 ‐ 100 cm.
6. Bejana Kultur Makanan Alami
Bejana ini untuk kultur Artemia salina. Bejana ini dilengkapi pula dengan aerator.

SELEKSI INDUK
Beberapa persyaratan untuk mendapatkan induk yang baik :
1. Ukuran induk betina diatas 40 gr dan jantan diatas 50 gr
2. Kantung pengeraman penuh telur yang sudah berwarna abu‐abu
3. Organ tubuh lengkap / tidak cacat
4. Kulit bersih / bebas dari kotoran maupun organisme yang bersifat patogen
5. Umur induk antara 8‐20 bulan
6. Memilih induk yang sudah matang telur untuk yang kedua kali dan seterusnya, belum
dipijahkan lebih dari 7 kali.
7. Berasal dari udang yang pertumbuhannya cepat
Dalam pengamatan produksi di lapangan, hasil kegiatan pemijahan biasanya dapat
dievaluasi setelah 21 hari, dari mulai induk disatukan dalam wadah pemijahan. Seleksi induk matang
telur dilakukan dengan mengeringkan kolam pemijahan, kegiatan ini sebaiknya dilakukan pada pagi
hari. Pagi hari sebaiknya kolam sudah kering dan induk tertampung semua dalam kobakan, pada
kondisi ini air sebaiknya terus mengalir. Oleh karena itu sistem kemiringan kolam, kemalir dan
kobakan harus diterapkan dengan baik, sehingga induk terjaga dari kematian.
Induk‐induk dipanen secara hati‐hati dan dikumpulkan di hapa atau bak penampungan
yang sudah disiapkan sebelumnya dan dilengkapi dengan sistem air mengalir. Setelah kondisi induk
disegarkan beberapa saat, maka proses seleksi/pemilihan induk matang telur dapat segera
dilakukan. Berdasarkan pengamatan dilapangan tingkat kematangan telur induk dapat bervariasi
dari mulai oranye, kuning hingga colat keabu‐abuan. Induk yang siap ditetaskan adalah yang
berwarna coklat keabu‐abuan, induk ini secara hati‐hati harus segera dipindahkan ke bak penetasan
yang telah disiapkan sebelumnya (air yang digunakan untuk penetasan mengandung kadar garam
kurang lebih 5 ppt). Untuk induk‐induk dengan warna telur, oranye dan kuning dipisahkan pada
kolam atau bak Khusus untuk dimatangkan lebih lanjut. Sedangkan induk jantan dapat dipelihara
kembali di kolam pemulihan/pemeliharaan induk dan dipisah dari induk betina.
Dalam pengelolaan suatu unit usaha pembenihan udang galah, jumlah induk yang dikelola
sangat menentukan bagi keberhasilan suatu perencanaan produksi. Setelah target produksi juvenil
(post larva) ditetapkan sesuai dengan beberapa pertimbangan ekonomis, maka mulailah dilakukan
perhitungan secara mundur berapa jumlah induk yang harus dikelola, agar target produksi tersebut
dapat dicapai.
Terkait dengan Induk dan pengelolaanya maka beberapa hal yang perlu dicatat dan
diperhatikan dalam perencanaan produksi antara lain sebagai berikut:
1. Jumlah telur yang dihasilkan oleh betina (fecundity ). Sangat terkait dengan ukuran induk yang
digunakan, dan tingkat pemeliharaan yang dilakukan terkait pengelolaan air dan pakan yang
diberikan,
2. Data hubungan antara bobot induk matang telur terkait dengan jumlah larva/naupli yang
dihasilkan. Data ini mencerminkan kualitas telur yang dihasilkan,
3. Data jumlah prosentase jumlah induk yang bertelur dan matang telur dihubungkan jumlah
betina seluruhnya,
4. Jumlah jantan dan betina yang digunakan perbandingannya sesuai.
Perbandingan jantan dan betina dalam kegiatan pemijahan tergantung dari tujuannya.
Perbandingan jantan : betina (1 : 3) adalah sangat umum dilakukan untuk suatu kegiatan produksi
benih sebar untuk keperluan pembesaran. Adapun untuk tujuan perbanyakan induk ‐ induk alam
umumnya dilakukan dengan perbandingan (1 : 1).

PEMIJAHAN
Pada prinsipnya teknik pemijahan yang banyak diterapkan dalam pembenihan udang
galah adalah bersifat alamiah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Walaupun proses
perkawinan dipengaruhi proses moulting, yang mana terkait dengan kelenjar hormon yang ada pada
tangkai mata, namun dalam proses pemijahan, tidak lazim dilakukan pemotongan tangkai mata
(ablasi) untuk merangsang terjadinya proses tersebut.
Sebelum terjadi pemijahan udang betina terlebih dahulu berganti kulit (premating moult).
Pada kondisi ini udang lemah, setelah pulih kembali terjadilah pemijahan. Pemijahan dapat
dilakukan di kolam tanah, akuarium, bak beton atau fibreglass dengan padat tebar 4 ekor/m2.
Perbandingan induk jantan dan betina 1 : 3. Selama proses pemijahan induk diberi pakan pelet
dengan kandungan protein 30% sebanyak 5% per hari dari berat biomass dengan frekuensi
pemberian pakan 4 kali sehari, lama pemijahan 21 hari.
Dalam usaha budidaya, benih merupakan faktor penentu dan mutlak harus disediakan.
Untuk memenuhi pangsa pasar di luar maupun dalam negeri, diperlukan kesinambungan produksi
dan ketersediaan suplai benih yang memenuhi syarat baik kuantitas maupun kualitas. Benih udang
galah dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu mengumpulkan benih di alam dan juga dengan cara
memproduksi benih di balai‐balai pembenihan.

PEMELIHARAAN INDUK
Induk dipelihara di kolam dengan kepadatan 4 ekor/m2, diberi pakan berupa pelet dengan
kandungan protein 30% sebanyak 5% dari berat tubuh. Pada pemeliharaan induk ini, induk jantan
dan betina sebaiknya dipelihara secara terpisah, baik di kolam maupun di bak beton dilengkapi
dengan pintu pemasukan dan pengeluaran dengan kedalaman 80‐100 cm.

PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN
Kandungan nutrisi dari pakan yang diberikan akan sangat mempengaruhi kualitas telur
yang dihasilkan. Karena itu kandungan protein dari pakan yang diberikan sebaiknya tidak kurang dari
30%. Jumlah pemberian pakan adalah 3 ‐ 5 % dari bobot induk yang ada. Jumlah pemberian pakan
pada malam hari dianjurkan lebih banyak.
Pakan terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami dan pakan buatan/adonan. Artemia salina
banyak digunakan sebagai pakan alami. Artemia salina yang digunakan yang masih dalam stadium
naupilus. Cara penetasan kista Artemia salina :
1. Kista direndam di dalam larutan klorin 1,55 ppm selama 30 menit
2. Kista yang mengendap dicuci dengan air tawar bersih
3. Ditiriskan
4. Kista dimasukkan ke air payau yang beraerasi
Panen naupilus dilakukan setelah 24 jam untuk pakan larva yang berumur kurang dari 15 hari,
sedangkan untuk pakan larva 15 hari hingga pascalarva diberikan naupilus yang telah berumur 48
jam. Jumlah yang diberikan tergantung dari umur larva, semakin besar larva maka akan semakin
banyak kebutuhan naupilusnya.
Pakan buatan terdiri atas susu tanpa lemak (12 gr), tepung terigu (50 gr), kuning telur (120
gr), udang (650 gr), vitamin (10 mL), dan air (100‐200mL). Pakan alami diberikan 3 kali.hari,
sedangkan pakan buatan diberikan 2x/hari. Pakan buatan tersebut dibuat dengan cara :
1. Semua bahan (kecuali udang) dihaluskan dengan blender
2. Udang dubuang bagian kepala dan kulitnya
3. Udang digiling
4. Udang disatukan dengan seluru adonan, lalu dihaluskan
5. Adonan dimasukkan ke dalam loyang, lalu dikukus
6. Direndam dengan air
7. Disaring (besarnya mata saring sesuai kebutuhan)

PENETASAN TELUR
Bak penetasan yang digunakan berukuran (1 x1 x0,5) m2 dengan media air payau bersalinitas
3‐5 ppt, padat penebaran induk 25 ekor per bak. Selama penetasan telur, induk diberi makanan
berupa ketela rambat, singkong atau kentang dipotong‐potong kecil. Hal ini untuk menghindari
dampak negatif kualitas air. Pada suhu 28‐30°C telur akan menetas dalam waktu 6 ‐ 12 jam.
Kemudian larva dipindahkan ke dalam bak pemeliharaan.
Setelah dilakukan pemijahan seiama 21 hari, induk diseleksi yang matang telur dengan
warna telur abu‐abu. Induk tersebut diberi perlakuan dengan larutan Malachite green sebanyak 1,5
mg/liter, dengan cara perendaman selama 25 menit.

PEMELIHARAAN LARVA
Pemeliharaan larva udang galah dapat dilakukan pada bak fiber glass kerucut atau bak beton
yang sudagh dibersihkan dari kotoran dan dicuci dengan menggunakan larutan kaporit 10 ppm. Hal
yang perlu mendapat perhatian dalam pemeliharaan larva tersebut antara lain kualitas air dan
pemberian pakan baik pakan alami maupun pakan adonan yang disesuaikan dengan bukaan mulut
larva. Kepadatan larva yang ditebar 50 ekor/liter.
Pakan berupa nauplius artemia diberikan pagi dan sore hari pada hari ke‐3. Pada hari yang
sama diberikan juga pakan adonan sampai menjadi post larva dengan frekuensi pemberian 8
kali/hari. Penggantian air dilakukan setiap hari sebanyak 20‐30%, pada hari ke 10 mulai dilakukan
penyiphonan kotoran pada dasar bak. Kadar garam media pemeliharaan larva 10 ppt.
Setelah seluruh larva menjadi juvenil, kadar garam diturunkan secara bertahap sampai 0 ppt,
grading mulai dilakukan setelah larva berumur 30 hari, lalu pada hari ke 45 juvenil siap untuk
dipasarkan.
Pemberian pakan untuk larva dilakukan dengan cara :
1. Aerator dimatikan agar larva yang berda di dasar dapat naik ke permukaan.
2. Pakan ditaburkan secara merata
3. Aerator dinyalakan.
Setiap harinya dilakukan pembersihan bak pemeliharaan dengan cara :
1. Aerator dan heater dimatikan
2. dibiarkan selama 30 menit agar kotoran mengendap
3. kotoran diambil dengan cara dihisap dengan pipa pralon yang disambungkan dengan selang
4. di ujung selang dipasang saringan agar lara tidak dapat menembusnya
5. air diganti dengan yang baru
6. Aerator dan heater dibersihkan
7. Aerator dan heater difungsikan kembali.

PENCEGAHAN PENYAKIT
Selama periode pemeliharaan larva, sering terjadi serangan penyakit bakterial yang berasal
dari laut yakni Vibrio sp. dengan tanda‐tanda stress. Lalu terjadi kematian massal dalam waktu yang
singkat. Untuk mencegahnya, perlu dilakukan chlorinasi media dan pemgeringan bak serta fasilitas
lain selama seminggu. Seandainya sudah terjangkit penyakit tersebut pada larva yang dipelihara
maka dapat digunakan Furazolidon dengan dosis 10‐15 ppm.
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas keberhasilan pembenihan udang galah.
Penyakit yang biasa timbul adalah penyakit bakterial yangberupa Vibro sp. dengan ditandai
semacam stress, Fluorisensi pada larva yang mati dan terjadi kematian massal dalam waktu yang
singkat.
Untuk mencegah terjadinya serangan bakterial perlu adanya “Chlorinisasi” media dan
pengeringan fasilitas selama 7 hari, jika sudah terserang pengobatannya menggunakan Furozolidone
dengan dosis 11‐13 ppm, dengan cara perendaman selama 3 hari.

DAFTAR PUSTAKA :
Dyah, S. H. 1991. Pembenihan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man.). Laporan Kerja
Praktek Mahasiswa Biologi. Institut Teknologi Bandung

Rabu, 24 Maret 2010

pemanenan udang galah


udang galah hasil panen

udang galah yang dipanen dikolam ketika dipanen biasanya disimpan dahulu di hapa, penyimpanan udang pada hapa dilakukan dengan tujuan untuk menyortir ukuran udang dan menghitung berat udang.

ukuran udang hasil panen yaitu dibagi kedalam tiga bagian, ukuran kecil, ukuran sedang, dan ukuran besar. hapa untuk menyimpan hasil panen udang harus dilengkapi dengan unit aerasi, aerasi ini berfungsi untuk menjaga kesegaran udang pada hapa, dengan tujuan utama yaitu untuk mensuplai oksigen ke dalam air. Unit aerasi ini terdiri dari pompa, paralon yang telah diberi lubang. lubang pada paralon ini dibuat untuk memancarkan air sehingga air keluar dalam paralon dan jatuh ke kolam untuk membuat gelombang pada permukaan air kolam yang ada hapanya.

Sabtu, 13 Maret 2010

udang galah






udang galah

udang galah dalam foto ini adalah udang galah ukuran konsumsi, udang galah ini dipanen selama 3 (tiga) bulan yang ditanam pada ukuran tokolan, budidaya udang galah dapat dilakukan pada air tawar di kolam-kolam ikan yang biasa digunakan untuk budidaya ikan umumnya.

budidaya udang galah di kolam merupakan prospek bisnis yang menguntungkan, karena udang merupakan jenis bahan makanan yang cukup mahal, harga udang galah di kolam bisa mencapai Rp.50.000,- / kg ini merupakan harga yang cukup mahal bila dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya yang sering dibudidayakan.

budidaya udang galah di kolam akan lebih baik bila dibudidayakan pada kolam yang dasarnya tidak berlumpur banyak, kolam dengan dasar bercadas cukup baik untuk digunakan dalam budidaya udang asalkan kolam tersebut tidak porus.

Selasa, 09 Maret 2010

ShAD: Dorong Budidaya Udang Ramah Lingkungan

ShAD: Dorong Budidaya Udang Ramah Lingkungan


Komoditas udang tetap dipandang sebagai komoditas strategis yang harus terus dikembangkan, karena permintaan ekspor yang cukup besar, termasuk meningkatnya permintaan dalam negeri. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi udang meningkat sebesar 74,75 % pada periode 2010-2014, yaitu dari yang semula sebanyak 400.000 ton menjadi 699.000 ton. Demikian disampaikan Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Dr. Made L. Nurdjana pada saat membuka acara Shrimp Aquaculture Dialogue di Jakarta (9/3).

Lebih lanjut Made menyebutkan bahwa peningkatan produksi udang akan diarahkan pada dua jenis, yaitu udang vaname (Penaeus vaname) dan udang windu (Penaeus monodon). Dalam meningkatkan produksi udang vaname, KKP akan menerapkan strategi berupa teknologi semi intensif sampai dengan super intensif dengan produktivitas antara 4-20 ton/ha/musim tanam. Sedangkan budidaya udang windu akan dikembangkan dengan teknologi sederhana dan organik melalui sistem polikultur dengan bandeng dan rumput laut gracilaria. Dalam rangka mendukung pengembangan budidaya udang tersebut, maka harus didukung dengan penyediaan benur berkualitas melalui pengembangan Broodstock Center (BC). Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, KKP telah membangun BC Udang di Situbondo (Jawa Timur) dan Karangasem (Bali) untuk memenuhi penyediaan induk unggul udang vaname.

Meningkatnya persaingan diantara negara-negara penghasil udang di pasaran dunia, menuntut Indonesia untuk semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi udang. KKP berkomitmen bahwa peningkatan produksi udang tidak akan dilakukan kebijakan ekstensifikasi (perluasan areal), tetapi cukup melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitasnya. Hal dilakukan untuk menghindari kerusakan lingkungan (dalam hal ini hutan mangrove) akibat usaha pertambakan.

Sebagai ilustrasi, KKP pada periode 2010-2014 mendorong perikanan budidaya dapat meningkatkan produksi sebesar 353 %, yaitu dari 5,26 juta ton menjadi 16,89 juta ton. Untuk mencapai peningkatan produksi yang besar tersebut, komoditas perikanan budidaya yang akan didorong dan dipacu pengembangannya terutama adalah rumput laut, lele, patin, bandeng dan kerapu. Komoditas tersebut sangat berpeluang untuk ditingkatkan produksinya dan menjadi nomor satu di dunia, mengingat potensi lahan yang tersedia sangat besar, teknologi budidaya mudah dan sudah dikuasai masyarakat, serta permintaan pasar cukup besar. Secara keseluruhan, saat ini Indonesia memiliki tambak seluas 450.000 ha, dimana luasan tersebut diusahakan untuk budidaya bandeng, udang dan polikultur rumput laut, udang dan bandeng. Dari luasan tersebut, sekitar 60% atau 270.000 ha dimanfaatkan untuk budidaya udang, yang terdiri dari teknologi intensif seluas ± 27.000 ha, semi-intensif seluas ± 40.500 ha dan sisanya dengan teknologi tradisional.

Dalam rangka memenuhi persyaratan konsumen dunia terhadap sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, termasuk dalam upaya pengendalian dampak lingkungan yang diakibatkan oleh usaha budidaya udang di tambak, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menerapkan beberapa kebijakan. Pertama, sertifikasi CBIB (Cara Budidaya Ikan Yang Baik) bagi unit usaha budidaya ikan. Kedua, sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) bagi unit pembenihan. Ketiga, pendaftaran pakan ikan. Keempat, pendaftaran obat ikan, bahan kimia dan bahan biologi. Kelima, monitoring residu. selengkapnya...........




sumber : http://www.dkp.go.id

Jumat, 15 Januari 2010

Ekspor Udang Masih Andalan

Ekspor Udang Masih Andalan



KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) masih menempatkan udang sebagai komoditas andalan perikanan budidaya selama 2010-2014. Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budidaya Made L Nurdjana, mengatakan, selama periode 2010-2014 produksi udang diharapkan naik 74,75 persen dari 400 ribu ton menjadi 699 ribu ton, terdiri udang vaname dan windu.

"Udang tetap komoditas penting dikembangkan karena permintaan ekspor cukup besar dan memenuhi konsumsi dalam negeri," katanya, di Jakarta, akhir pekan lalu. Made mengatakan, peningkatan produksi udang windu ditargetkan 10,42 persen per tahun. Untuk mewujukan itu, pada 2009 telah memperbaiki saluran irigasi dan prasarana area tambak seluas 53 ribu hektare (ha) di 56 kabupaten pada 16 provinsi.

Pelaksanaannya, oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU) melalui dana stimulus dengan total anggaran Rp430 miliar. Dia mengatakan, udang windu dikembangkan dengan teknologi ekstensif polikultur dan organik hingga harga jual tinggi karena sesuai kecenderungan konsumsi masyarakat dunia.

"Untuk itu ke depan akan diupayakan subsidi pupuk organik, tidak pupuk anorga-nik seperti selama ini," ujar dia. Untuk udang vaname, dikembangkan melalui teknologi semi intensis dan intensif dengan target produksi naik 17,38 persen per tahun dari 275 ribu ton pada 2010 menjadi 500 ribu ton 2014. Pemerintah pun telah membangun Broostock Center atau pusat produksi induk udang unggul vaname Nusantara di Bali. Hal ini guna memenuhi kebutuhan induk udang dalam negeri dan mengurangi ketergantungan induk impor.

Kemampuan produksi Broostock Center itu diperkirakan mencapai 240 ribu ekor induk unggul per tahun atau terbesar di dunia. "Penampilan induk Nusantara I yang telah dibudidayakan di Kalimantan Barat, Lampung dan Jatim menunjukkan hasil yang memuaskan."

Made menjamin, tak perlu ada kekhawatiran terhadap penyediaan benih udang bermutu yang diperlukan dalam program peningkatan produksi udang. Menurut dia guna mengurangi dan mencegah serangan hama dan penyakit ikan pada udang akibat penurunan kualitas lingkungan, pada 2009 dibangun Balai Penyeledikan Penyakit Ikan dan Lingkungan di Kabupaten Serang Banten. Peresrnian balai ini dijadwal-kan awal 2010.

Balai ini memiliki laboratorium hama, penyakit ikan dan lingkungan yang lengkap hingga dapat melakukan kajian. hama, penyakit dan lingkungan. "Selain itu untuk memproduksi vaksin yang diharapkan mampu mengatasi masalah penyakit virus," ucap Made.
■ Yogyo Susaptoyono



Sumber : Koran Jurnal Nasional,12 Januari 2010 Hal.4




cetak halaman ini

Senin, 04 Januari 2010

Tahap Persiapan Tebar Benur

Tahap Persiapan Tebar Benur

Tahapan kegiatan persiapan tebar benur dilakukan setelah tahap pengelolaan lahan pasca panen relatif memadai untuk proses tebar benur. Secara garis besar tahapan ini mencakup 3 (tiga) sub tahapan yaitu:

1. Penyiapan lahan dan sarananya. Sub tahapan ini bertujuan untuk menyediakan suatu media yang nyaman bagi benur yang sebelumnya hidup dalam lingkungan yang berbeda. Sedangkan sarana diperlukan untuk membantu proses awal siklus budidaya udang sehingga tidak terjadi suatu kendala bagi akivitas budidaya yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada keberhasilan budidaya.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam sub tahapan ini antara lain : (i) Tes konstruksi tambak, (ii) Filterisasi saluran pemasukan air dan saluran pembuangan, dan (iii) Pemasangan kincir air.

Tes konstruksi tambak bertujuan untuk mengetahui tingkat kebocoran dan laju penyusutan air di dalam tambak serta kelancaran saluran pembuangan. Metode yang dapat digunakan untuk kegiatan ini adalah melalui pengisian air ke dalam tambak pada ketinggian maksimal pada periode waktu tertentu. Faktor ini perlu dipertimbangkan agar secara desain dan konstruksinya suatu petakan tambak tidak menimbulkan suatu kendala dalam melakukan proses budidaya.

Filterisasi di saluran pemasukan air bertujuan mencegah masuknya predator dan kompetitor udang ke dalam tambak, sedangkan filterisasi di sentral pembuangan air bertujuan mencegah keluarnya udang yang masih berukuran kecil. Metode yang dapat digunakan pada kegiatan ini adalah melalui pemasangan streameen pada paralon pemasukan air dan sentral pembuangan.

Kegiatan selanjutnya pada sub tahapan ini adalah pemasangan kincir air. Hal yang perlu diperhatikan adala posisi kincir sebaiknya dapat menimbulkan arus air yang bisa mengarahkan kotoran di dasar tambak ke sentral pembuangan.

2. Penyiapan air tambak. Sub tahapan ini meliputi kegiatan antara lain : (i) Pengisian air dengan ketinggian 25 - 30 cm, (ii) Penginciran air tambak, (iii) Penambahan volume air tambak, (iv) Penumbuhan pakan alami, dan (v) Pengelolaan kecerahan air.

Pada saat ketingggian air tambak sekitar 25 - 30 cm perlakuan teknis yang biasa dilakukan adalah pemberian saponin dengan dosis tertentu yang bertujuan untuk (a) mematikan predator dan kompetitor udang yang masuk ke dalam tambak, (b) membantu proses pembentukan air tambak (sebagai salah satu pupuk organik).

Setelah perlakuan saponin dilakukan maka selanjutnya dilakukan proses penginciran air tambak yang bertujuan untuk membantu proses penyebaran saponin secara merata ke dalam tambak sekaligus unuk membantu proses pembentukan air. Kegiatan penambahan air dilakukan setelah busa/buih yang ditimbulkan oleh saponin telah hilang.

Pakan alami bagi benur biasanya berupa zooplankton (diatomae) yang dapat diamati secara visual setelah sub tahapan ini berlangsung sekitar 5 – 7 hari.

Kegiatan selanjutnya pada sub tahapan ini adalah pengelolaan kecerahan air yang dapat dilakukan dengan cara pemupukan dengan urea & TSP berdasarkan dosis yang diperlukan. Kecerahan air untuk tebar benur sebaiknya tembus dasar atau tidak terlalu pekat.

3. Persiapan tebar benur. Sub tahapan ini pada dasarnya merupakan kegiatan yang paling akhir dari proses penyiapan lahan tebar benur setelah semua tahapan dianggap cukup optimal bagi proses pemindahan benur dari dua lingkungan yang berbeda.

Penyiapan lahan tebar benur harus memperhatikan faktor musim dan epidemi penyakit pada saat itu.
sumber:http://marindro-ina.blogspot.com

Jumat, 25 Desember 2009

Kondisi Dasar Tambak ( Metode Pengamatan)

Kotoran di dasar tambak biasanya berupa lumpur hitam yang mengendap di dasar serta mengandung H2S dan NH3 yang bersifat asam dalam dosis tertentu dapat membahayakan bagi udang. Kotoran ini berasal dari proses metabolisme yang dilakukan oleh organisme perairan tersebut, mortalitas plankton dan sisa pakan udang yang tidak terkonsumsi serta pengaruh dari treatment budidaya lainnya. Keberadaan lumpur hitam di dasar tambak dapat teramati melalui cara antara lain:

1. Pengamatan warna kulit/khitin udang melalui sampling berkala maupun pengamatan ancho. Kondisi dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya berdampak pada penampakan kulit udang yang cenderung berwarna lebih gelap dari keadaan normal. Pada saat dilakukan sampling sampling kotoran dasar tambak/lumpur biasanya ikut terbawa pada jala yang ditebarkan ke dalam tambak.

2. Pengecekkan langsung ke dasar tambak dengan melakukan penyelaman untuk melihat kondisi dasar tambak dan kondisi udang.

3. Melihat saluran pembuangan air tambak pada saat dilakukan sirkulasi air dengan memperhitungkan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kotoran/lumpur tersebut. Pada kegiatan ini juga perlu diperhatikan tingkat kelancaran saluran pembuangan dalam mengeluarkan air tambak, jika terjadi penyumbatan maka dibutuhkan identifikasi lanjutan terhadap penyebab penyumbatan tersebut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah keberadaan bangkai udang yang ikut terbawa keluar bersama air tambak berdasarkan jumlah dan kondisi bangkai udang tersebut agar dapat diambil alternatif keputusan yang mengarah pada harvesting decision ataupun treatment decision.

4. Pengamatan terhadap permukaan air tambak pada saat kincir air tidak dioperasikan. Kondisi dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya mengeluarkan gelembung-gelembung udara yang muncul dari dasar tambak ke arah permukaan air, jika di permukaan tambak banyak dijumpai fenomena ini maka kondisi dasar tambak relatif sangat kotor dan penuh lumpur.

Pemantauan kondisi dasar tambak perlu dilakukan secara cermat baik melalui pengamatan berkala maupun yang bersifat insidental agar permasalahan yang terjadi dapat segera ditangani. Permasalahan cukup serius yang biasanya terjadi adalah kematian udang di dasar tambak karena berbagai permasalahan yang tidak terdeteksi. Kematian udang di dasar tambak yang disebabkan oleh proses moulting biasa dijumpai dan bersifat alamiah karena adanya kanibalisme dari udang lainnya dalam kuantitas masih berada pada batas toleransi yang ditetapkan. Sedangkan kematian udang di dasar tambak yang bersifat massal dan disebabkan oleh permasalahan yang tidak terdeteksi biasanya bangkai udang terkonsentrasi di sentral pembuangan dan pada tingkat yang lebih parah bangkai udang menyebar di dasar tambak.
sumber :http://marindro-ina.blogspot.com

Senin, 14 Desember 2009

Jangan Terperangkap Target FCR (Food Conversion Ratio)

Jangan Terperangkap Target FCR (Food Conversion Ratio)

Pada pembahasan-pembahasan terdahulu telah dijelaskan mengenai FCR (Food Convertion Ratio) yaitu perbandingan (rasio) antara berat pakan yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total (biomass) udang yang dihasilkan pada saat itu. Sebagai contoh : pada suatu periode budidaya telah berhasil dipanen udang dengan biomass 2 ton sedangkan berat pakan total yang telah digunakan seberat 3 ton, maka besaran FCR pada saat itu adalah sebesar 3 ton / 2 ton = 1.5.

Pada suatu usaha budidaya udang pada umumnya nilai FCR dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan baik secara teknis budidaya maupun secara finansial. Ditinjau dari segi teknis budidaya, nilai FCR terkait dengan parameter keberhasilan pengelolaan program pakan udang yang secara tidak langsung juga terkait dengan pengelolaan kualitas air dan kondisi/kualitas udang. Sedangkan secara finansial nilai FCR akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh pada satu periode budidaya karena pakan udang merupakan penyumbang biaya terbesar pada suatu usaha budidaya udang. Nilai FCR yang paling ideal biasanya berada pada kisaran 1.5 – 2.5 (tergantung dari media/kondisi lahan tambak yang digunakan).

Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, maka kondisi yang sering terjadi adalah pada saat memulai kegiatan budidaya udang biasanya telah ditetapkan target nilai FCR yang harus dicapai. Hal seperti ini pada akhirnya dapat membuat kondisi dimana pengelolaan program pakan udang lebih mengacu pada target FCR daripada tingkat kebutuhan udang terhadap pakan pada saat itu. Secara psikologis, target FCR dapat mengakibatkan rasa khawatir jika nilai FCR akan membengkak atau dengan kata lain telah terjadi pemborosan pakan udang (tentu saja biaya produksi juga membengkak). Faktor psikologis seperti ini biasanya juga berpengaruh pada penyusunan program pemberian pakan udang yang kurang optimal karena lebih cenderung pada prinsip pengiritan pakan.

Program pemberian pakan yang mengacu pada target FCR tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan udang pada umumnya dapat mengakibatkan kondisi sebagai berikut:

1. Terlambat dalam pemberian pakan (terutama pakan buatan) pada phase bulan pertama, meskipun telah terindikasi ketersediaan pakan alami pada saat itu mulai berkurang/habis. Kondisi ini dapat mempengaruhi terhadap kondisi, populasi dan tingkat keseragaman udang yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada program pemberian pakan berikutnya.

2. Berat pakan per hari (pakan harian) yang diberikan ditentukan oleh estimasi populasi dan biomass udang yang mengacu pada target FCR yang telah ditentukan. Perubahan berat pakan per hari lebih cenderung mengarah pada perubahan konstan dan tidak berfluktuatif sesuai dengan tingkat kebutuhan udang pada saat-saat tertentu.

3. Adanya persepsi yang kurang benar terhadap frekuensi pemberian pakan, yaitu semakin banyak frekuensi pemberian pakan maka akan mengakibatkan FCR membengkak.

Pada kondisi tersebut di atas frekuensi pemberian pakan harian lebih mengarah pada kuantitas total pakan harian yang terdistribusi pada tiap-tiap frekuensi pakan dan tidak mengacu kemampuan udang dalam mengkonsumsi pakan serta seberapa lama/sering udang akan membutuhkan pakan lagi.

Sebagai contoh: Populasi udang dalam suatu petakan tambak membutuhkan total pakan per hari adalah 20 kg. Pada saat itu misalnya kemampuan populasi udang tersebut rata-rata hanya 4 kg, maka secara ideal frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali sehari. Jika frekuensi pakan harian hanya dilakukan 4 kali, meskipun berat total pakan per hari adalah sama yaitu 20 kg, maka setiap kali pemberian pakan rata-rata adalah 5 kg dan ini berarti ada 1 kg pakan yang tidak terkonsumsi setiap kalinya atau 4 kg per hari.

4. Terkait dengan penjelasan no 1, 2 dan 3 tersebut di atas maka hasil panen udang pada akhirnya juga tidak dapat optimal baik dari segi kualitas, kuantitas (biomass) sekaligus tingkat keuntugan yang diperoleh, meskipun secara target FCR dapat terpenuhi.

Berdasarkan penjelasan dan ilustrasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan usaha budidaya udang terutama pengelolaan program pakan sebaiknya kita tidak terperangkap oleh target FCR tanpa memperhatikan kondisi dan tingkat kebutuhan udang. Memang target FCR memiliki peranan yang penting sebagai pedoman program pakan, dan jangan sampai hal ini membuat suatu kondisi bahwa udang harus mengikuti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus mengikuti kebutuhan udang.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com

Bagaimana mencapai Nilai FCR (Food Conversion Ratio) Secara Optimal

Bagaimana mencapai Nilai FCR (Food Conversion Ratio) Secara Optimal

Nilai FCR optimal dapat diartikan sebagai FCR yang memiliki nilai keuntungan (profit value) yang optimal baik secara teknis budidaya maupun financial yang diperoleh melalui pengelolaan program pakan sesuai dengan tingkat kebutuhan udang dalam satu siklus periode budidaya udang.

Upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal dapat dilakukan melalui beberapa alternative kegiatan sebagai berikut:

1. Lakukan pengamatan secara cermat terhadap tingkah laku benur/udang kecil pada saat fase bulan pertama (awal tebar – sub fase minggu ke 4) untuk mengetahui kebutuhan udang terhadap suplai pakan dari luar (pakan buatan) yang disebabkan oleh kurangnya/habisnya stok pakan alami di dalam perairan tambak. Jika benur/udang kecil sudah menunjukkan tingkah laku (konvoi, merayap di dinding tambak, dsb), segera mulai dilakukan pemberian pakan dengan system “blind feeding”.

2. Pada saat melakukan “blind feeding” sebaiknya sudah mulai dilakukan cek pakan di anco secara kasar untuk melakukan estimasi kebutuhan populasi udang terhadap pakan per harinya.

3. Jika berdasarkan cek pakan di anco tersebut di atas telah dapat diestimasikan kebutuhan pakan hariannya, maka sebaiknya program pakan sudah mulai terukur. Pada kondisi ini, frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 3 kali sehari.

4. Lakukan sampling udang pada saat awal bulan kedua atau pada saat udang berukuran sekitar 2.5 gram – 5 gram (bisa dilakukan melalui sampling anco maupun sampling jala). Kegiatan sampling awal ini bertujuan untuk mengestimasi tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.

Hasil sampling awal ini dapat digunakan untuk menentukan program pakan yang lebih terukur dan terarah. Jika populasi dan kondisi udang relative bagus maka frekuensi pakan harian sebaiknya sudah 5 kali.

Penjelasan terkait dengan frekuensi dan simulasi program pakan sudah diuraikan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.

5. Pada saat program pakan yang telah disusun secara terukur dan terarah hal yang mendasar yang perlu diperhatikan adalah lakukan penyesuaian program pakan tersebut berdasarkan hasil pengamatan/cek pakan di anco agar sesuai dengan tingkat kebutuhan udang yang cenderung berfluktuasi tergantung dari kondisi dan kualitas udang. Keberadaan jumlah pakan dianco pada saat cek anco dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu (i) pakan habis, (ii) pakan masih tersisa dan (iii) pakan utuh.

Jika pakan dianco habis pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang relative bagus, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan jumlah pakan harian. Lakukan hal yang sama pada kondisi yang sama pula.

Jika pakan dianco masih tersisa pada saat cek pakan, hal ini menunjukkan bahwa nafsu makan udang mengalami penurunan, maka penyesuaian program pakan yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan jumlah pakan harian. Jika kondisi ini terjadi selama beberapa hari maka dapat dilakukan pemberian pakan segar untuk mengembalikan nafsu makan udang. Lakukan penyesuaian program pakan lagi jika nafsu makan udang sudah normal kembali.

Jika pakan di anco ternyata masih utuh, maka kondisi seperti ini menandakan bahwa pakan tidak terkonsumsi sama sekali oleh udang. Kondisi ini dapat mengindikasikan telah terjadi masalah yang serius bagi udang. Lakukan pengurangan pakan secara drastis, selain itu lakukan pula pengecekan dasar tambak untuk mengetahui apakah telah terjadi kematian massal udang di dalam tambak. Keputusan yang perlu diambil terhadap kondisi seperti ini tergantung pada hasil cek dasar tambak dan perkembangan kondisi udang.

6. Lakukan sampling udang (menggunakan jala) secara rutin dan periodik (10 harian – 2 mingguan) untuk mengestimasi perkembangan tingkat kehidupan populasi udang di dalam tambak (SR=survival rate), kondisi dan kualitas udang, berat rata-rata udang dalam populasi serta biomas udang dalam tambak.

Hasil sampling secara periodik ini dapat digunakan sebagai alat kontrol untuk mengestimasikan perkembangan nilai FCR (Food Conversion Ratio) secara optimal.

Beberapa upaya untuk memperoleh nilai FCR yang optimal seperti tersebut di atas merupakan upaya secara umum yang dapat dilakukan, dalam implementasinya upaya-upaya tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan media tambak yang digunakan. Sekali lagi prinsip utama yang perlu digunakan adalah jangan sampai udang menuruti kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus menuruti kebutuhan udang.
sumber: http://marindro-ina.blogspot.com

Minggu, 13 Desember 2009

keseragaman udang

Sebagaimana telah dijelaskan, udang dalam suatu populasi di tambak secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu : (i) udang seragam, (ii) tingkat keseragaman udang sedang, dan (iii) tingkat keseragaman udang parah. Selain penjelasan tersebut, pemahaman tentang alternative cara pengelolaannya berdasarkan kondisi yang dijumpai di lapangan.

Secara garis besar pengelolaan yang perlu dilakukan terkait dengan keseragaman udang meliputi pengelolaan program pakan dan pengelolaan kualitas air (asumsi: benur yang digunakan relative telah seragam, baik ukuran maupun usianya). Alternatif pengelolaan terhadap kondisi tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Udang Seragam. Jika populasi udang di dalam tambak menunjukkan ukuran udang relatif seragam, maka pengelolaan secara teknis yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara mempertahankan kondisi ideal tersebut hingga udang siap untuk dipanen secara normal. Pengelolaan program pakan harus selalu mengikuti tingkat kebutuhan udang dan jumlah pakan harian yang diberikan sesuai dengan tingkat kepadatan udang di dalam tambak. Pada kondisi seperti ini biasanya jumlah pakan yang diberikan akan menunjukkan kecenderungan yang selalu meningkat berdasarkan waktu (kecuali udang dalam kondisi moulting secara periodik). Program pakan harus dikelola secara cermat berdasarkan pengamatan yang dilakukan (melalui check ancho maupun sampling).

Selain program pakan, alternative pengelolaan yang perlu dilakukan adalah kualitas air tambak. Biasanya terdapat korelasi antara keseragaman udang dan kualitas air (asumsi: program pakan yang diterapkan sudah seperti tersebut di atas), yaitu: ukuran udang akan relative seragam jika pengelolaan kualitas air sesuai dengan tingkat kebutuhan udang. Upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan kualitas air adalah bagaiamana mempertahankan kualitas air tambak relative stabil dan tidak terjadi fluktuasi perubahan kualias air tambak tersebut. Penjelasan terkait dengan pengelolaan kualitas air tambak telah diuraikan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.

2. Udang dengan tingkat keseragaman sedang. Pada kondisi seperti ini pengelolaan secara teknis yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara mencegah agar tingkat keseragamannya tidak bertambah parah serta upaya untuk memperbaikinya kea rah yang lebih bagus. Program pakan yang diterapakan perlu ditinjau ulang terutama terkait dengan komposisi ukuran pakan udang serta jumlah pakan yang diberikan. Komposisi ukuran pakan dan jumlahnya dapat diestimasi secara kasar melalui pengamatan pada waktu sampling dan cek ancho. Estimasi yang dilakukan mencakup persentase kepadatan masing-masing ukuran udang dalam suatu populasi, sehingga dapat diperkirakan berapa ukuran pakan yang akan digunakan dan jumlah yang akan diberikan dalam satu kali frekuensi pakan harian. Komposisi tersebut perlu disesuaikan kembali dengan mengacu pada pengamatan yang dilakukan. Jika tingkat keseragaman udang mengarah ke tingkat yang lebih baik maka ukuran pakan yang diberikan akan lebih sedikit.

Contoh : dalam suatu populasi udang di tambak memiliki 3 jenis ukuran yang berbeda, maka pakan yang diberikan sebaiknya terdiri dari 3 jenis ukuran pakan yang berbeda pula yang disesuaikan dengan ukuran udang yang ada. Jika keseragaman udang di tambak tersebut ternyata mengarah ke tingkat yang lebih baik, misalnya menjadi 2 jenis ukuran udang, maka komposisi jenis ukuran pakan yang diberikan sebaiknya juga menjadi 2 jenis ukuran pakan. Pengelolaan kualitas air tambak yang dilakukan pada kondisi seperti ini relative sama dengan item no. 1 tersebut di atas.

3. Tingkat keseragaman udang parah. Pada kondisi seperti ini pengelolaan secara teknis yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara mencegah agar populasi udang di dalam tambak tersebut tidak menyusut secara drastic (karena proses kanibalisme). Program pakan yang perlu diterapkan pada dasarnya seperti penjelasan pada item no. 2, hanya komposisi jenis ukuran pakan yang digunakan dalam satu kali frekuensi pemberian pakan biasanya akan lebih banyak pula. Pada penanganan yang lebih ekstrim, biasanya dilakukan penyortiran ukuran udang secara langsung pada saat dilakukan cek anco atau pada saat kegiatan sampling (tidak direkomendasikan). Penyortiran dilakukan terhdap udang-udang dengan ukuran yang dianggap ketinggalan terlalu jauh dengan ukuran udang normal, sehingga diharapkan tingkat keseragaman udang didalam tambak tersebut akan menjadi lebih baik meskipun secara densitas mengalami penurunan. Pengelolaan kualitas air tambak yang dilakukan pada kondisi seperti ini relative sama dengan item no. 1 tersebut di atas.

Alternatif penanganan tersebut di atas pada dasarnya adalah upaya untuk mempertahankan, memperbaiki dan mencegah suatu kondisi agar tingkat keseragaman udang dalam suatu populasi di tambak dapat mengarah kepada kondisi seperti yang diharapkan terutama pada output secara optimal.

sumber: http://marindro-ina.blogspot.com

Jumat, 11 Desember 2009

tingkat kekenyalan udang

Kekenyalan udang sebagai salah satu indicator kondisi udang merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu proses budidaya terutama pada kualitas udang yang akan dihasilkan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap harga jualnya. Secara sederhana tingkat kekenyalan udang dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh udang (bagian antara cangkang/kulit dengan daging) untuk kembali ke bentuk semula setelah mendapat daya tekan dari luar. Tingkat kekenyalan udang juga dapat diidentikan dengan “gemuk” atau “kurusnya” suatu udang karena faktor ini terkait erat dengan tingkat konsumsi pakan dari udang itu sendiri.

Secara praktis tingkat kekenyalan udang dapat diketahui dengan cara menekan tubuh udang menggunakan ibu jari dan telunjuk dan kemudian tekanan tersebut dilepaskan. Melalui cara ini maka dapat ditentukan tingkat kekenyalan dan kondisi udang pada saat itu. Tingkat kekenyalan udang secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Keropos, pada tingkatan ini udang dalam kondisi “sangat kurus” dan dapat dikategorikan pada kondisi parah. Pada kondisi ini jika kita menekan tubuh udang, maka akan terasa ada rongga antara cangkang/kulit dengan daging udang dan ada kecenderungan cangkang tersebut tidak/lama kembali ke bentuk semula. Jika sebagian besar populasi udang di dalam tambak memiliki kondisi yang sama, maka dapat dikatakan bahwa udang di dalam tambak tersebut pada kondisi yang parah. Kondisi seperti ini jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan penurunan kepadatan populasi udang yang cukup drastis, karena udang yang sudah keropos relative rentan terhadap penyakit selain itu juga dapat memicu kanibalisme antar udang di dalam tambak tersebut.

2. Sedang, pada tingkatan ini udang dalam kondisi “kurus”. Pada kondisi ini jika kita menekan tubuh udang, maka akan terasa kulit/cangkang dan daging udang menyatu tetapi dalam kondisi kurang liat. Jika sebagian besar populasi udang di dalam tambak memiliki kondisi yang sama, maka dapat dikatakan bahwa udang di dalam tambak tersebut pada kondisi sedang.

3. Kenyal, pada tingkatan ini udang dalam kondisi “gemuk”. Pada kondisi ini jika kita menekan tubuh udang, maka akan terasa kulit/cangkang dan daging udang terasa sangat liat. Jika sebagian besar populasi udang di dalam tambak memiliki kondisi yang sama, maka dapat dikatakan bahwa udang di dalam tambak tersebut pada kondisi bagus.

Sebagai upaya memperoleh tingkat kekenyalan udang yang ideal sebaiknya program pakan yang diterapkan mengikuti tingkat kebutuhan pakan dari udang itu sendiri. Program pakan yang terlalu ketat akan dapat mengakibatkan udang keropos. Sebaliknya program pakan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan udang dalam kondisi “gemuk” meskipun bagus bagi udang tapi dapat mengakibatkan over feeding yang memicu penimbunan sisa pakan di dasar tambak dan jika kondisi seperti ini dibiarkan terlalu lama, maka dapat menimbulkan masalah bagi udang itu sendiri.

Pengamatan yang cermat terhadap kondisi udang pada saat mengecek pakan di anco dan pada saat sampling rutin merupakan salah satu alternative kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan tingkat kekenyalan udang dengan program pakan yang diterapkan (terkait dengan Food Conversion Ratio). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kondisi yang paling ideal adalah udang dalam kondisi “gemuk” dengan program pakan yang masih terkendali sesuai dengan tingkat kebutuhan udang.
sumber : http://marindro-ina.blogspot.com

Senin, 30 November 2009

Kualitas Air pada tahap budidaya Udang galah

Kualitas Air pada tahap budidaya Udang galah

1. Kualitas air pada tahap pemijahan dan penetasan telur
- suhu : 28-300C
- nilai pH : 6,5 – 8,5
- Oksigen terlarut : lebih dari 5 ppm (mg/l)
- salinitas : 3 – 5 ppt

2. Kualitas air pada tahap produksi larva
- suhu : 28-300C
- nilai pH : 6,5 – 8,5
- Oksigen terlarut : lebih dari 5 ppm (mg/l)
- salinitas : 10 – 15 ppt

3. Kualitas air pada tahap produksi juana
- suhu : 28-300C
- nilai pH : 6,5 – 8,5
- Oksigen terlarut : lebih dari 5 ppm (mg/l)
- salinitas : 10 – 15 ppt


4. Kualitas air pada tahap produksi tokolan
- suhu : 28-300C
- nilai pH : 6,5 – 8,5
- Oksigen terlarut : lebih dari 5 ppm (mg/l)
- salinitas : 0 ppt (air tawar)
- tinggi air : 50 – 100 cm

Sumber : Khairul Amri, S.Pi, M.Si dan Khairuman , S.P, Agromedia Pustaka, 2008

Minggu, 29 November 2009

Perbedaan Udang Galah Jantan dan Betina

Perbedaan Udang Galah Jantan dan Betina

udang galah jantan
- bentuk tubuh bagian perut lebih ramping dan ukuran pleuron-nya lebih pendek
- letak kelamin terdapat di basis pasangan kaki jalan kelima
- bentuk dan ukuran kaki jalan kedua sangat mencolok besar dan panjang seperti galah

udang galah betina
- bagian tubuh melebar dan pleuron-nya agak memanjang
- alat kelamin terletak di basis pasangan kaki jalan ketiga
- pasangan kaki jalan kedua lebih kecil dan tidak mencolok

sumber : Khairul Amri, S.pi, M.Si dan Khairuman, S.P, Agromedia Pustaka, 2008

Rabu, 25 November 2009

UDANG GALAH

UDANG GALAH

Udang galah (Macrobranchium rosenbergii) termasuk salah satu komoditas unggulan sektor perikanan budi daya air tawar yang bernilai ekonomis tinggi, tetapi belum dikembangkan secara optimal. Saat ini,selain udang galah lokal yang biasa dibudidayakan peternak, juga ada varietas unggul yang dikenal sebagai udang galah gimacro (genetic improvement of macrobranchium rosenbergii) yang memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dan bentuk karapasnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran karapas udang galah lokal sehingga kandungan dagingnya lebih banyak.

Pada umur lima bulan, panjang tubuh udang galah gimacro jantan mencapai 38 cm dengan berat tubuh mencapai 480 gram per ekor. Sementara itu, dalam jangka waktu yang sama, panjang tubuh udang galah lokal hanya mencapai 25-28 cm dengan berat tubuh hanya 200 gram per ekor. Bahkan, ukuran maksimum udang galah lokal yang pernah ditemukan di alam bebas hanya 300 gram per ekornya. Itu sebabnya udang galah gimacro dijuluki sebagai udang galah super karena pertumbuhanya sangat cepat.

nilai tambah udang galah lainnya adalah waktu pemeliharaan yang relatif singkat, yaitu 3 - 5 bulan. Tingkat produksinya juga tinggi, mencapai 2 - 5 ton per hektar per siklus panen, tergamtng dari padat tebar dan teknologi yang digunakan. kelebihan lain kelangsungan hidup udang galah mencapai 80-85% atau tingkat kematiannya tidak lebih dari 20%
sumber : Khairul Amri, S.Pi, M.Si dan Khairuman, S.P, AgroMedia Pustaka, 2008



10 Amazing Ways To Jump Start Your Sales

by: Wesley Atkins
1. Find a strategic business partner. Look for ones that have the same objective. You can trade leads, share marketing info, sell package deals, etc.


2. Brand your name and business. You can easily do this by just writing articles and submitting them to e-zines or web sites for republishing.

3. Start an auction on your web site. The type of auction could be related to the theme of your site. You'll draw traffic from auctioneers and bidders.

4. Remember to take a little time out of your day or week to brainstorm. New ideas are usually the difference between success and failure.

5. Model other successful business or people. I'm not saying out right copy them, but practice some of the same habits that have made them succeed.

6. Take risks to improve your business. Sometimes businesses don't want to advertise unless it's free, sometimes you have to spend money to get results.

7. Include emotional words in your advertisements. Use ones like love, security, relief, freedom, happy,
satisfaction, fun, etc.

8. Ask people online to review your web site. You can use the comments you get to improve your web site or you may turn the reviewer into a customer.

9. Out source part of your workload. You'll save on most employee costs. You could out source your secretarial work, accounting, marketing, etc.

10. Combine a product and service together in a package deal. It could increase your sales. If you're selling a book, offer an hour of consulting with it.

About the author:
Wesley Atkins is the owner of http://www.reviewbooth.com/ - containing numerous web site marketing tips, articles, and reviews of marketing tools and software.

Circulated by Article Emporium