Haktaran tambak yang luas sudah lama di terlantarkan oleh pemiliknya. Beberapa petak sengaja dibiarkan oleh pemiliknya. Ada yang sudah mengering, ada pula yang masih tergenang air payau seadanya. tambak-tambak itu memang tampak menganggur alias tidak difungsikan lagi. "Kami sudah tak kuat lagi. Modal usaha kami sudah ludes. Setiap kami membudidayakan udang, selalu gagal panen," Orang tua ku, petambak di Desa Bangil, Pasuruan. selalu gagal panen Karena itu, dari pada merugi terus maka kini ia tak mau untuk membudidayakan udang di tambaknya. Hal serupa juga dialami petambak-petambak lainnya. Tiga tahun lalu, ketika orang tua ku mulai membuka usaha tambaknya itu, secercah harapan menghampirinya. Bukan apa-apa pada setiap panen udang windu ia selalu untung besar. Kesuksesan ini lalu diikuti petambak lainnya. Jadilah, lahan /alas bakau yang nganggur tidak ada pemiliknya disulap menjadi tambak. Bukan hanya itu saja, pohon mangrove pun sering ditebang dikonversi menjadi lahan tambak. Pantai yang tadinya rimbun dan subur oleh lebatnya pohon bakau dll berubah menjadi gundul.
Udang, kepiting, dan aneka jenis ikan yang hidup di sela-sela akar mangrove juga menghilang. "Dulu ketika hutan bakau masih tumbuh, saya mudah mencari kepiting dan udang. Kini, sudah sangat sulit," Tanpa disadari dari sinilah malapetaka bermula. Udang windu yang tadinya menguntungkan petambak tiba-tiba terserang penyakit mematikan. Para petani tambak yang mau panen terpaksa gigit jari. Hanya dalam sekejap, udang yang sakit itu menjadi santapan ikan-ikan lainnya. Begitu seterusnya, sampai akhirnya, tak ada lagi udang yang tersisa di tambak. setelah di usut usut, aneka penyakit itu berasal dari pengelolaan lingkungan yang buruk. Artinya, air laut yang tadinya mengalir berkualitas baik berubah total menjadi buruk lantaran sudah tercemar berbagai limbah baik dari rumah tangga maupun industri. Selain itu, desain tambaknya juga tak ramah lingkungan. Artinya, antara saluran pemasukan dan pembuangan (drainase) air dibuat dalam satu pintu. Akibatnya, sisa-sisa pakan dan kotoran lainnya terus mengendap di dasar tambak dan tak bisa dibuang ke luar tambak. kondisi tambak yang seperti ini yang mudah terserang penyakit," seharusnya selalu membuat saluran pemasukan dan pembuangan yang berbeda seperti tambak di Thailand. Jadi, setiap tambak memiliki dua saluran air," ungkap cak toni. Hasilnya, produktivitas udang dari hasil budi daya tambak di Thailand jauh lebih tinggi ketimbang di Indonesia. Buruknya kondisi lingkungan dan desain tambak yang tak ramah lingkungan inilah, menurut toni, mengundang aneka penyakit udang. Hutan bakau yang selama ini dikenal bisa menjadi filter alami bagi udang, tak lagi berperan karena memang sudah ditebang habis. Berbagai kelemahan inilah yang perlu diperbaiki petambak. Selama hal itu tidak dibenahi, sangat sulit petambak udang di Pantura Jawa bisa bangkit kembali. Sampai kapan kondisi ideal bagi kegiatan budi daya itu pulih? Semua bergantung pada keseriusan para petani tambak untuk mau berubah. Jadi, perubahan ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dilakukan petambak semata. Lebih dari itu, yang sangat berperan adalah pembuang limbah, baik yang dibuang rumah tangga maupun industri. Selama budaya pengelolaan limbah itu masih seperti ini, tanpa melalui penanganan lebih dulu tetapi dibuang begitu saja ke sungai, tidak banyak yang bisa diharapkan. Begitu juga dengan pemerintah daerah. Sudah seharusnya mereka membuat peraturan guna memantau dan mengawasi industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai. Sanksi hukum yang tegas dan adil perlu dikenakan bagi mereka yang terbukti lalai dalam mengurus limbahnya. Begitu juga dengan para petambaknya. Langkah petambak Thailand yang mendesain saluran air dan drainase secara terpisah layak ditiru. Melalui kerja sama semua stakeholder itu, niscaya kejayaan tambak di Indonesia kembali bangkit lagi. Rumput Laut Sembari menunggu tambak tersebut sehat kembali, alangkah baiknya kalau kita terus mengupayakan langkah strategis yang bisa menghasilkan keuntungan. "Alternatif usaha budi daya yang menarik untuk dicoba adalah dengan membudidayakan rumput laut,"
Apalagi menanam rumput laut jauh lebih mudah dan murah daripada menanam padi. Betapa tidak, rumput laut tidak membutuhkan pupuk serta pembasmi hama dan penyakit. Bibitnya tinggal ditebar di tambak dan hanya dalam tempo 45 hari sejak rumput laut ditanam, petambak sudah memanennya. Soal pemasarannya tidak perlu khawatir. Berapa pun jumlah rumput laut akan dibeli sebuah perusahaan pembuat agar-agar berbahan baku. Syaratnya, rumput laut dimaksud harus bermutu tinggi. Karena itu, petambak juga harus disiplin untuk tidak memanen rumput laut pada usia muda (sebelum 45 hari) walaupun mendapat tawaran harga yang menggiurkan dari pengumpul. Kalau hal ini dilanggar, bisa jadi, pengalaman buruk bagi petani tambak, petambak beramai-beramai menjual rumput laut yang masih muda. Bahkan, ada yang nekad menjualnya pada umur 30 hari atau bahkan ada yang cuma berumur 25 hari. Hal itu dilakukan karena ia mendapat harga yang sama (antara rumput laut muda dan cukup umur) dari pengumpul.
Udang, kepiting, dan aneka jenis ikan yang hidup di sela-sela akar mangrove juga menghilang. "Dulu ketika hutan bakau masih tumbuh, saya mudah mencari kepiting dan udang. Kini, sudah sangat sulit," Tanpa disadari dari sinilah malapetaka bermula. Udang windu yang tadinya menguntungkan petambak tiba-tiba terserang penyakit mematikan. Para petani tambak yang mau panen terpaksa gigit jari. Hanya dalam sekejap, udang yang sakit itu menjadi santapan ikan-ikan lainnya. Begitu seterusnya, sampai akhirnya, tak ada lagi udang yang tersisa di tambak. setelah di usut usut, aneka penyakit itu berasal dari pengelolaan lingkungan yang buruk. Artinya, air laut yang tadinya mengalir berkualitas baik berubah total menjadi buruk lantaran sudah tercemar berbagai limbah baik dari rumah tangga maupun industri. Selain itu, desain tambaknya juga tak ramah lingkungan. Artinya, antara saluran pemasukan dan pembuangan (drainase) air dibuat dalam satu pintu. Akibatnya, sisa-sisa pakan dan kotoran lainnya terus mengendap di dasar tambak dan tak bisa dibuang ke luar tambak. kondisi tambak yang seperti ini yang mudah terserang penyakit," seharusnya selalu membuat saluran pemasukan dan pembuangan yang berbeda seperti tambak di Thailand. Jadi, setiap tambak memiliki dua saluran air," ungkap cak toni. Hasilnya, produktivitas udang dari hasil budi daya tambak di Thailand jauh lebih tinggi ketimbang di Indonesia. Buruknya kondisi lingkungan dan desain tambak yang tak ramah lingkungan inilah, menurut toni, mengundang aneka penyakit udang. Hutan bakau yang selama ini dikenal bisa menjadi filter alami bagi udang, tak lagi berperan karena memang sudah ditebang habis. Berbagai kelemahan inilah yang perlu diperbaiki petambak. Selama hal itu tidak dibenahi, sangat sulit petambak udang di Pantura Jawa bisa bangkit kembali. Sampai kapan kondisi ideal bagi kegiatan budi daya itu pulih? Semua bergantung pada keseriusan para petani tambak untuk mau berubah. Jadi, perubahan ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dilakukan petambak semata. Lebih dari itu, yang sangat berperan adalah pembuang limbah, baik yang dibuang rumah tangga maupun industri. Selama budaya pengelolaan limbah itu masih seperti ini, tanpa melalui penanganan lebih dulu tetapi dibuang begitu saja ke sungai, tidak banyak yang bisa diharapkan. Begitu juga dengan pemerintah daerah. Sudah seharusnya mereka membuat peraturan guna memantau dan mengawasi industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai. Sanksi hukum yang tegas dan adil perlu dikenakan bagi mereka yang terbukti lalai dalam mengurus limbahnya. Begitu juga dengan para petambaknya. Langkah petambak Thailand yang mendesain saluran air dan drainase secara terpisah layak ditiru. Melalui kerja sama semua stakeholder itu, niscaya kejayaan tambak di Indonesia kembali bangkit lagi. Rumput Laut Sembari menunggu tambak tersebut sehat kembali, alangkah baiknya kalau kita terus mengupayakan langkah strategis yang bisa menghasilkan keuntungan. "Alternatif usaha budi daya yang menarik untuk dicoba adalah dengan membudidayakan rumput laut,"
Apalagi menanam rumput laut jauh lebih mudah dan murah daripada menanam padi. Betapa tidak, rumput laut tidak membutuhkan pupuk serta pembasmi hama dan penyakit. Bibitnya tinggal ditebar di tambak dan hanya dalam tempo 45 hari sejak rumput laut ditanam, petambak sudah memanennya. Soal pemasarannya tidak perlu khawatir. Berapa pun jumlah rumput laut akan dibeli sebuah perusahaan pembuat agar-agar berbahan baku. Syaratnya, rumput laut dimaksud harus bermutu tinggi. Karena itu, petambak juga harus disiplin untuk tidak memanen rumput laut pada usia muda (sebelum 45 hari) walaupun mendapat tawaran harga yang menggiurkan dari pengumpul. Kalau hal ini dilanggar, bisa jadi, pengalaman buruk bagi petani tambak, petambak beramai-beramai menjual rumput laut yang masih muda. Bahkan, ada yang nekad menjualnya pada umur 30 hari atau bahkan ada yang cuma berumur 25 hari. Hal itu dilakukan karena ia mendapat harga yang sama (antara rumput laut muda dan cukup umur) dari pengumpul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar